Mengenang Kejayaan Era Film Bisu
25 Februari 2012
Tahun rilis: 2011
Sutradara: Michel Hazanavicius
Produser: Thomas Langman
Penulis Naskah: Michel Hazanavicius
Pemain: Jean Dujardin / Bérénice
Bejo / John Goodman / James Cromwell
Sinematografi : Guillaume Schiffman
Editing: Michel Hazanavicius / Anne-Sophie
Bion
Ilustrasi Musik: Ludovic Bource
Studio: La Petite Reine / ARP
Sélection
Distributor: The Weinstein Company
(US)
Durasi: 100 minutes
Bujet: $15 juta
Apa yang hebat dari film bisu? Pada era jayanya sebelum film bicara
muncul, film-film bisu berkualitas tinggi pernah diproduksi dengan beragam
genre, seperti film-film karya Charlie Chaplin, D.W. Griffitth, Buster Keaton,
hingga film fiksi ilmiah megah, Metropolis.
Tanpa film bisu, film bicara tak akan pernah ada. Merupakan impian saya sejak
lama untuk bisa merasakan menonton film bisu di bioskop, The Artist rupanya mampu mewujudkan ini. The Artist mengambil latar cerita di masa transisi era film bisu ke
era film bicara, yakni pada akhir dekade 20-an. Film ini seperti halnya, Singin in the Rain (1952), mampu menggambarkan
problem-problem yang terjadi pada era transisi ini dari sudut pandang para
bintangnya melalui kisah roman yang menyentuh.
Kisah filmnya seperti film-film era bisu lazimnya sangat sederhana,
roman yang klise dan melodramatik, serta tak lupa happy ending. George Valentin (Dujardin) adalah superstar era film
bisu sementara Peppy Miller (Bejo) adalah gadis muda riang fans berat George yang
memimpikan menjadi bintang film. Ketika teknologi suara datang, Valentine
dengan egonya menolak untuk ikut arus. Karena pihak studio tak memihaknya,
George mengeluarkan seluruh uangnya untuk memproduksi film bisu yang
dibintanginya sendiri. Sementara era transisi jutru membawa berkah bagi Peppy,
karirnya semakin menanjak hingga ia menjadi superstar. Film baru George gagal
total dan ia jatuh miskin, istrinya pun meninggalkannya. Peppy yang karirnya
ditolong oleh George berusaha membantu sang aktor.
Sineas menggunakan semua teknik yang lazim digunakan film bisu pada
masanya, seperti format fullscreen,
warna hitam-putih, speed motion,
penggunaan intertitle penjelas dialog
dan scene, hingga dominasi musik
latar. Namun ada beberapa teknik yang tak lazim digunakan, seperti menahan shot agak lama, tracking shot mengambil close
up wajah, frame miring (canted frame), serta penggunaan suara
efek ketika adegan George bermimpi buruk. Entah ini bentuk kompromi penonton
modern namun teknik-teknik tersebut digunakan memiliki maksud yang kuat. Shot-shot brilyan beberapa kali tampak,
seperti pada adegan ketika George membakar filmnya sendiri, dan terlihat
bagaimana api (filmnya) hampir membinasakannya.
Semua nilai
artistik dalam The Artist tersebut
tak berarti apa-apa tanpa akting yang sangat brilyan Jean Dujardin. Bermain
tanpa dialog dengan dominasi ekspresi mimik wajah serta sikap tubuh jelas bukan
hal mudah namun ia melakukannya dengan sempurna. Tak ada komentar lagi untuk penampilan
memukaunya serta senyumnya yang mematikan. Sementara Bérénice Bejo juga tak
kalah dengan tampil energik, riang dan penuh tawa, ia tampil tidak hanya
sebagai pemanis belaka. Satu lagi pencapaian istimewa jelas pada ilustrasi
musik yang diaransemen Ludovic Bource yang mampu menghanyutkan suasana tiap
adegannya. Namun beberapa penggal musik memang seperti tak asing di telinga.
The Artist adalah film bagi para pecinta
film sejati. Film ini mampu membawa kita ke era dimana medium ini mampu
menghibur penonton hanya dengan bahasa visual semata. Sayangnya tak terlalu
banyak animo penonton kita terbukti hanya segelintir penonton di bioskop.
Sayang sekali, jika Anda pecinta film sejati, jangan sampai melewatkan film ini
di bioskop, Anda bisa kembali ke era silam merasakan apa yang dirasakan
penonton kala itu. Sebuah pengalaman yang mengagumkan.
Himawan Pratista
No comments:
Post a Comment