Menggugah Rasa Nasionalisme?
Studio: Alenia Pictures
Sutradara: Ari Sihasale
Produser: Ari Sihasale
Penulis Naskah: Armantono
Pemain: Alexandra Gottardo / Asrul Dahlan / Griffit Patricia / Yahuda Rumbindi, Lukman Sardi / Ari Sihasale / Robby Tumewu / Tessa Kaunang / Marcel Raymond.
Ilustrasi Musik: Aksan Sjuman & Titi Sjuman
Cinematography : Ical Tanjung
Editing : Andy Pulung
Tatiana (Alexandra Gottardo) bersama kedua anaknya harus hijrah dari tempat asal mereka, Timor timur menuju Kupang, pasca jajak pendapat di Timor Timur. Dalam situasi serba kacau, Merry (Griffit Patricia) berpisah dengan kakaknya, Mauro (Marcel Raymond). Tatiana dan Merry lalu tinggal di sebuah kamp penampungan dimana sang ibu bekerja sebagai guru di sekolah sementara di kamp tersebut. Suka duka mereka rasakan bersama dengan para pengungsi lainya, seperti Abu Bakar (Asrul Dahlan) serta Carlo (Yahuda Rumbindi ) yang selalu jahil terhadap Merry. Hingga pada suatu ketika Merry mendengar kabar bahwa kakaknya saat ini tengah berada di perbatasan. Merry lalu nekat menuju perbatasan untuk mencari kakaknya. Cerita berlanjut pada kisah perjalanan Merry dan Carlo untuk menemukan Mauro.
Sekuen pembuka film yang memperlihatkan iring-iringan ratusan pengungsi sungguh memberi kesan pertama yang sangat mengagumkan dan membanggakan untuk sekelas film kita. Namun setelah cerita berjalan semuanya kekaguman tersebut hilang. Cerita berjalan terlalu datar tanpa konflik yang berarti. Tatiana dan putrinya tidak mendapat tantangan dan konflik moril maupun fisik yang berarti di kamp penampungan sehingga memberi kesan meninggalkan kampung halaman bukan masalah bagi mereka. Logika cerita menjadi masalah utama film ini. Coba anda bayangkan, anak putri berumur 10 tahun berjalan sendirian ke perbatasan, sementara ibu dan rekannya berdiam diri di rumah, dan gilanya lagi mengutus bocah cilik seumuran untuk menjemput Merry, tanpa uang sepeserpun di wilayah yang terhitung masih baru bagi mereka. Ini sungguh terlalu memaksa. Motif yang diinginkan jelas tampak sekali untuk membangun chemistry antara Merry dan Carlo namun untuk apa jika semuanya tak masuk akal. Akhir cerita pun disajikan mengada-ada ketika Tatiana dan Abu bakar mendadak muncul di perbatasan sementara kita sama sekali tidak pernah diperlihatkan usaha Tatiana dan Abu bakar menuju perbatasan. Kejutan yang tak masuk akal.
Secara teknis juga tidak ada yang istimewa dalam filmnya. Keindahan panorama alam Timor rasanya masih kurang diperlihatkan secara maksimal. Bahkan kesalahan mendasar produksi pun masih terlihat, seperti mic yang ”bocor” ketika adegan dialog Tatiana dan Abu Bakar di rumah sakit. Nilai plus filmnya hanya pada lagu dan musik lokal yang mengalun sepanjang film yang menambah nuansa timor film ini. Satu lagi adalah akting si anak Timor, Yahuda Rumbindi yang enerjik dan natural dalam memerankan Carlo.
Judul Tanah Air Beta seakan tidak selaras dengan cerita filmnya. Judul yang seakan mengesankan kecintaan kita terhadap Bumi Lorosae tidak tampak dalam filmnya. Sineas juga mencoba membangkitkan rasa nasionalisme melalui tembang-tembang bernuansa patriotik namun rasanya sia-sia belaka. Misi dan tujuan film ini memang mulia namun dalam medium film baik sisi naratif maupun estetik sama-sama harus memadai dan saling mendukung. Satu hal yang tidak tampak dalam film ini.
Febrian Andhika
Produser: Ari Sihasale
Penulis Naskah: Armantono
Pemain: Alexandra Gottardo / Asrul Dahlan / Griffit Patricia / Yahuda Rumbindi, Lukman Sardi / Ari Sihasale / Robby Tumewu / Tessa Kaunang / Marcel Raymond.
Ilustrasi Musik: Aksan Sjuman & Titi Sjuman
Cinematography : Ical Tanjung
Editing : Andy Pulung
Tatiana (Alexandra Gottardo) bersama kedua anaknya harus hijrah dari tempat asal mereka, Timor timur menuju Kupang, pasca jajak pendapat di Timor Timur. Dalam situasi serba kacau, Merry (Griffit Patricia) berpisah dengan kakaknya, Mauro (Marcel Raymond). Tatiana dan Merry lalu tinggal di sebuah kamp penampungan dimana sang ibu bekerja sebagai guru di sekolah sementara di kamp tersebut. Suka duka mereka rasakan bersama dengan para pengungsi lainya, seperti Abu Bakar (Asrul Dahlan) serta Carlo (Yahuda Rumbindi ) yang selalu jahil terhadap Merry. Hingga pada suatu ketika Merry mendengar kabar bahwa kakaknya saat ini tengah berada di perbatasan. Merry lalu nekat menuju perbatasan untuk mencari kakaknya. Cerita berlanjut pada kisah perjalanan Merry dan Carlo untuk menemukan Mauro.
Sekuen pembuka film yang memperlihatkan iring-iringan ratusan pengungsi sungguh memberi kesan pertama yang sangat mengagumkan dan membanggakan untuk sekelas film kita. Namun setelah cerita berjalan semuanya kekaguman tersebut hilang. Cerita berjalan terlalu datar tanpa konflik yang berarti. Tatiana dan putrinya tidak mendapat tantangan dan konflik moril maupun fisik yang berarti di kamp penampungan sehingga memberi kesan meninggalkan kampung halaman bukan masalah bagi mereka. Logika cerita menjadi masalah utama film ini. Coba anda bayangkan, anak putri berumur 10 tahun berjalan sendirian ke perbatasan, sementara ibu dan rekannya berdiam diri di rumah, dan gilanya lagi mengutus bocah cilik seumuran untuk menjemput Merry, tanpa uang sepeserpun di wilayah yang terhitung masih baru bagi mereka. Ini sungguh terlalu memaksa. Motif yang diinginkan jelas tampak sekali untuk membangun chemistry antara Merry dan Carlo namun untuk apa jika semuanya tak masuk akal. Akhir cerita pun disajikan mengada-ada ketika Tatiana dan Abu bakar mendadak muncul di perbatasan sementara kita sama sekali tidak pernah diperlihatkan usaha Tatiana dan Abu bakar menuju perbatasan. Kejutan yang tak masuk akal.
Secara teknis juga tidak ada yang istimewa dalam filmnya. Keindahan panorama alam Timor rasanya masih kurang diperlihatkan secara maksimal. Bahkan kesalahan mendasar produksi pun masih terlihat, seperti mic yang ”bocor” ketika adegan dialog Tatiana dan Abu Bakar di rumah sakit. Nilai plus filmnya hanya pada lagu dan musik lokal yang mengalun sepanjang film yang menambah nuansa timor film ini. Satu lagi adalah akting si anak Timor, Yahuda Rumbindi yang enerjik dan natural dalam memerankan Carlo.
Judul Tanah Air Beta seakan tidak selaras dengan cerita filmnya. Judul yang seakan mengesankan kecintaan kita terhadap Bumi Lorosae tidak tampak dalam filmnya. Sineas juga mencoba membangkitkan rasa nasionalisme melalui tembang-tembang bernuansa patriotik namun rasanya sia-sia belaka. Misi dan tujuan film ini memang mulia namun dalam medium film baik sisi naratif maupun estetik sama-sama harus memadai dan saling mendukung. Satu hal yang tidak tampak dalam film ini.
Febrian Andhika
No comments:
Post a Comment