Hanya Menjual Sensualitas
Istri Boongan (2010)
Produksi: kanta Indah Film
Sutradara: Arie Azis
Produser: Budi Mulyono / Koko Soenaryo
Pemain: Dwi Sasono / Julia Perez / Fahrani
Penulis Naskah: Nurmalina
Aryo (Dwi Sasono) yang berpacaran dengan Amara (Julia Perez) dituntut orangtuanya untuk membawa calon istri yang memenuhi kriteria mereka yang memiliki latar belakang dan tradisi Jawa kental. Karena Amara tidak memiliki kriteria yang diinginkan orang tuanya maka Aryo mencari cara dengan menyewa Fani (Fahrani). Fani adalah seorang gadis tomboi urakan yang dipilih Aryo karena nantinya orang tuanya diharapkan bisa menerima Amara lantaran pacarnya memiliki image lebih baik dari Fani. Setelah membawa Fani ke rumahnya diluar dugaan orangtua Aryo bisa menerima sang gadis apa adanya. Mulailah tumbuh rasa suka antara Aryo dan Fani.
Tidak ada yang spesial dari film ini kecuali hanya menampilkan sisi sensualitas Julia Perez yang notabene aktris seksi yang lebih menjual keindahan tubuh daripada talenta. Begitu pun Fahrani yang dieksploitasi seluruh lekuk tubuhnya yang semampai. Pakaian para pemain wanitanya sangat terbuka dan menampilkan bentuk tubuh secara berlebihan. Sajian sensualitas disini tampak terlalu vulgar dan tidak pantas untuk ditiru karena tidak diimbangi dengan pencapaian estetik serta naratif yang layak. Seperti lazimnya film-film kita (sejenis), alur kisah yang disuguhkan tidak ada sesuatu hal yang baru, terlalu sederhana, mudah ditebak, serta tanpa kejutan berarti namun unsur komedi yang diberikan memang sedikit menghibur penonton.
Dalam film berdurasi sekitar 85 menit ini, penonton juga sepertinya digiring untuk mengiyakan opini bahwa tidak ada lagi batasan budaya barat dan timur. Dalam filmnya diperlihatkan tradisi Jawa keluarga Dwi yang kental dengan mudahnya menerima gaya modern dan kebarat-baratan Fani. Jika dinalar saja tidak masuk akal orang tua Dwi yang sangat-sangat menjunjung tinggi tradisi Jawa dengan begitu saja menerima Fani yang berpola hidup modern baik gaya bicara, berpakaian, plus sikapnya dengan sentuhan sensualitas yang menggoda. Memang perbedaan tradisi bukanlah penghalang untuk dapat saling berbagi dan menghargai sesama tetapi ini sungguh kelewatan.
Entah mengapa saat ini film Indonesia semakin sering menonjolkan sisi sensualitas dan seks seolah-olah ini merupakan “inovasi brilian” untuk memajukan perfilman kita. Apakah perkembangan perfilman kita justru mundur seperti era 80-an? Seperti yang kita lihat di poster film ini, pose Julia Perez dan Fahrani terlihat sangat erotis dengan gaya gesture yang sengaja dibuat untuk memicu daya tarik penonton (terutama kaum pria) sehingga perempuan menjadi aset yang menjual. Perempuan kini cenderung diposisikan sebagai obyek yang menarik dalam sebuah produk media sehingga dapat laris sesuai dengan target yang diharapkan. Ke depan sepertinya film-film sejenis ini akan terus diproduksi. Bagaimana pun pendapat Anda, sebaiknya sebagai penikmat film kita harus bisa memilih mana film yang berkualitas (baca: layak tonton) dan manakah film yang hanya menjual sensualitas belaka (tidak layak tonton).
Debby Dwi Elsha
Sutradara: Arie Azis
Produser: Budi Mulyono / Koko Soenaryo
Pemain: Dwi Sasono / Julia Perez / Fahrani
Penulis Naskah: Nurmalina
Aryo (Dwi Sasono) yang berpacaran dengan Amara (Julia Perez) dituntut orangtuanya untuk membawa calon istri yang memenuhi kriteria mereka yang memiliki latar belakang dan tradisi Jawa kental. Karena Amara tidak memiliki kriteria yang diinginkan orang tuanya maka Aryo mencari cara dengan menyewa Fani (Fahrani). Fani adalah seorang gadis tomboi urakan yang dipilih Aryo karena nantinya orang tuanya diharapkan bisa menerima Amara lantaran pacarnya memiliki image lebih baik dari Fani. Setelah membawa Fani ke rumahnya diluar dugaan orangtua Aryo bisa menerima sang gadis apa adanya. Mulailah tumbuh rasa suka antara Aryo dan Fani.
Tidak ada yang spesial dari film ini kecuali hanya menampilkan sisi sensualitas Julia Perez yang notabene aktris seksi yang lebih menjual keindahan tubuh daripada talenta. Begitu pun Fahrani yang dieksploitasi seluruh lekuk tubuhnya yang semampai. Pakaian para pemain wanitanya sangat terbuka dan menampilkan bentuk tubuh secara berlebihan. Sajian sensualitas disini tampak terlalu vulgar dan tidak pantas untuk ditiru karena tidak diimbangi dengan pencapaian estetik serta naratif yang layak. Seperti lazimnya film-film kita (sejenis), alur kisah yang disuguhkan tidak ada sesuatu hal yang baru, terlalu sederhana, mudah ditebak, serta tanpa kejutan berarti namun unsur komedi yang diberikan memang sedikit menghibur penonton.
Dalam film berdurasi sekitar 85 menit ini, penonton juga sepertinya digiring untuk mengiyakan opini bahwa tidak ada lagi batasan budaya barat dan timur. Dalam filmnya diperlihatkan tradisi Jawa keluarga Dwi yang kental dengan mudahnya menerima gaya modern dan kebarat-baratan Fani. Jika dinalar saja tidak masuk akal orang tua Dwi yang sangat-sangat menjunjung tinggi tradisi Jawa dengan begitu saja menerima Fani yang berpola hidup modern baik gaya bicara, berpakaian, plus sikapnya dengan sentuhan sensualitas yang menggoda. Memang perbedaan tradisi bukanlah penghalang untuk dapat saling berbagi dan menghargai sesama tetapi ini sungguh kelewatan.
Entah mengapa saat ini film Indonesia semakin sering menonjolkan sisi sensualitas dan seks seolah-olah ini merupakan “inovasi brilian” untuk memajukan perfilman kita. Apakah perkembangan perfilman kita justru mundur seperti era 80-an? Seperti yang kita lihat di poster film ini, pose Julia Perez dan Fahrani terlihat sangat erotis dengan gaya gesture yang sengaja dibuat untuk memicu daya tarik penonton (terutama kaum pria) sehingga perempuan menjadi aset yang menjual. Perempuan kini cenderung diposisikan sebagai obyek yang menarik dalam sebuah produk media sehingga dapat laris sesuai dengan target yang diharapkan. Ke depan sepertinya film-film sejenis ini akan terus diproduksi. Bagaimana pun pendapat Anda, sebaiknya sebagai penikmat film kita harus bisa memilih mana film yang berkualitas (baca: layak tonton) dan manakah film yang hanya menjual sensualitas belaka (tidak layak tonton).
Debby Dwi Elsha
No comments:
Post a Comment