Keindahan Klise dan Artifisial
Oceans (2010)
Sutradara: Jacques Perrin
Produser: Jacques Perrin / Nicolas Mauvernay
Ilustrasi Musik: Bruno Coulais
Distributor: Disneynature (AS) / Pathe & Warner Bros
Durasi: 84 menit
Bujet: $66 juta
Oceans merupakan film dokumenter tentang lautan yang mengambil lokasi di berbagai lautan di belahan bumi serta memakan waktu produksi hingga empat tahun lamanya. Oceans dituturkan menggunakan narasi yang diisi oleh sang sineas sendiri. Oceans menggambarkan berbagai aktifitas di bawah laut, permukaan, dan pantai dengan beragam variasi fauna laut. Film ini juga menggambarkan berbagai aktifitas manusia yang berefek pada kehidupan laut.
Dokumentasi tentang lautan serta kehidupan bawah laut bisa jadi sudah ribuan banyaknya. Oceans seperti film dokumenter bertema lautan yang sering kita lihat nyaris tidak menampilkan sesuatu hal yang baru. Secara umum film dokumenter ini terbagi tiga segmen besar, yakni gambaran kehidupan serta keindahan bawah laut, intervensi manusia, lalu dampak dari aktifitas manusia. Mata kita diwakili oleh seorang bocah cilik yang diberi “wejangan” oleh kakeknya (narator) tentang kehidupan serta keseimbangan ekosistem bawah laut. Satu hal yang sangat menganggu adalah seringkali penonton tidak memahami apa yang tengah disajikan. Narasi kadang tidak cukup menjelaskan dengan rinci (bahkan kadang tidak sama sekali) sebuah obyek, apa, bagaimana, dan mengapa. Durasi penyajian obyek seringkali terlalu singkat. Penonton belum sempat memahami dan beradaptasi dengan sebuah obyek mendadak diganti begitu saja dengan obyek yang lain. Ini sungguh melelahkan mata dan pikiran sekalipun gambar yang disajikan begitu memesona.
Tidak dapat dipungkiri film ini mampu menyajikan gambar-gambar yang sangat indah baik panorama bawah laut serta perilaku hewan-hewan laut di berbagai lokasi. Tak heran dari waktu produksinya yang memakan 4 tahun lamanya, sineas mampu memilih momen-momen yang sulit sekalipun. Seperti di awal film, disajikan gambar burung-burung yang tengah memangsa ikan-ikan di laut disajikan dengan begitu indah melalui variasi sudut kamera yang beragam baik dari udara, permukaan, maupun bawah laut. Ikan serta hewan laut beragam ukuran dan bentuk mampu ditangkap dalam momen-momen begitu indah, mulai dari kepiting, cacing, hingga paus berukuran raksasa. Namun yang disayangkan justru penggunakan efek visual maupun suara dalam beberapa segmen mengkibatkan filmnya tampak artifisial. Rasanya mustahil mengambil suara kaki ribuan kepiting yang berjalan di pasir di dasar lautan. Untuk apa produksi hingga 4 tahun lamanya jika hanya menggunakan efek visual dan suara?
Seperti film-film dokumenter bertema lingkungan lainnya, Oceans mengajak kita terutama generasi muda untuk memelihara dan menjaga keseimbangan lautan. Klise tapi yang kita butuhkan sekarang mungkin memang ini. Satu shot yang sangat menawan (semoga tidak direkayasa) ketika seekor anjing laut berenang di dasar laut mengitari sebuah kereta dorong supermarket (sampah). Namun sedikit kontradiktif ketika kita diperlihatkan ikan hiu, lumba-lumba, serta paus dibunuh secara “sadis” oleh para nelayan dengan iringan ilustrasi musik yang sendu. Kamera menyorot ini semua tidak dengan diam-diam namun tampak dari shot-shotnya seperti terencana dengan matang. Lantas apa maksud ini semua, mereka (pembuat film) memihak siapa? Mungkin tidak masalah jika film ini memang ditujukan untuk anak-anak.
Raja Reymon
Sutradara: Jacques Perrin
Produser: Jacques Perrin / Nicolas Mauvernay
Ilustrasi Musik: Bruno Coulais
Distributor: Disneynature (AS) / Pathe & Warner Bros
Durasi: 84 menit
Bujet: $66 juta
Oceans merupakan film dokumenter tentang lautan yang mengambil lokasi di berbagai lautan di belahan bumi serta memakan waktu produksi hingga empat tahun lamanya. Oceans dituturkan menggunakan narasi yang diisi oleh sang sineas sendiri. Oceans menggambarkan berbagai aktifitas di bawah laut, permukaan, dan pantai dengan beragam variasi fauna laut. Film ini juga menggambarkan berbagai aktifitas manusia yang berefek pada kehidupan laut.
Dokumentasi tentang lautan serta kehidupan bawah laut bisa jadi sudah ribuan banyaknya. Oceans seperti film dokumenter bertema lautan yang sering kita lihat nyaris tidak menampilkan sesuatu hal yang baru. Secara umum film dokumenter ini terbagi tiga segmen besar, yakni gambaran kehidupan serta keindahan bawah laut, intervensi manusia, lalu dampak dari aktifitas manusia. Mata kita diwakili oleh seorang bocah cilik yang diberi “wejangan” oleh kakeknya (narator) tentang kehidupan serta keseimbangan ekosistem bawah laut. Satu hal yang sangat menganggu adalah seringkali penonton tidak memahami apa yang tengah disajikan. Narasi kadang tidak cukup menjelaskan dengan rinci (bahkan kadang tidak sama sekali) sebuah obyek, apa, bagaimana, dan mengapa. Durasi penyajian obyek seringkali terlalu singkat. Penonton belum sempat memahami dan beradaptasi dengan sebuah obyek mendadak diganti begitu saja dengan obyek yang lain. Ini sungguh melelahkan mata dan pikiran sekalipun gambar yang disajikan begitu memesona.
Tidak dapat dipungkiri film ini mampu menyajikan gambar-gambar yang sangat indah baik panorama bawah laut serta perilaku hewan-hewan laut di berbagai lokasi. Tak heran dari waktu produksinya yang memakan 4 tahun lamanya, sineas mampu memilih momen-momen yang sulit sekalipun. Seperti di awal film, disajikan gambar burung-burung yang tengah memangsa ikan-ikan di laut disajikan dengan begitu indah melalui variasi sudut kamera yang beragam baik dari udara, permukaan, maupun bawah laut. Ikan serta hewan laut beragam ukuran dan bentuk mampu ditangkap dalam momen-momen begitu indah, mulai dari kepiting, cacing, hingga paus berukuran raksasa. Namun yang disayangkan justru penggunakan efek visual maupun suara dalam beberapa segmen mengkibatkan filmnya tampak artifisial. Rasanya mustahil mengambil suara kaki ribuan kepiting yang berjalan di pasir di dasar lautan. Untuk apa produksi hingga 4 tahun lamanya jika hanya menggunakan efek visual dan suara?
Seperti film-film dokumenter bertema lingkungan lainnya, Oceans mengajak kita terutama generasi muda untuk memelihara dan menjaga keseimbangan lautan. Klise tapi yang kita butuhkan sekarang mungkin memang ini. Satu shot yang sangat menawan (semoga tidak direkayasa) ketika seekor anjing laut berenang di dasar laut mengitari sebuah kereta dorong supermarket (sampah). Namun sedikit kontradiktif ketika kita diperlihatkan ikan hiu, lumba-lumba, serta paus dibunuh secara “sadis” oleh para nelayan dengan iringan ilustrasi musik yang sendu. Kamera menyorot ini semua tidak dengan diam-diam namun tampak dari shot-shotnya seperti terencana dengan matang. Lantas apa maksud ini semua, mereka (pembuat film) memihak siapa? Mungkin tidak masalah jika film ini memang ditujukan untuk anak-anak.
Raja Reymon
No comments:
Post a Comment