Mengapa banyak aktor bagus internasional tapi nama Brad Pitt dan Johny Deep mengalahkan ribuan orang berbakat dan tampan di dunia film dalam hal pamor? Ya, semua karena imaji. Tak bisa dipungkiri bahwa imajilah yang menjadi ujung tombak para produsen untuk memikat konsumennya.
Hal ini disadari betul oleh banyak pihak, terutama orang-orang yang menjadi ujung tombak kapitalis. Begitu pun yang terjadi dalam perfilman tanah air kita. Para produser film, mengemas film mereka dengan imaji pemain filmnya, yang diharapkan mampu memikat banyak penonton atas kehadiran mereka. Hanya bedanya, Brad Pitt dan Johny Depp selain memiliki dukungan fisik yang menawan juga tak kalah ciamik dalam memainkan peran, hingga akhirnya mereka memiliki imaji yang khas.
Imaji seolah menyerupai harga mati untuk kesuksesan sebuah film. Sebut saja Jet Li yang identik dengan film aksinya, atau Stephen Chow yang identik dengan film komedi. Mereka berhasil mengimajikan diri mereka sendiri lantaran memang kepiawaian mereka untuk konsisten berperan apik.
Bahkan di negeri Gingseng, salah satu pemain film berbakatnya Choi Min Sik yang banyak mendapatkan penghargaan Internasional dalam aktingnya dalam film Old Boy, sampai tidak mempermasalahkan tawaran film yang sedikit datang padanya, dikarenakan ia mematok harga yang sangat mahal untuk bermain dalam sebuah film. Bukan semata ia memilih, faktor imaji pun mengambil bagian penting disini, bagaimana akhirnya Choi Min Sik menjadi aktor yang paling ditunggu-tunggu kemunculannya dalam dunia perfilman Korea.
Sedang aktor/aktris film dalam negeri lebih banyak mengimajikan diri mereka pada sisi penampilan semata dan juga hebohnya pemberitaan media massa tentang mereka. Walhasil produser acapkali memakai pemain film yang hanya memiliki reputasi yang tengah naik daun tanpa memandang seberapa jauh mereka mampu berperan apik atau kecocokan dengan tokoh dalam perannya (bentuk fisik, karakter suara, dam sebagainya).
Sekali lagi ini membuktikan bahwa dunia perfilman Indonesia banyak yang tidak mengindahkan faktor casting dan faktor imaji, apakah si aktor atau aktris cukup mumpuni dalam berperan atau tidak? Karena bagi mereka (produser) faktor seberapa banyak penggemarlah dan seberapa tengah bersinarnya aktor atau akrtis tersebutlah yang menjadi ukurannya, bukan lagi imaji yang mereka citrakan dalam proses kerja mereka.
Ini sekaligus menjawab kejemuan film kita. Film komedi, horor, drama sampai film dengan bumbu esek-eseknya diperankan oleh pemain yang itu-itu saja. Ini tentu saja bertendensi mengubur bakat-bakat besar pemain film lainnya yang sebenarnya bisa bermain jauh lebih baik.
Maka tidak heran ketika penonton menyaksikan Ati Kanser, seorang pekerja teater yang mengabadikan hidupnya dalam dunia peran, ketika ia mengadegankan emak dalam film Emak Ingin Naik Haji mampu membuat penonton mengeluarkan air mata lantaran aktingnya yang natural. Ati Kanser kemudian di apresiasi penghargaan Pemeran utama wanita terpuji di Festival Film Bandung 2010.
Inilah yang terjadi jika produser film kita jika membuat film hanya memikirkan untung semata tanpa memperhatikan esensi dan estetika film. Apalagi kini film Indonesia dengan tema seronok dengan beragam packaging-nya masih terus diproduksi, membuktikan jika film dengan genre tersebut memiliki nilai jual baik alias memiliki pasar yang selalu ada. Hal ini mengingatkan pada awal keterpurukan film Indonesia di era 1990-an dimana film-film dengan tema seronok merajai hampir di beberapa penayangan bioskop tanah air, dengan kemunculan ikon bomb sex dalam negeri pada saat itu.
Semoga siklus tersebut tak berulang. Jika tidak, maka bisa dijamin akan tidak sedikit para aktor dan aktris kita yang akan berlomba-lomba dalam menunjukkan sex appealing mereka dalam membentuk imaji sesuai kebutuhan industri film ketimbang menggali dasar seni peran itu sendiri. Apakah tren aktor atau aktris kita tengah menuju kesana? Jika anda pemerhati film nasional, anda tentu punya jawaban sendiri dengan jari anda yang menelunjuk.
Andrei Budiman
No comments:
Post a Comment