Sudah tidak dipungkiri lagi, masyarakat saat ini memandang sinema bukan lagi sebagai hiburan dan komoditas ekonomi semata, melainkan juga sebagai refleksi sosial dari sebuah fenomena yang terjadi. Dari konteks ini, banyak pakar yang membagi sinema menjadi tiga bagian berdasarkan pada kategori reflektifitas disamping juga ciri khas estetisnya. Sinema yang muncul di Amerika Serikat misalnya, biasanya ditujukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang besar, sehingga muncul istilah yang kita kenal sebagai industri film, dikenal dengan istilah Sinema Pertama. Sinema yang muncul di Eropa, dengan pendekatan estetik yang lebih bebas dan baru (avant-garde), seringkali disebut sebagai sinema kedua. Kedua bentuk sinema inilah yang selama ini mendominasi konsumsi sinema secara global. Tentu saja kita lebih akrab dengan film-film Amerika Serikat dibanding dengan film-film, sebut saja, Afrika Selatan. Kita tentu saja lebih akrab dengan gaya sinema Anthony Minghella dari Inggris dibanding dengan gaya sinema Yasmin Ahmad dari Malaysia. Dengan mekanisme konsumsi semacam ini, otomatis refleksi sosial yang sering ditampilkan di depan mata kita adalah refleksi sosial masyarakat barat, dan itu tidak sama dengan kondisi sosial di wilayah lain, khususnya dunia ketiga.
Kondisi ini memompa munculnya sebuah komitmen politis via sinema untuk menyerap kondisi sosial wilayah tertentu, untuk disesuaikan dengan selera penonton di wilayah yang bersangkutan, kemudian disajikan dengan kebiasaan estetis masyarakat setempat. Oleh banyak pakar sinema, komitmen ini disebut dengan Third Cinema (Sinema Ketiga). Banyak yang mengartikan Sinema Ketiga sebagai sinema yang muncul di dunia ketiga, selain karena latar belakang teoritisnya yang banyak terbantu oleh paradigma Poskolonialisme, sebagian besar gerakan sinema ketiga memang muncul di dunia ketiga.
Pandangan semacam ini tentu saja bermasalah. Apakah film-film (contoh) Nayato Fio Nuala dan Hanung Bramantyo sudah memenuhi kriteria Third Cinema?, apakah film-film mereka yang bersetting lokal itu sudah mumpuni dalam merefleksikan kondisi sosial dan menyampaikannya dalam gaya berbasis konvensi estetika lokal?. Tentu bermasalah. Itulah kenapa, hanya sedikit saja sineas dan karya-karya yang dinilai memiliki komitmen politik sebagai bagian dari counter-domination gaya sinema yang dituturkan dalam Sinema Pertama dan Kedua. Sebagai pemahaman mendasar, Ousmane Sembene dari Senegal, Glauber Rocha dari Brazil, dan Francesco Solanas dari Argentina banyak dinilai sebagai authors yang memang berkomitmen penuh terhadap Sinema Ketiga. Terdapat juga beberapa karya yang banyak dinilai sebagai representasi sinema ketiga meskipun sutradaranya bukan sutradara Third Cinema, seperti The Travelling Players (Theo Angelopoulos, 1975) dan Yellow Earth (Chen Kaige, 1983).
Secara visual, sinema ketiga memiliki metodologi tersendiri untuk membentuk sinema yang memang benar-benar reflektif. Ousmane Sembene misalnya, menempatkan credit title ditengah-tengah film dikarenakan kebiasaan penonton di Senegal yang sangat suka mengobrol saat film sedang diputar sehingga mereka punya cukup waktu untuk itu. Karakteristik sinema Glauber Rocha, meskipun diderivasikan dari Neorealisme, ia kolaborasikan dengan kondisi kepenontonan orang-orang Brazil dengan cara mengangkat kebiasaan sehari-hari mereka, alih-alih mencari situasi diluar kebiasaan seperti yang biasa dilakukan oleh Sinema Pertama dan Kedua. Dengan demikian, independensi Sinema Ketiga bisa semakin didekati atau dalam istilah Teshome Gabriel , berhasil memasuki Combative Phase sebagai fase final dimana sinema ketiga bisa bersaing dengan sinema lainnya. Dan untuk mencapai fase itu, setiap gerakan politis via Sinema haruslah melewati dua fase terdahulu: The unqualified assimilation (seperti apa yang terjadi di Indonesia) dan The Remembrance Phase (Fase transisional menuju Fase kombatif), author Sinema Ketiga tulen seperti Ousmane Sembene pun pernah melalu fase ini, seperti bisa kita lihat dalam film awalnya: Mandabi.
Makbul Mubarak
Mahasiswa Fisipol UMY
No comments:
Post a Comment