Identitas merupakan sebuah film karya sutradara Arya Kusumadewa yang sebelumnya pernah menggarap film Novel tanpa huruf "R". film ini dibintangi oleh Tio pakusadewo, Leony, Ray sahetapi, serta Titi Sjuman. Dalam ajang Festival Film Indonesia baru lalu, film ini mampu meraih piala Citra untuk film, sutradara, dan aktor terbaik.
Adam (Tio Pakusadewo) adalah seorang penjaga kamar mayat. Pada suatu hari dia bertemu dengan seorang wanita (Leony) yang kemudian diketahui ialah seorang gadis yang terpaksa menjadi pelacur karena harus membayar biaya pengobatan ayahnya. Karena simpati, Adam kemudian berniat membantu perempuan tersebut untuk mendapatkan ASKIN. Namun usahanya tersebut ternyata terbentur dengan birokrasi yang mengharuskan orang-orang yang mendapatkan ASKIN harus memiliki identitas. Hingga akhirya hanya "ketidak beruntungan" yang mereka dapatkan.
Sejak awal kita sudah sangat merasakan unsur politik yang sangat kental dalam film ini. Kritik-kritik tajam yang dikemas secara kasar dan vulgar digunakan untuk menyerang kebijakan-kebijakan pemerintah yang sangat merugikan rakyat miskin, seperti masalah kesehatan, hak-hak kepemilikan tanah, dan lainnya. Mungkin film ini ingin mengatakan bahwa pemerintah kita saat ini tidak bisa lagi dibenahi dengan cara halus, jadi cara kasar adalah solusi yang tepat. Namun kritik-kritik yang disajikan disini malah terkesan hanya sebagai luapan emosi semata dan tidak mendidik. Rumah sakit digambarkan sebagai tempat yang sangat tidak manusiawi. Dokter dan perawat memperlakukan para pasiennya semena-mena bak binatang. Tampak jelas sekali rumah sakit ini merupakan alegori negara kita yang tengah sakit. Film berakhir dengan kematian bagi tokoh utamanya yang menyimbolkan bahwa segala macam kebijakan yang dibuat oleh pemerintah hanya akan mendorong rakyat miskin ke jurang kematian.
Identitas yang menggunakan format digital juga tampak seperti film independen amatiran. Satu hal paling mengganjal dalam film ini adalah penggunaan teknik dubbing. Penggunaan teknik dubbing dalam film ini cenderung “mematikan” aspek-aspek teknis lain seperti sinematografi, editing, akting pemain, bahkan cerita filmnya sendiri. Sulit bagi penonton untuk larut dalam cerita filmnya karena suara dialognya terlalu artifisial. Sungguh sulit dipercaya jika aktor yang berakting dengan di-dubbing mampu meraih penghargaan aktor terbaik.
Identitas lebih jauh mungkin ingin mengatakan bahwa "kebahagiaan" di negeri ini hanya dapat dimilki oleh orang-orang yang memiliki "identitas" (orang-orang berkuasa). Namun apakah kebahagiaan hanya sebatas tentang kekuasaan? Apakah solusi bagi rakyat kecil harus pula ikut “membakar diri”? Sungguh mengherankan film ini mampu menyabet penghargaan film terbaik FFI. Apakah pesan moral yang disampaikan di film ini begitu pentingkah hingga mengabaikan pencapaian teknisnya. Film bukanlah sekedar tentang pesan moral semata namun adalah bagaimana pesan tersebut dikemas menjadi sebuah karya seni yang indah. FFI merupakan suatu ajang penghargaan film bergengsi di negeri ini yang pastinya menjadi salah satu tolak ukur para insan film di Indonesia untuk berkarya. Dilihat dari sisi manapun rasanya film ini masih jauh dari cukup untuk menjadi patokan sineas-sineas kita dalam berkarya. Penulis berharap film ini tidak lantas menjadi identitas sinema kita.
Febrian Andhika
No comments:
Post a Comment