Biografi dan Film-film Tarantino
Quentin Tarantino lahir pada tanggal 27 Maret 1963 di Knoxville, Tennessee Amerika Serikat. Tarantino merupakan anak dari seorang perawat bernama Connie McHugh Zastoupil, serta ayahnya bernama Tony Tarantino yang merupakan seorang aktor dan musisi amatir. Tarantino tumbuh besar di Los Angeles dan sejak saat inilah mulai tertarik dengan film. Di umur 15 tahun, Tarantino keluar dari sekolah dan melanjutkan pendidikannya di sekolah akting di James Best Theatre Company. Karena kegemarannya pada film, pada umur 22 tahun Tarantino juga sempat bekerja di sebuah tempat persewaan video di daerah Manhattan, dimana ia bertemu dengan Roger Avary, yang nantinya mereka berdua sering berkolaborasi untuk menulis beberapa naskah film seperti True Romance, dan Pulp Fiction. Saat bekerja di sana, Tarantino bersama Avary banyak menghabiskan waktu untuk berdiskusi film. Tak heran jika Tarantino memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang film. Tarantino kemudian meneruskan sekolah akting di Allen Garfield’s Actors’ Shelter, Beverly Hills, dengan konsentrasi pada penulisan naskah film.
Tarantino memulai karir di dunia film setelah bertemu dengan Lawrence Bender. Pada tahun 1987, Bender membujuknya untuk menulis naskah serta menjadi sutradara film tersebut yang berjudul My Best Friend's Birthday. Hanya sayangnya, film ini gagal diselesaikan akibat musibah kebakaran di laboratorium saat proses editing. Tarantino menjual naskah filmnya ini dan kelak menjadi dasar naskah film True Romance (1993) yang digarap oleh Tony Scott. Tarantino juga menulis naskah keduanya untuk film Natural Born Killers (1994) yang kelak digarap sutradara kawakan Oliver Stone.
Di tahun 1992, Kembali bersama Bender, Tarantino memulai debut sutradaranya melalui film kriminal Reservoir Dogs. Film berbujet minim dengan dibintangi aktor-aktor kelas dua ini berkisah tentang perampokan oleh sekelompok gangster namun uniknya aksi perampokannya sendiri tidak pernah diperlihatkan. Meski tidak dipromosikan secara besar-besaran namun film ini mampu meraih hasil cukup baik bahkan hingga luar Amerika. Di Inggris misalnya, film ini meraih 6,5 juta Poundsterling. Popularitas film ini kelak akan semakin terangkat setelah sukses film kedua Tarantino, Pulp Fiction. Film ini juga mendapat perhatian di Sundance Film Festival, karena gaya filmnya yang khas, yakni plot nonlinier, aksi kekerasan yang vulgar, budaya pop amerika yang kental, serta dialog-dialog tempelan yang tidak berhubungan dengan plot filmnya. Gaya ini menjadi trademark tersendiri dalam film-filmnya kelak.
Dalam perkembangan juga bersama Bender, Tarantino membuat perusahaan produksi sendiri yang ia beri nama A Band Apart. Nama ini diambil dari film gerakan French New Wave, yakni Bande à part (1964/Band of Outsiders) garapan Jean-Luc Goddard yang filmnya sangat mempengaruhi Tarantino dan rekan-rekannya. Logo perusahaannya sendiri juga mencuplik gambar dari film debutnya, Reservoir Dogs. Tercatat nama-nama besar di dunia film turut bergabung dalam perusahaan ini, sebut saja Robert Rodriguez yang juga sobat kental Tarantino, John Woo, Darren Aranofsky, Tim Burton, hingga Luc Besson.
Sukses Reservoir Dogs membuat Tarantino banyak didekati studio-studio besar untuk menggarap proyek film-film mereka. Namun tidak digubrisnya, ia justru sibuk menggarap naskah film keduanya. Bersama perusahaan barunya dengan menggandeng studio Miramax, Tarantino memproduksi Pulp Fiction. Konon sederet nama-nama besar yang terlibat dalam film, seperti John Travolta, Bruce Willis, Samuel L. Jackson, Ving Rhames, dan Uma Thurman rela digaji rendah. Tercatat Willis adalah bintang paling top yang ikut dalam proyek ini. Diluar dugaan, Pulp Fiction sukses luar biasa. Secara mengejutkan Pulp Fiction mampu meraup pendapatan kotor mencapai lebih dari $200juta di seluruh dunia bandingkan dengan bujet produksinya yang hanya $8,5 juta. Di Amerika sendiri, Pulp Fiction tercatat sebagai film independen pertama yang meraup pendapatan diatas $100juta. Bahkan hingga saat ini pun Pulp Fiction masih tercatat sebagai film independen terlaris sepanjang masa.
Pulp Fiction juga sukses secara kritik dengan mampu menyabet piala Oscar untuk naskah orisinil terbaik dengan tujuh nominasi termasuk Film Terbaik. Sukses film ini juga mampu mengangkat pamor bintang-bintang veteran seperti, Bruce Willis dan John Travolta. Pulp Fiction sendiri kembali dikemas dengan gaya khas Tarantino, yakni pola plot nonlinier, aksi kekerasan vulgar, budaya pop lokal, lagu dan musik 70-an, hingga dialog tempelannya. Sukses Pulp Fiction mampu membangkitkan kembali gairah film independen di dunia serta menginspirasi banyak film setelahnya. Oleh banyak pengamat film ini dianggap sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa. (baca ulasan Pulp Fiction di Buletin Montase edisi 7/Film Independen).
Tahun berikutnya Tarantino terlibat dalam produksi film unik, Four Rooms (1995) dimana ia menggarap satu segmen cerita dari empat segmen dalam filmnya. Sohibnya, Robert Rodriuez juga menggarap satu diantaranya. Tarantino menulis, menyutradarai, dan membintangi segmen cerita yang berjudul The Man from Hollywood. Dalam film ini, Tarantino juga bereuni kembali dengan Bruce Willis. Di tahun yang sama, Tarantino juga bermain sebagai aktor dalam dua film yang digarap Rodriguez, yakni Desperado (1995) dan From Dusk Till Dawn (1995). Dalam film yang kedua Tarantino bahkan menulis naskah filmnya sekaligus mendapat peran pembantu utama.
Di tahun 1997, Tarantino memproduksi film ketiganya, Jackie Brown, yang naskahnya ditulisnya sendiri didasarkan novel Rum Punch karya Elmore Leonard. Film ini merupakan tribute Tarantino terhadap film-film kulit hitam (blaxploitation) era 70-an. Film ini dibintangi sederet nama-nama besar seperti Robert De Niro, Pam Grier, Robert Forster, Bridget Fonda, Michael Keaton, serta Samuel L. Jackson. Meskipun tidak sesukses Pulp Fiction namun Jakcie Brown masih mampu terbilang sukses di pasaran, baik dari sisi komersil maupun kritik. Film ini mampu meraih nominasi Oscar untuk aktor pembantu terbaik (Robert Forster), serta dua nominasi Golden Globe. Sedikit berbeda dengan gaya di dua film sebelumnya, srruktur linier di film ini lebih dominan. Tercatat hanya sekali struktur ”nonlinier” digunakan, yakni menjelang sekuen akhir dan dialog tempelan yang menjadi khasnya, juga tidak dominan seperti dua film sebelumnya.
Setelah absen selama hampir enam tahun, baru pada tahun 2003, Tarantino memproduksi film aksi-kriminal, Kill Bill Vol.1, yang berlanjut dengan sekuelnya, Kill Bill Vol.2 di awal tahun berikutnya. Awalnya film ini akan dirilis satu film namun dipecah menjadi dua karena durasi total sekitar empat jam. Dalam dua film ini Tarantino memadukan beberapa genre sekaligus yakni, silat Hong Kong, samurai (Chanbara), hingga spaghetti westerns. Tidak seperti film-film Tarantino sebelumnya Kill Bill mengambil lokasi syuting di banyak wilayah dan negara, seperti California, Texas, Beijing, Hong Kong, Tokyo, hingga Mexico.
Melalui Kill Bill Vol.1, Tarantino tidak hanya bereksperimen melalui teknik naratif namun juga bahasa sinematik. Gaya khas Tarantino, yakni pola nonlinier, aksi brutal, serta lagu dan musik 70-an masih ia gunakan namun kali ini sineas mencoba lebih jauh bermain-main dengan teknik sinematografi dan editing. Gerak kamera dan sudut kamera jauh lebih dinamis dan bervariasi dari film-film sebelumnya. Teknik editing pun semakin cepat dan bervariasi terutama pada adegan aksi pertarungan. Dalam satu segmen cerita, Tarantino bahkan menggunakan teknik animasi gaya Jepang (anime). Tidak seperti film-film sebelumnya, Kill Bill Vol.1 adalah film garapan Tarantino yang paling banyak mengumbar adegan pembantaian berdarah dengan ekstra brutal. Sayang, dialog tempelan khasnya dalam film ini tidak ia gunakan.
Berbeda dengan film pertamanya, Kill Bill Vol.2 lebih mengutamakan sisi dramatik ketimbang aksinya. Bahkan pada adegan klimaks akhir pun kita tidak melihat adegan aksi pertarungan seru seperti halnya di film pertama. Tarantino juga kali ini menuturkan ceritanya secara linier dengan tempo yang lebih lambat sangat jauh berbeda dengan seri pertamanya. Perbedaan gaya dan tempo yang sangat kontras dalam film kedua memperlihatkan seolah kedua film ini dibuat oleh sineas yang berbeda. Sekalipun begitu tercatat dua film ini menuai sukses komersil luar biasa. Hanya dengan bujet produksi masing-masing sekitar $30juta, dua film ini mampu meraih lebih dari total $400 juta pada rilisnya baik domestik maupun internasional. Tarantino sendiri berniat membuat sekuel ketiga, sepuluh tahun setelah seri kedua dirilis.
Bersama karibnya, Robert Rodriguez, Tarantino membuat dua seri film (double feature) yang mereka beri judul, Grindhouse (2007). Ide ini terinsipirasi mereka dari poster film double feature klasik era 50-an yang berisi dua film. Grindhouse sendiri diinspirasi dari nama bioskop-bioskop era silam yang hanya memutar film-film kelas B. Rodriguez membuat film pertama yang berjudul Planet Terror dimana Tarantino sendiri mendapat peran kecil dalam filmnya. Sementara Tarantino membuat film kedua, yakni Deathproof. Dua film ini memang dikemas dengan unik layaknya film aksi kelas B dengan gambar yang sengaja dibuat cacat, menyajikan beberapa iklan (film) fiktif, hingga ”missing reel”. Deathproof sendiri sangat berbeda dengan film-film garapan Tarantino sebelumnya. Gaya khasnya yang dominan masih muncul yakni dialog-dialog tempelan, aksi brutal, serta lagu dan musik lawas. Tarantino juga menunjukkan kepiawaiannya membuat adegan ”car chase” yang sangat seru dan menegangkan. Dalam film ini untuk pertama kalinya juga Tarantino bertindak sebagai sinematografer. Sekalipun dua film ini mendapat respon positif dari kritikus namun gagal secara komersil.
Inglourious Basterds (2009) merupakan film garapan Tarantino yang belum lama ini rilis. Film ini terinspirasi Tarantino dari film perang tahun 1978, Inglorious Bastards namun sang sineas sendiri tidak pernah menganggap filmnya sebuah remake. Untuk pertama kalinya dalam filmnya, Tarantino mengkasting bintang papan atas Hollywood, Brad Pitt. Kisah filmnya yang juga berlatar masa silam (Perang Dunia Kedua) juga merupakan sebuah hal yang baru bagi Tarantino. Hampir semua gaya khasnya juga ia munculkankan dalam film ini. Selain dipuji banyak pengamat juga film ini juga merupakan film garapan Tarantino yang paling sukses secara komersil dengan meraih pendapatan lebih dari $300 juta di seluruh dunia.
Sepanjang karirnya, Tarantino juga tidak hanya berprofesi sebagai sutradara dan penulis naskah namun juga seorang aktor. Tarantino tercatat sering muncul dalam film-filmnya sendiri serta film-film garapan sobatnya, Robert Rodriguez. Tarantino juga tercatat pernah terlibat dalam produksi film seri televisi (satu episode) sebagai sutradara, seperti ER dan CSI: Crime Scene Investigation. Tarantino juga seringkali memproduseri film-film garapan rekannya sendiri seperti From Dusk Till Dawn bersama dua sekuelnya, Hostel dan sebuah sekuelnya, serta Hell Ride.
”Gaya Tarantino”
Bicara tentang karakteristik film-film Tarantino tidak bisa lepas dari karakter gerakan sinema di Perancis, yaitu Nouvelle Vague atau yang lebih dikenal Fench New Wave. Karakteristik film-film Tarantino memang memiliki banyak kemiripan dengan film-film gerakan ini terutama arahan Jean-Luc Godard. Isi (tema/cerita) bukanlah hal pokok namun adalah bagaimana isi tersebut dikemas. ”Kemasan” adalah gaya serta karakter utama dari film-film Tarantino. Ia selalu mencoba sesuatu yang tidak lazim digunakan dalam film-film mainstream baik genre, struktur dan pengembangan cerita, aksi, dialog, musik, serta lainnya. Film-film Tarantino juga sangat dipengaruhi film-film yang ia tonton terutama di era 60-an dan 70-an. Tarantino juga selalu menyutradarai dan menulis naskah semua filmnya sendiri.
Dari sisi genre, semua film-film Tarantino selalu berkutat dengan aksi kriminal atau gangster, sejak film debutnya, Reservoir Dogs hingga Inglourious Basterds. Nuansa gangster sedikit mengendur hanya pada Deathproof yang mengisahkan seorang stuntman ”maniak" yang suka membunuh gadis-gadis muda. Seperti film-film French New Wave, karakter tokoh-tokoh utama di film-film Tarantino lazimnya juga tipe orang yang bebas, cuek, bertindak semaunya, kasar, serta anti kemapanan. Alhasil karakter-karakter tokoh ini sangat mendukung alur cerita, dialog, serta aksi kekerasan yang menjadi ciri khas Tarantino.
Dari sisi cerita Tarantino menyukai gaya bertutur nonkonvensional, yakni pola plot nonlinier serta multiplot. Pola nonlinier tampak dalam film-film seperti, Reservoir Dogs, Pulp Fiction maupun Kill Bill Vol.1. Nyaris dalam semua filmnya, layaknya sebuah novel Tarantino juga suka membagi cerita filmnya menggunakan chapter atau babak, yang seringkali ia beri judul. Seperti contoh dalam Kill Bill Vol 1, ia menamai babaknya, Chapter One: 2 dan Chapter Two: The Blood Splattered Bride, dan seterusnya. Sementara pola multi-plot ia gunakan dalam Reservoir Dogs, Pulp Fiction, dan Jackie Brown.
Dalam semua alur cerita film-film Tarantino, plotnya selalu bersifat spontan (tidak terduga), sering berubah arah secara mendadak, dan seringkali berkesan kompleks namun memiliki penyelesaian yang sangat sederhana (mudah). Tokoh-tokoh ceritanya seringkali terjebak dalam situasi rumit yang mengejutkan dan tidak mereka duga sama sekali. Dalam Reservoir Dogs, aksi perampokan yang menjadi kunci cerita secara mengejutkan justru tidak diperlihatkan sama sekali. Lalu kisahnya yang demikian simpang-siur diakhiri begitu mudahnya pada klimaks cerita. Dalam Pulp Fiction, karakter Jules dan Vincent, beberapa kali terjebak dalam situasi tak terduga, salah satunya ketika mereka tengah makan siang di sebuah restoran tiba-tiba mereka terjebak dalam situasi perampokan.
Salah satu ciri utama film-film Tarantino adalah dialog ekletiknya (tempelan). Dialog-dialog tersebut biasanya berupa dialog ringan ”tak bermutu” yang sama sekali tidak ada hubungan dengan plot utama. Namun begitu justru dialog-dialog ini membantu mendukung karakterisasi tiap tokohnya serta memberikan nuansa komedi dalam film-filmnya. Dalam Reservoir Dogs, pada adegan pembuka memperlihatkan para tokohnya membicarakan hal-hal di luar aksi perampokan, seperti lagu Madonna serta masalah tip. Dalam Pulp Fiction, Jules dan Vincent membicarakan masalah istilah burger ketika mereka tengah berkendaraan. Dalam segmen kedua Deathproof, keempat gadis selama hampir lebih dari setengah jam membicarakan masalah-masalah ringan seperti, laki-laki, liburan, senjata api, hingga film. Masih berhubungan dengan dialog, Tarantino juga teramat sering menyisipkan kata-kata sumpahan kasar dalam semua dialognya yang seringkali memicu kontroversi.
Film-film Tarantino juga dikenal dengan adegan aksi kekerasannya yang sangat brutal. Tokoh-tokoh utamanya yang lazimnya seorang gangster atau kriminil tidak segan-segan menyiksa atau menghabisi nyawa musuh-musuh mereka dengan cara yang sadis. Dalam nyaris semua filmnya, senjata api seringkali ditembakkan ke seseorang dalam jarak yang sangat dekat. Satu adegan brutal yang paling banyak dikecam pengamat adalah adegan penyiksaan polisi dalam Reservoir Dogs. Walau Tarantino tidak menampakkan secara eksplisit namun adegan tersebut mampu membuat jeri orang yang menontonnya. Dalam sebuah sekuen di Kill Bill Vol.1, tokoh utama membantai puluhan yakuza secara brutal dengan pedangnya.
Ciri khas lain dalam film-film Tarantino adalah musik dan lagu yang seringkali menggunakan musik pop dan rock lawas era 70-an dan 80-an. Tarantino juga sering menggunakan pemain-pemain veteran yang telah lewat masa jayanya, sebut saja seperti John Travolta, David Carradine, hingga Kurt Russel. Dalam beberapa filmnya, seperti seri Kill Bill dan Deathproof, Tarantino mencoba lebih jauh berujicoba menggunakan beberapa teknik sinematografi dan editing. Dalam film-film ini Tarantino dalam beberapa adegan menggunakan teknik hitam-putih, sudut serta pergerakan kamera yang lebih dinamis, ritmik editing, serta lainnya. Ada hal unik dari sisi sudut kamera, dalam semua film-filmnya pasti terdapat sebuah POV (point of view) shot dari dalam bagasi mobil.
Dalam produksi filmnya, Tarantino juga sering berkolaborasi dengan orang-orang yang sama. Lawrence Bender dan Sally Menke tercatat adalah orang yang paling sering terlibat dalam produksi film-film Tarantino. Bersama Bender, Tarantino membentuk perusahaan produksi A Band Apart dan Bender selalu menjadi produser semua film-film Tarantino. Tarantino juga mempercayakan penuh Sally Menke sebagai editor semua film yang ia garap. Mengapa editor wanita? Menke memiliki sentuhan feminin yang dianggap Tarantino memberikan sentuhan berbeda serta warna lain pada filmnya. Sementara sobat lamanya, Robert Avary juga beberapa-kali membantu Tarantino menulis naskah beberapa filmnya. Sementara aktor dan aktris seperti Samuel L. Jackson, Uma Thurman, Michael Madsen, Harvei Keitel, serta Tim Roth tercatat adalah para pemain yang paling sering bermain dalam film-film Tarantino.
“When people ask me if I went to film school I tell them, No, I went to films” ujar Tarantino. Awal karirnya sebagai penjaga rental video, ia selalu mengamati film-film apa yang disukai para peminjam, ini menginspirasinya kelak untuk menjadi seorang sutradara serta pula karakter film-filmnya. Film-film Tarantino murni adalah sebuah kemasan yang lepas dari isu moral, etika, serta sosial. Melalui pendekatannya Tarantino terbukti telah memberikan sumbangsih berharga bagi dunia perfilman serta mampu membangkitlan gairah film independen. Melalui film-filmnya, Tarantino mencoba mengatakan pada kita bahwa tidak ada batasan sama sekali dalam mengembangkan sinema.
Febrian Andhika & Himawan Pratista
Quentin Tarantino lahir pada tanggal 27 Maret 1963 di Knoxville, Tennessee Amerika Serikat. Tarantino merupakan anak dari seorang perawat bernama Connie McHugh Zastoupil, serta ayahnya bernama Tony Tarantino yang merupakan seorang aktor dan musisi amatir. Tarantino tumbuh besar di Los Angeles dan sejak saat inilah mulai tertarik dengan film. Di umur 15 tahun, Tarantino keluar dari sekolah dan melanjutkan pendidikannya di sekolah akting di James Best Theatre Company. Karena kegemarannya pada film, pada umur 22 tahun Tarantino juga sempat bekerja di sebuah tempat persewaan video di daerah Manhattan, dimana ia bertemu dengan Roger Avary, yang nantinya mereka berdua sering berkolaborasi untuk menulis beberapa naskah film seperti True Romance, dan Pulp Fiction. Saat bekerja di sana, Tarantino bersama Avary banyak menghabiskan waktu untuk berdiskusi film. Tak heran jika Tarantino memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang film. Tarantino kemudian meneruskan sekolah akting di Allen Garfield’s Actors’ Shelter, Beverly Hills, dengan konsentrasi pada penulisan naskah film.
Tarantino memulai karir di dunia film setelah bertemu dengan Lawrence Bender. Pada tahun 1987, Bender membujuknya untuk menulis naskah serta menjadi sutradara film tersebut yang berjudul My Best Friend's Birthday. Hanya sayangnya, film ini gagal diselesaikan akibat musibah kebakaran di laboratorium saat proses editing. Tarantino menjual naskah filmnya ini dan kelak menjadi dasar naskah film True Romance (1993) yang digarap oleh Tony Scott. Tarantino juga menulis naskah keduanya untuk film Natural Born Killers (1994) yang kelak digarap sutradara kawakan Oliver Stone.
Di tahun 1992, Kembali bersama Bender, Tarantino memulai debut sutradaranya melalui film kriminal Reservoir Dogs. Film berbujet minim dengan dibintangi aktor-aktor kelas dua ini berkisah tentang perampokan oleh sekelompok gangster namun uniknya aksi perampokannya sendiri tidak pernah diperlihatkan. Meski tidak dipromosikan secara besar-besaran namun film ini mampu meraih hasil cukup baik bahkan hingga luar Amerika. Di Inggris misalnya, film ini meraih 6,5 juta Poundsterling. Popularitas film ini kelak akan semakin terangkat setelah sukses film kedua Tarantino, Pulp Fiction. Film ini juga mendapat perhatian di Sundance Film Festival, karena gaya filmnya yang khas, yakni plot nonlinier, aksi kekerasan yang vulgar, budaya pop amerika yang kental, serta dialog-dialog tempelan yang tidak berhubungan dengan plot filmnya. Gaya ini menjadi trademark tersendiri dalam film-filmnya kelak.
Dalam perkembangan juga bersama Bender, Tarantino membuat perusahaan produksi sendiri yang ia beri nama A Band Apart. Nama ini diambil dari film gerakan French New Wave, yakni Bande à part (1964/Band of Outsiders) garapan Jean-Luc Goddard yang filmnya sangat mempengaruhi Tarantino dan rekan-rekannya. Logo perusahaannya sendiri juga mencuplik gambar dari film debutnya, Reservoir Dogs. Tercatat nama-nama besar di dunia film turut bergabung dalam perusahaan ini, sebut saja Robert Rodriguez yang juga sobat kental Tarantino, John Woo, Darren Aranofsky, Tim Burton, hingga Luc Besson.
Sukses Reservoir Dogs membuat Tarantino banyak didekati studio-studio besar untuk menggarap proyek film-film mereka. Namun tidak digubrisnya, ia justru sibuk menggarap naskah film keduanya. Bersama perusahaan barunya dengan menggandeng studio Miramax, Tarantino memproduksi Pulp Fiction. Konon sederet nama-nama besar yang terlibat dalam film, seperti John Travolta, Bruce Willis, Samuel L. Jackson, Ving Rhames, dan Uma Thurman rela digaji rendah. Tercatat Willis adalah bintang paling top yang ikut dalam proyek ini. Diluar dugaan, Pulp Fiction sukses luar biasa. Secara mengejutkan Pulp Fiction mampu meraup pendapatan kotor mencapai lebih dari $200juta di seluruh dunia bandingkan dengan bujet produksinya yang hanya $8,5 juta. Di Amerika sendiri, Pulp Fiction tercatat sebagai film independen pertama yang meraup pendapatan diatas $100juta. Bahkan hingga saat ini pun Pulp Fiction masih tercatat sebagai film independen terlaris sepanjang masa.
Pulp Fiction juga sukses secara kritik dengan mampu menyabet piala Oscar untuk naskah orisinil terbaik dengan tujuh nominasi termasuk Film Terbaik. Sukses film ini juga mampu mengangkat pamor bintang-bintang veteran seperti, Bruce Willis dan John Travolta. Pulp Fiction sendiri kembali dikemas dengan gaya khas Tarantino, yakni pola plot nonlinier, aksi kekerasan vulgar, budaya pop lokal, lagu dan musik 70-an, hingga dialog tempelannya. Sukses Pulp Fiction mampu membangkitkan kembali gairah film independen di dunia serta menginspirasi banyak film setelahnya. Oleh banyak pengamat film ini dianggap sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa. (baca ulasan Pulp Fiction di Buletin Montase edisi 7/Film Independen).
Tahun berikutnya Tarantino terlibat dalam produksi film unik, Four Rooms (1995) dimana ia menggarap satu segmen cerita dari empat segmen dalam filmnya. Sohibnya, Robert Rodriuez juga menggarap satu diantaranya. Tarantino menulis, menyutradarai, dan membintangi segmen cerita yang berjudul The Man from Hollywood. Dalam film ini, Tarantino juga bereuni kembali dengan Bruce Willis. Di tahun yang sama, Tarantino juga bermain sebagai aktor dalam dua film yang digarap Rodriguez, yakni Desperado (1995) dan From Dusk Till Dawn (1995). Dalam film yang kedua Tarantino bahkan menulis naskah filmnya sekaligus mendapat peran pembantu utama.
Di tahun 1997, Tarantino memproduksi film ketiganya, Jackie Brown, yang naskahnya ditulisnya sendiri didasarkan novel Rum Punch karya Elmore Leonard. Film ini merupakan tribute Tarantino terhadap film-film kulit hitam (blaxploitation) era 70-an. Film ini dibintangi sederet nama-nama besar seperti Robert De Niro, Pam Grier, Robert Forster, Bridget Fonda, Michael Keaton, serta Samuel L. Jackson. Meskipun tidak sesukses Pulp Fiction namun Jakcie Brown masih mampu terbilang sukses di pasaran, baik dari sisi komersil maupun kritik. Film ini mampu meraih nominasi Oscar untuk aktor pembantu terbaik (Robert Forster), serta dua nominasi Golden Globe. Sedikit berbeda dengan gaya di dua film sebelumnya, srruktur linier di film ini lebih dominan. Tercatat hanya sekali struktur ”nonlinier” digunakan, yakni menjelang sekuen akhir dan dialog tempelan yang menjadi khasnya, juga tidak dominan seperti dua film sebelumnya.
Setelah absen selama hampir enam tahun, baru pada tahun 2003, Tarantino memproduksi film aksi-kriminal, Kill Bill Vol.1, yang berlanjut dengan sekuelnya, Kill Bill Vol.2 di awal tahun berikutnya. Awalnya film ini akan dirilis satu film namun dipecah menjadi dua karena durasi total sekitar empat jam. Dalam dua film ini Tarantino memadukan beberapa genre sekaligus yakni, silat Hong Kong, samurai (Chanbara), hingga spaghetti westerns. Tidak seperti film-film Tarantino sebelumnya Kill Bill mengambil lokasi syuting di banyak wilayah dan negara, seperti California, Texas, Beijing, Hong Kong, Tokyo, hingga Mexico.
Melalui Kill Bill Vol.1, Tarantino tidak hanya bereksperimen melalui teknik naratif namun juga bahasa sinematik. Gaya khas Tarantino, yakni pola nonlinier, aksi brutal, serta lagu dan musik 70-an masih ia gunakan namun kali ini sineas mencoba lebih jauh bermain-main dengan teknik sinematografi dan editing. Gerak kamera dan sudut kamera jauh lebih dinamis dan bervariasi dari film-film sebelumnya. Teknik editing pun semakin cepat dan bervariasi terutama pada adegan aksi pertarungan. Dalam satu segmen cerita, Tarantino bahkan menggunakan teknik animasi gaya Jepang (anime). Tidak seperti film-film sebelumnya, Kill Bill Vol.1 adalah film garapan Tarantino yang paling banyak mengumbar adegan pembantaian berdarah dengan ekstra brutal. Sayang, dialog tempelan khasnya dalam film ini tidak ia gunakan.
Berbeda dengan film pertamanya, Kill Bill Vol.2 lebih mengutamakan sisi dramatik ketimbang aksinya. Bahkan pada adegan klimaks akhir pun kita tidak melihat adegan aksi pertarungan seru seperti halnya di film pertama. Tarantino juga kali ini menuturkan ceritanya secara linier dengan tempo yang lebih lambat sangat jauh berbeda dengan seri pertamanya. Perbedaan gaya dan tempo yang sangat kontras dalam film kedua memperlihatkan seolah kedua film ini dibuat oleh sineas yang berbeda. Sekalipun begitu tercatat dua film ini menuai sukses komersil luar biasa. Hanya dengan bujet produksi masing-masing sekitar $30juta, dua film ini mampu meraih lebih dari total $400 juta pada rilisnya baik domestik maupun internasional. Tarantino sendiri berniat membuat sekuel ketiga, sepuluh tahun setelah seri kedua dirilis.
Bersama karibnya, Robert Rodriguez, Tarantino membuat dua seri film (double feature) yang mereka beri judul, Grindhouse (2007). Ide ini terinsipirasi mereka dari poster film double feature klasik era 50-an yang berisi dua film. Grindhouse sendiri diinspirasi dari nama bioskop-bioskop era silam yang hanya memutar film-film kelas B. Rodriguez membuat film pertama yang berjudul Planet Terror dimana Tarantino sendiri mendapat peran kecil dalam filmnya. Sementara Tarantino membuat film kedua, yakni Deathproof. Dua film ini memang dikemas dengan unik layaknya film aksi kelas B dengan gambar yang sengaja dibuat cacat, menyajikan beberapa iklan (film) fiktif, hingga ”missing reel”. Deathproof sendiri sangat berbeda dengan film-film garapan Tarantino sebelumnya. Gaya khasnya yang dominan masih muncul yakni dialog-dialog tempelan, aksi brutal, serta lagu dan musik lawas. Tarantino juga menunjukkan kepiawaiannya membuat adegan ”car chase” yang sangat seru dan menegangkan. Dalam film ini untuk pertama kalinya juga Tarantino bertindak sebagai sinematografer. Sekalipun dua film ini mendapat respon positif dari kritikus namun gagal secara komersil.
Inglourious Basterds (2009) merupakan film garapan Tarantino yang belum lama ini rilis. Film ini terinspirasi Tarantino dari film perang tahun 1978, Inglorious Bastards namun sang sineas sendiri tidak pernah menganggap filmnya sebuah remake. Untuk pertama kalinya dalam filmnya, Tarantino mengkasting bintang papan atas Hollywood, Brad Pitt. Kisah filmnya yang juga berlatar masa silam (Perang Dunia Kedua) juga merupakan sebuah hal yang baru bagi Tarantino. Hampir semua gaya khasnya juga ia munculkankan dalam film ini. Selain dipuji banyak pengamat juga film ini juga merupakan film garapan Tarantino yang paling sukses secara komersil dengan meraih pendapatan lebih dari $300 juta di seluruh dunia.
Sepanjang karirnya, Tarantino juga tidak hanya berprofesi sebagai sutradara dan penulis naskah namun juga seorang aktor. Tarantino tercatat sering muncul dalam film-filmnya sendiri serta film-film garapan sobatnya, Robert Rodriguez. Tarantino juga tercatat pernah terlibat dalam produksi film seri televisi (satu episode) sebagai sutradara, seperti ER dan CSI: Crime Scene Investigation. Tarantino juga seringkali memproduseri film-film garapan rekannya sendiri seperti From Dusk Till Dawn bersama dua sekuelnya, Hostel dan sebuah sekuelnya, serta Hell Ride.
”Gaya Tarantino”
Bicara tentang karakteristik film-film Tarantino tidak bisa lepas dari karakter gerakan sinema di Perancis, yaitu Nouvelle Vague atau yang lebih dikenal Fench New Wave. Karakteristik film-film Tarantino memang memiliki banyak kemiripan dengan film-film gerakan ini terutama arahan Jean-Luc Godard. Isi (tema/cerita) bukanlah hal pokok namun adalah bagaimana isi tersebut dikemas. ”Kemasan” adalah gaya serta karakter utama dari film-film Tarantino. Ia selalu mencoba sesuatu yang tidak lazim digunakan dalam film-film mainstream baik genre, struktur dan pengembangan cerita, aksi, dialog, musik, serta lainnya. Film-film Tarantino juga sangat dipengaruhi film-film yang ia tonton terutama di era 60-an dan 70-an. Tarantino juga selalu menyutradarai dan menulis naskah semua filmnya sendiri.
Dari sisi genre, semua film-film Tarantino selalu berkutat dengan aksi kriminal atau gangster, sejak film debutnya, Reservoir Dogs hingga Inglourious Basterds. Nuansa gangster sedikit mengendur hanya pada Deathproof yang mengisahkan seorang stuntman ”maniak" yang suka membunuh gadis-gadis muda. Seperti film-film French New Wave, karakter tokoh-tokoh utama di film-film Tarantino lazimnya juga tipe orang yang bebas, cuek, bertindak semaunya, kasar, serta anti kemapanan. Alhasil karakter-karakter tokoh ini sangat mendukung alur cerita, dialog, serta aksi kekerasan yang menjadi ciri khas Tarantino.
Dari sisi cerita Tarantino menyukai gaya bertutur nonkonvensional, yakni pola plot nonlinier serta multiplot. Pola nonlinier tampak dalam film-film seperti, Reservoir Dogs, Pulp Fiction maupun Kill Bill Vol.1. Nyaris dalam semua filmnya, layaknya sebuah novel Tarantino juga suka membagi cerita filmnya menggunakan chapter atau babak, yang seringkali ia beri judul. Seperti contoh dalam Kill Bill Vol 1, ia menamai babaknya, Chapter One: 2 dan Chapter Two: The Blood Splattered Bride, dan seterusnya. Sementara pola multi-plot ia gunakan dalam Reservoir Dogs, Pulp Fiction, dan Jackie Brown.
Dalam semua alur cerita film-film Tarantino, plotnya selalu bersifat spontan (tidak terduga), sering berubah arah secara mendadak, dan seringkali berkesan kompleks namun memiliki penyelesaian yang sangat sederhana (mudah). Tokoh-tokoh ceritanya seringkali terjebak dalam situasi rumit yang mengejutkan dan tidak mereka duga sama sekali. Dalam Reservoir Dogs, aksi perampokan yang menjadi kunci cerita secara mengejutkan justru tidak diperlihatkan sama sekali. Lalu kisahnya yang demikian simpang-siur diakhiri begitu mudahnya pada klimaks cerita. Dalam Pulp Fiction, karakter Jules dan Vincent, beberapa kali terjebak dalam situasi tak terduga, salah satunya ketika mereka tengah makan siang di sebuah restoran tiba-tiba mereka terjebak dalam situasi perampokan.
Salah satu ciri utama film-film Tarantino adalah dialog ekletiknya (tempelan). Dialog-dialog tersebut biasanya berupa dialog ringan ”tak bermutu” yang sama sekali tidak ada hubungan dengan plot utama. Namun begitu justru dialog-dialog ini membantu mendukung karakterisasi tiap tokohnya serta memberikan nuansa komedi dalam film-filmnya. Dalam Reservoir Dogs, pada adegan pembuka memperlihatkan para tokohnya membicarakan hal-hal di luar aksi perampokan, seperti lagu Madonna serta masalah tip. Dalam Pulp Fiction, Jules dan Vincent membicarakan masalah istilah burger ketika mereka tengah berkendaraan. Dalam segmen kedua Deathproof, keempat gadis selama hampir lebih dari setengah jam membicarakan masalah-masalah ringan seperti, laki-laki, liburan, senjata api, hingga film. Masih berhubungan dengan dialog, Tarantino juga teramat sering menyisipkan kata-kata sumpahan kasar dalam semua dialognya yang seringkali memicu kontroversi.
Film-film Tarantino juga dikenal dengan adegan aksi kekerasannya yang sangat brutal. Tokoh-tokoh utamanya yang lazimnya seorang gangster atau kriminil tidak segan-segan menyiksa atau menghabisi nyawa musuh-musuh mereka dengan cara yang sadis. Dalam nyaris semua filmnya, senjata api seringkali ditembakkan ke seseorang dalam jarak yang sangat dekat. Satu adegan brutal yang paling banyak dikecam pengamat adalah adegan penyiksaan polisi dalam Reservoir Dogs. Walau Tarantino tidak menampakkan secara eksplisit namun adegan tersebut mampu membuat jeri orang yang menontonnya. Dalam sebuah sekuen di Kill Bill Vol.1, tokoh utama membantai puluhan yakuza secara brutal dengan pedangnya.
Ciri khas lain dalam film-film Tarantino adalah musik dan lagu yang seringkali menggunakan musik pop dan rock lawas era 70-an dan 80-an. Tarantino juga sering menggunakan pemain-pemain veteran yang telah lewat masa jayanya, sebut saja seperti John Travolta, David Carradine, hingga Kurt Russel. Dalam beberapa filmnya, seperti seri Kill Bill dan Deathproof, Tarantino mencoba lebih jauh berujicoba menggunakan beberapa teknik sinematografi dan editing. Dalam film-film ini Tarantino dalam beberapa adegan menggunakan teknik hitam-putih, sudut serta pergerakan kamera yang lebih dinamis, ritmik editing, serta lainnya. Ada hal unik dari sisi sudut kamera, dalam semua film-filmnya pasti terdapat sebuah POV (point of view) shot dari dalam bagasi mobil.
Dalam produksi filmnya, Tarantino juga sering berkolaborasi dengan orang-orang yang sama. Lawrence Bender dan Sally Menke tercatat adalah orang yang paling sering terlibat dalam produksi film-film Tarantino. Bersama Bender, Tarantino membentuk perusahaan produksi A Band Apart dan Bender selalu menjadi produser semua film-film Tarantino. Tarantino juga mempercayakan penuh Sally Menke sebagai editor semua film yang ia garap. Mengapa editor wanita? Menke memiliki sentuhan feminin yang dianggap Tarantino memberikan sentuhan berbeda serta warna lain pada filmnya. Sementara sobat lamanya, Robert Avary juga beberapa-kali membantu Tarantino menulis naskah beberapa filmnya. Sementara aktor dan aktris seperti Samuel L. Jackson, Uma Thurman, Michael Madsen, Harvei Keitel, serta Tim Roth tercatat adalah para pemain yang paling sering bermain dalam film-film Tarantino.
“When people ask me if I went to film school I tell them, No, I went to films” ujar Tarantino. Awal karirnya sebagai penjaga rental video, ia selalu mengamati film-film apa yang disukai para peminjam, ini menginspirasinya kelak untuk menjadi seorang sutradara serta pula karakter film-filmnya. Film-film Tarantino murni adalah sebuah kemasan yang lepas dari isu moral, etika, serta sosial. Melalui pendekatannya Tarantino terbukti telah memberikan sumbangsih berharga bagi dunia perfilman serta mampu membangkitlan gairah film independen. Melalui film-filmnya, Tarantino mencoba mengatakan pada kita bahwa tidak ada batasan sama sekali dalam mengembangkan sinema.
Febrian Andhika & Himawan Pratista
No comments:
Post a Comment