Kombinasi Aksi, Komedi, dan Western
The Way of The Dragon (1972) merupakan film ketiga Bruce Lee sekaligus menjadi debut sutradaranya. Kontrol penuh didapat Lee termasuk menulis naskahnya sendiri hingga penata laga. Film yang diproduseri Raymond Chow (Golden Harvest) ini dibintangi aktris cantik Nora Miao, Wang Chung-Hsin serta bintang tamu, juara karate asal Amerika, Chuck Norris yang juga adalah murid Lee.
Alkisah pemuda desa jago kung-fu, Tang Lung (Lee) mendapat amanah dari pamannya untuk membantu usaha restoran Cina rekannya yang kini dikelola keponakannya, Chen Ching Hua (Miao) di Roma, Italia. Restoran tersebut diteror para preman karena Chen menolak tawaran Robert, seorang bos mafia setempat yang ingin membeli restoran tersebut. Tang Lung suatu kali berhasil mengusir para preman keluar namun bos mafia belum mau menyerah. Ketika usaha untuk menyingkirkan Tang Lung berulang-kali gagal, sang bos akhirnya menyewa Colt (Norris), seorang juara Karate Amerika untuk menghabisi Tang Lung.
Entah bisa jadi karena film ini diproduksi di Italia namun nyatanya nuansa western (spaghetty western) terasa begitu kental baik dari sisi cerita maupun pencapaian teknis. Plotnya murni diambil dari plot konvensional western lengkap dengan duel klimaks sang jagoan dengan musuhnya di akhir cerita. Uniknya, sekalipun film aksi laga namun tidak serta merta semua adegan berujung (memaksa) pada aksi perkelahian. Tercatat adegan laga baru muncul setelah durasi sekitar setengah jam. Pada satu adegan awal, Lee (sineas) berusaha memancing reaksi penonton ketika Tang Lung didaulat anak buah Chen untuk mendemonstrasikan kung-funya namun nyatanya tidak ia lakukan. Efeknya sungguh luar biasa bagi penonton ketika Tang Lung benar-benar menunjukkan kehebatannya. Satu lagi keunikan film ini adalah selera humornya yang tinggi. Dalam sekuen pembuka, Lee berlama-lama dengan karakter Tang Lung ketika perutnya lapar saat ia menanti jemputan. Tang Lung yang hanya bisa bahasa mandarin sama sekali tidak mengetahui apa yang ia pesan di restoran. Sentuhan humor disisipi hampir dalam semua adegannya termasuk aksi laga sehingga film ini tidak pernah terasa membosankan.
Satu hal yang menjadi andalan dan kekuatan film ini jelas adalah aksi laganya. Lee memperlihatkan kemampuannya berolah kung-fu, baik tangan kosong, menggunakan tongkat, dan double stick melalui pesona dan karismanya yang khas. Unsur komedi menjadi bumbu yang pas menyelingi adegan aksi laganya. Dalam aksi pertarungan Lee kadang juga menambahkan efek suara tak lazim layaknya arena sirkus seperti “boing” atau “dung” tatkala musuh-musuhnya terkena pukulan atau tendangan Tang Lung. Adegan laga paling berkesan tentunya adalah laga klimaks antara Tang Lung dengan Colt. Pertarungan guru dan murid ini konon banyak dianggap pengamat sebagai adegan pertarungan tangan kosong terbaik yang pernah ada. Aksi membalik jempol juga merupakan satu aksi yang paling banyak ditiru dalam banyak film setelah ini. Satu hal yang tak lazim adalah Lee menyisipkan beberapa kali shot kucing yang tengah menonton keduanya berduel. Pada duel klimaks ini nuansa western juga tampak kental terutama pada aspek sinematografi dan editing. Pada shot penutup tampak sang jagoan berjalan menjauh seorang diri menyongsong petualangan selanjutnya. The Way of the Dragon merupakan karya terbaik Lee yang tidak hanya menampilkan karismanya sebagai seorang ahli beladiri namun juga aktor serta sineas yang handal.
Himawan Pratista
Alkisah pemuda desa jago kung-fu, Tang Lung (Lee) mendapat amanah dari pamannya untuk membantu usaha restoran Cina rekannya yang kini dikelola keponakannya, Chen Ching Hua (Miao) di Roma, Italia. Restoran tersebut diteror para preman karena Chen menolak tawaran Robert, seorang bos mafia setempat yang ingin membeli restoran tersebut. Tang Lung suatu kali berhasil mengusir para preman keluar namun bos mafia belum mau menyerah. Ketika usaha untuk menyingkirkan Tang Lung berulang-kali gagal, sang bos akhirnya menyewa Colt (Norris), seorang juara Karate Amerika untuk menghabisi Tang Lung.
Entah bisa jadi karena film ini diproduksi di Italia namun nyatanya nuansa western (spaghetty western) terasa begitu kental baik dari sisi cerita maupun pencapaian teknis. Plotnya murni diambil dari plot konvensional western lengkap dengan duel klimaks sang jagoan dengan musuhnya di akhir cerita. Uniknya, sekalipun film aksi laga namun tidak serta merta semua adegan berujung (memaksa) pada aksi perkelahian. Tercatat adegan laga baru muncul setelah durasi sekitar setengah jam. Pada satu adegan awal, Lee (sineas) berusaha memancing reaksi penonton ketika Tang Lung didaulat anak buah Chen untuk mendemonstrasikan kung-funya namun nyatanya tidak ia lakukan. Efeknya sungguh luar biasa bagi penonton ketika Tang Lung benar-benar menunjukkan kehebatannya. Satu lagi keunikan film ini adalah selera humornya yang tinggi. Dalam sekuen pembuka, Lee berlama-lama dengan karakter Tang Lung ketika perutnya lapar saat ia menanti jemputan. Tang Lung yang hanya bisa bahasa mandarin sama sekali tidak mengetahui apa yang ia pesan di restoran. Sentuhan humor disisipi hampir dalam semua adegannya termasuk aksi laga sehingga film ini tidak pernah terasa membosankan.
Satu hal yang menjadi andalan dan kekuatan film ini jelas adalah aksi laganya. Lee memperlihatkan kemampuannya berolah kung-fu, baik tangan kosong, menggunakan tongkat, dan double stick melalui pesona dan karismanya yang khas. Unsur komedi menjadi bumbu yang pas menyelingi adegan aksi laganya. Dalam aksi pertarungan Lee kadang juga menambahkan efek suara tak lazim layaknya arena sirkus seperti “boing” atau “dung” tatkala musuh-musuhnya terkena pukulan atau tendangan Tang Lung. Adegan laga paling berkesan tentunya adalah laga klimaks antara Tang Lung dengan Colt. Pertarungan guru dan murid ini konon banyak dianggap pengamat sebagai adegan pertarungan tangan kosong terbaik yang pernah ada. Aksi membalik jempol juga merupakan satu aksi yang paling banyak ditiru dalam banyak film setelah ini. Satu hal yang tak lazim adalah Lee menyisipkan beberapa kali shot kucing yang tengah menonton keduanya berduel. Pada duel klimaks ini nuansa western juga tampak kental terutama pada aspek sinematografi dan editing. Pada shot penutup tampak sang jagoan berjalan menjauh seorang diri menyongsong petualangan selanjutnya. The Way of the Dragon merupakan karya terbaik Lee yang tidak hanya menampilkan karismanya sebagai seorang ahli beladiri namun juga aktor serta sineas yang handal.
Himawan Pratista
No comments:
Post a Comment