Aksi Brutal ala John Woo
The Killer (Diéxuè shuāngxióng, 1989) merupakan film aksi-gangster garapan sineas kawakan John Woo. Kisah filmnya sendiri banyak diinspirasi dari film kriminal Perancis, Le Samourai (1967) karya Jean Pierre Melville. Film ini dibintangi oleh aktor kawakan, Chow Yun-fat bersama Danny Lee, Sally Yeh, dan Kenneth Tsang. Sekalipun film ini gagal di pasar domestik namun di luar dugaan sukses di pasar internasional dan mendapat banyak pujian dari kritikus asing. Film ini juga menandai akhir kolaborasi antara John Woo dengan produsernya Tsui Hark.
Seorang pembunuh bayaran kelas atas, Ah-jong (Yun-fat) memutuskan untuk pensiun dari pekerjaannya setelah menyelesaikan misi terakhirnya. Sewaktu melaksanakan aksinya di sebuah pub, secara tak sengaja Ah-jong melukai mata Jennie (Yeh), seorang penyanyi pub hingga hampir buta. Ah-jong yang merasa bersalah memutuskan untuk membiayai operasi mata Jennie dengan melakukan satu misi lagi. Sementara Li Ying (Lee) adalah seorang inspektur polisi gigih yang kecewa dengan cara kerja kepolisian menangani kasus kriminal. Li suatu ketika mendapat tugas melindungi seorang taipan korup yang menjadi target Ah-jong. Li serta merta memburu Ah-jong ketika sang target tewas. Di saat bersamaan, Ah-jong ternyata juga menjadi buruan atasannya untuk melenyapkan saksi.
Plot filmnya sederhana, berjalan dengan tempo sangat cepat yang tujuannya cuma satu, yakni memaksa aksi muncul sepanjang filmnya. Mata kamera jarang sekali berlama-lama dengan adegan dialog sedramatik apapun adegannya. Adegan demi adegan berpindah dengan sangat cepat namun hebatnya kita masih mampu bersimpati penuh dengan tokoh-tokohnya. Ini jelas karena pengaruh akting yang kuat dari para pemainnya khususnya Chow Yun-fat dan Danny Lee. Adegan aksi jelas-jelas adalah tujuan utama filmnya. Aksi brutal gila-gilaan bisa muncul begitu saja dengan mengabaikan logika dan akal sehat. Musuh dapat muncul begitu saja, dimana pun dan kapan saja seolah tak ada habis-habisnya. Adegan aksi juga tidak pernah berdurasi singkat tapi sengaja diulur selama mungkin hanya untuk menghibur penonton. Memaksa? Jelas ya. Namun satu hal yang terasa sangat manusiawi dalam film ini adalah hubungan persahabatan yang terjalin antara Ah-jong dan Li Ying.
Apa yang membuat John Woo begitu hebat adalah cara ia mengemas adegan aksi. Adegan aksi dalam film ini pada masanya dianggap terlalu keras namun anehnya menjadi tren dalam film-film aksi setelahnya. Tidak ada kata lain selain brutal untuk mengomentari semua adegan aksi dalam film ini. Peluru dan darah berhamburan dimana-mana bagai ladang pembantaian manusia! Tembak-menembak tidak hanya terjadi pada jarak jauh namun juga sangat dekat hingga 1-2 meter saja! Sepanjang film kita melihat bagaimana aksi Ah-jong dan Li Ying berakrobatik, “meluncur”, dan “terbang” sembari menghabisi musuh-musuh mereka. Woo mengemas aksi gila-gilaan ini menggunakan gaya khasnya, yakni kombinasi teknik editing cepat, pergerakan kamera dinamis, serta slow-motion. Satu contoh aksi tembak-menembak paling brutal dapat dilihat pada sekuen klimaks di gereja yang menampilkan pula “trademark” Woo, burung dara putih. Gaya khas John Woo ini kelak masih dapat kita lihat dalam film-film produksi Hollywood garapannya seperti Hard Target, Face/Off, dan MI:2 walau sedikit lebih halus ketimbang The Killer.
M. Pradipta
Seorang pembunuh bayaran kelas atas, Ah-jong (Yun-fat) memutuskan untuk pensiun dari pekerjaannya setelah menyelesaikan misi terakhirnya. Sewaktu melaksanakan aksinya di sebuah pub, secara tak sengaja Ah-jong melukai mata Jennie (Yeh), seorang penyanyi pub hingga hampir buta. Ah-jong yang merasa bersalah memutuskan untuk membiayai operasi mata Jennie dengan melakukan satu misi lagi. Sementara Li Ying (Lee) adalah seorang inspektur polisi gigih yang kecewa dengan cara kerja kepolisian menangani kasus kriminal. Li suatu ketika mendapat tugas melindungi seorang taipan korup yang menjadi target Ah-jong. Li serta merta memburu Ah-jong ketika sang target tewas. Di saat bersamaan, Ah-jong ternyata juga menjadi buruan atasannya untuk melenyapkan saksi.
Plot filmnya sederhana, berjalan dengan tempo sangat cepat yang tujuannya cuma satu, yakni memaksa aksi muncul sepanjang filmnya. Mata kamera jarang sekali berlama-lama dengan adegan dialog sedramatik apapun adegannya. Adegan demi adegan berpindah dengan sangat cepat namun hebatnya kita masih mampu bersimpati penuh dengan tokoh-tokohnya. Ini jelas karena pengaruh akting yang kuat dari para pemainnya khususnya Chow Yun-fat dan Danny Lee. Adegan aksi jelas-jelas adalah tujuan utama filmnya. Aksi brutal gila-gilaan bisa muncul begitu saja dengan mengabaikan logika dan akal sehat. Musuh dapat muncul begitu saja, dimana pun dan kapan saja seolah tak ada habis-habisnya. Adegan aksi juga tidak pernah berdurasi singkat tapi sengaja diulur selama mungkin hanya untuk menghibur penonton. Memaksa? Jelas ya. Namun satu hal yang terasa sangat manusiawi dalam film ini adalah hubungan persahabatan yang terjalin antara Ah-jong dan Li Ying.
Apa yang membuat John Woo begitu hebat adalah cara ia mengemas adegan aksi. Adegan aksi dalam film ini pada masanya dianggap terlalu keras namun anehnya menjadi tren dalam film-film aksi setelahnya. Tidak ada kata lain selain brutal untuk mengomentari semua adegan aksi dalam film ini. Peluru dan darah berhamburan dimana-mana bagai ladang pembantaian manusia! Tembak-menembak tidak hanya terjadi pada jarak jauh namun juga sangat dekat hingga 1-2 meter saja! Sepanjang film kita melihat bagaimana aksi Ah-jong dan Li Ying berakrobatik, “meluncur”, dan “terbang” sembari menghabisi musuh-musuh mereka. Woo mengemas aksi gila-gilaan ini menggunakan gaya khasnya, yakni kombinasi teknik editing cepat, pergerakan kamera dinamis, serta slow-motion. Satu contoh aksi tembak-menembak paling brutal dapat dilihat pada sekuen klimaks di gereja yang menampilkan pula “trademark” Woo, burung dara putih. Gaya khas John Woo ini kelak masih dapat kita lihat dalam film-film produksi Hollywood garapannya seperti Hard Target, Face/Off, dan MI:2 walau sedikit lebih halus ketimbang The Killer.
M. Pradipta
No comments:
Post a Comment