Home

Emak Ingin Naik Haji

Mengamati film Indonesia dewasa ini membuat saya sekali lagi berharap akan film berkualitas yang semakin meningkat tiap tahunnya. Adalah film "Emak Ingin Naik Haji" (EINH), film yang diangkat dari cerpen salah satu penulis islami Asma Nadia, yang ditangani sutradara Aditya Gumay, mampu mengolah cita rasa film Indonesia dengan apik dan khas.

Film yang bercerita tentang impian Emak menunaikan ibadah haji dengan menabung sebagian hasil berjualan kuenya. Diceritakan pula cinta dan ketulusan sang anak, Zein yang berusaha mewujudkan mimpi ibunya yang sempat membawanya pada usaha tidak terpuji ditambah ia sendiri pun mewarisi masalah atas kegagalan rumah tangganya. Keinginan naik haji Emak kontras dengan motivasi berbeda tokoh lain seperti juragan haji sekeluarga yang dengan mudahnya bolak-balik pergi ke tanah suci dan Pak Joko yang mengejar gelar Haji karena pencalonan dirinya sebagai caleg.

Film yang memiliki sentuhan islami dengan setting urban, orang kaya di tengah perkampungan miskin mampu di kemas secara apik, dengan gaya satir yang ringan. Sutradara mampu membuka sisi lain yang luput ditangkap banyak orang. Aditya Gumay yang dikenal sebagai pendiri sanggar Ananda dan Teater Kawula Muda serta kita kenal lewat besutan anak didiknya di Lenong Bocah mampu membuat para pemain EINH bermain sangat natural. Inilah kelebihan sutradara yang berangkat dari teater. Ati Kanser (Emak) dan Reza Rahadian (Zein) memiliki chemistry yang baik sebagai ibu dan anak, piawai mengolah penonton larut dalam kisah perjuangan dan kisah pilu hidup mereka. Adapun konteks judul yang semula mampu menjadi spoiler isi cerita, namun Aditya justru membuat menjadi sebuah kejutan. Ketika penonton merasa Emak akan berangkat haji dengan cara yang manis dengan mendapatkan lucky draw, penonton mungkin sudah dibawa nyaman dengan adegan yang berjalan manis, namun disanalah Aditya "bermain" dengan pola yang semula sudah tertanam pada penonton lewat judulnya.

Di sisi lain terdapat minus dari sisi cerita. Film yang kontennya menggunakan plot yang mirip dengan film Babel ini (multiplot) menjadikan banyak tokoh lain akhirnya terpinggirkan. Panggung sebenarnya adalah milik Emak dan Zein. Unsur sensasi dari tokoh lain, seperti pejabat yang selingkuh dan ingin mendapat gelar haji semata justru menurunkan tempo alur cerita yang sudah terjaga ritmiknya lantaran porsinya yang cukup besar walau toh pada akhirnya ceritanya bertaut sebab-akibat dengan baik. Hanya tokoh-tokoh keluarga pak haji juragan kaya saja yang unsur ceritanya mampu bersinergi baik dengan kehidupan Emak dan Zein.

Sebenarnya film ini menempatkan waktu tayangnya pada momen yang tepat yaitu saat musim haji, namun sayangnya film ini muncul pada periode sama dengan film-film besar lainnya yang sudah banyak ditunggu pecinta film (2012 dan New Moon) hingga menutupi gaung filmnya. Jika kita bandingkan film-film islami sebelumnya seperti Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, film ini bukan hanya mampu membawa pesan moral yang baik. Namun lebih dari itu mampu mengupas esensi kehidupan yang terekam kontras dan dikemas bukan untuk menyimbolkan namun menyelusup dan mengetuk hati penonton, lewat cerita yang update dan dialog-dialognya yang mampu ditempatkan sang sineas hingga menjadi punch line yang menggugah.

Andrei Budiman

No comments:

Post a Comment