Hanya Film Laga Semata
Yuda mengejutkan saya dalam dua hal. Pertama, dia bersikeras untuk merantau ke Jakarta dengan hanya bermodalkan ilmu silat. Yuda berencana untuk menjadi guru silat di sana. Ini bikin saya bergumam kecil “oh C’mon man”. Saya tidak tahu apakah Yuda sering membaca, mendengar atau melihat berita tentang Jakarta. Hari-harinya tampaknya hanya diisi dengan berkebun dan berlatih silat. Kalaupun dia bersikeras merantau itu semata karena kebiasaan dalam lingkungan budaya minang. Merantau mungkin dapat dimaknai sebagai perjalanan suci. Kedua, ilmu silat Yuda ternyata mengagumkan. Dia mampu melawan belasan orang di sebuah klub dengan gerakan tangan dan kakinya yang lincah. Saya hampir tidak percaya apa yang saya lihat adalah sebuah gerakan ciri khas dari ilmu bela diri silat. Tapi ini sudah dikonfirmasi oleh orang yang belajar silat, yap itu silat. Saya jadi yakin aksi laga Yuda adalah jawaban bahwa masa depan film laga Indonesia tampaknya akan sangat cerah. Genre yang telah lama tenggelam ini lagak-lagaknya akan semarak lagi dengan kualitas koreografi laga yang lebih baik dan masuk akal.
Film ini dbuka dengan suara berat dan serak Wulan, ibunda Yuda yang diperankan oleh Christine Hakim. Entah kenapa suara ini berasa sinematik, membuat gambar makin puitik dengan pengambilan extreme long shot. Yuda sedang berlatih silat di tanah lapang di bawah bukit yang melangit. Narasi Wulan mengantar penonton untuk memaknai tradisi merantau dan ini adalah hari-hari menjelang keberangkatan Yuda Ke Jakarta. Opening yang cantik dan puitik ini sayangnya diikuti oleh sekuens yang benar-benar membosankan dengan dialog-dialog panjangnya, membuat jatuh seketika kekuatan narasi dan gambar pada pembuka tadi.
Jakarta tidak semudah yang Yuda bayangkan. Yuda memang tidak terasing. Tidak ada suara pikuk kendaaran, tidak ada gedung sombong yang menjulang, kecuali di malam saat Yuda harus tidur di sebuah lokasi proyek konstruksi berlatar belakang sebuah gedung bertingkat yang gelap. Guna menggerakan cerita Evans memanfaatkan kebetulan-kebetulan kejadian yang akhirnya membawa Yuda dalam konflik dengan komplotan perdagangan perempuan. Di mulai dengan dompet Yuda yang dicopet oleh seorang anak kecil yang kemudian membawanya pada sebuah kejadian seorang perempuan yang sedang adu mulut dengan seorang lelaki. Coba tebak? Yap. Perempuan yang sedang adu mulut itu adalah kakak dari anak kecil pencopet tadi. Kebetulan itu bergerak sepanjang cerita sampai-sampai Astri, perempuan yang ditolongnya itu berujar “ loe lagi..loe lagi”.
G.E Evans benar-benar jatuh cinta pada film laga. Dia mempelakukan adegan-adegan laga dalam merantau dengan apik. Beberapa shot yang sulit untuk dilakukan, dikerjakan dengan cakap. Adegan laga dalam lift adalah salah satu adegan favorit saya. Sayang durasi laga pada sekuens ini tidak panjang. Padahal pada sekuens inilah dua jago silat bertemu. Satu lagi adegan laga yang menarik adalah saat di pelabuhan. Semua kontainer yang menjadi latar berwarna merah. Terkonsep sekali dan ciamik. Menjadikan gerakan kaki dan tangan dalam laga menjadi sebuah gambar hidup yang enak dilihat.
Saya harus mengacungi dua jempol untuk usaha G.E Evans dalam penyutradaraan adegan-adegan laga dalam film ini. Saya menjadi tidak heran kalau penonton Jogja di opening JAFF malam itu bertepuk tangan sepanjang aksi laga. Sayangnya kecintaan G.E Evans dalam laga tidak terjadi pada cerita dan plot film ini. Hampir-hampir dibuat hanya sebagai alat saja. Film aksi yang bagus bisa tambah bagus dengan back up cerita dan plot yang menarik. Tampaknya G. E Evans hanya ingin mengajak penonton untuk melihat film ini sebagai laga semata. Padahal pendorong ceritanya berawal dari sebuah kultur yaitu merantau.
Homer Harianja
Film ini dbuka dengan suara berat dan serak Wulan, ibunda Yuda yang diperankan oleh Christine Hakim. Entah kenapa suara ini berasa sinematik, membuat gambar makin puitik dengan pengambilan extreme long shot. Yuda sedang berlatih silat di tanah lapang di bawah bukit yang melangit. Narasi Wulan mengantar penonton untuk memaknai tradisi merantau dan ini adalah hari-hari menjelang keberangkatan Yuda Ke Jakarta. Opening yang cantik dan puitik ini sayangnya diikuti oleh sekuens yang benar-benar membosankan dengan dialog-dialog panjangnya, membuat jatuh seketika kekuatan narasi dan gambar pada pembuka tadi.
Jakarta tidak semudah yang Yuda bayangkan. Yuda memang tidak terasing. Tidak ada suara pikuk kendaaran, tidak ada gedung sombong yang menjulang, kecuali di malam saat Yuda harus tidur di sebuah lokasi proyek konstruksi berlatar belakang sebuah gedung bertingkat yang gelap. Guna menggerakan cerita Evans memanfaatkan kebetulan-kebetulan kejadian yang akhirnya membawa Yuda dalam konflik dengan komplotan perdagangan perempuan. Di mulai dengan dompet Yuda yang dicopet oleh seorang anak kecil yang kemudian membawanya pada sebuah kejadian seorang perempuan yang sedang adu mulut dengan seorang lelaki. Coba tebak? Yap. Perempuan yang sedang adu mulut itu adalah kakak dari anak kecil pencopet tadi. Kebetulan itu bergerak sepanjang cerita sampai-sampai Astri, perempuan yang ditolongnya itu berujar “ loe lagi..loe lagi”.
G.E Evans benar-benar jatuh cinta pada film laga. Dia mempelakukan adegan-adegan laga dalam merantau dengan apik. Beberapa shot yang sulit untuk dilakukan, dikerjakan dengan cakap. Adegan laga dalam lift adalah salah satu adegan favorit saya. Sayang durasi laga pada sekuens ini tidak panjang. Padahal pada sekuens inilah dua jago silat bertemu. Satu lagi adegan laga yang menarik adalah saat di pelabuhan. Semua kontainer yang menjadi latar berwarna merah. Terkonsep sekali dan ciamik. Menjadikan gerakan kaki dan tangan dalam laga menjadi sebuah gambar hidup yang enak dilihat.
Saya harus mengacungi dua jempol untuk usaha G.E Evans dalam penyutradaraan adegan-adegan laga dalam film ini. Saya menjadi tidak heran kalau penonton Jogja di opening JAFF malam itu bertepuk tangan sepanjang aksi laga. Sayangnya kecintaan G.E Evans dalam laga tidak terjadi pada cerita dan plot film ini. Hampir-hampir dibuat hanya sebagai alat saja. Film aksi yang bagus bisa tambah bagus dengan back up cerita dan plot yang menarik. Tampaknya G. E Evans hanya ingin mengajak penonton untuk melihat film ini sebagai laga semata. Padahal pendorong ceritanya berawal dari sebuah kultur yaitu merantau.
Homer Harianja
No comments:
Post a Comment