Dikisahkan Mulder dan Scully kini telah lama pensiun dari FBI. Mereka berdua tinggal serumah dan hidup tenang di sebuah kota kecil. Suatu ketika mereka berdua dimintai tolong oleh FBI untuk mengungkap kasus seorang agen FBI yang hilang secara misterius. Kasus ini juga melibatkan “teman” lama Mulder, Pendeta Joseph, yang memiliki kemampuan supernatural untuk membantu memecahkan kasus tersebut. Sementara Mulder bernostalgia dalam kenangan masa silamnya, Scully yang kini menjadi dokter bedah memiliki masalahnya sendiri dengan salah satu pasiennya yang tengah sekarat. Ketika pihak FBI mulai menyerah, Mulder tetap bersikeras mengungkap kasusnya. Penyelidikan Mulder membawanya ke sebuah sindikat asing yang melakukan uji coba mengerikan pada organ tubuh manusia.
Siapapun yang suka menonton seri televisinya atau film terdahulu pasti berpikir film ini akan lagi melibatkan makhluk asing (alien). Ternyata dugaan kita salah! Satu-satunya benang merah kasus X-File masa lalu hanyalah pada kemampuan supernatural Pendeta Joseph yang mampu berempati dengan para korban. Tidak seperti film pertamanya, ceritanya pun tidak berlebihan dan bahkan bisa dibilang terlalu sederhana seperti film-film seri televisinya. Namun kesederhanaan justru menjadi nilai lebih filmnya. Pencarian serta penyelidikan yang berimbang antara fakta ilmiah dan metafisik menjadi formula cukup efektif untuk melepas rindu para penggemar The X-File. Penulis naskah sepertinya tidak ingin terlalu terjebak dalam masalah lama Mulder (adiknya diculik Alien) namun secara sederhana hanya ingin mengajak para fans The X-File untuk bernostalgia seperti film-film seri televisinya.
Konflik fisiknya juga berimbang dengan konflik batin terutama Scully. Scully yang setelah sekian lama rupanya masih apatis terhadap hal-hal metafisik. Sikap Scully mulai goyah semenjak terlibat dalam kasus ini dan berdampak pada keputusan mediknya terhadap seorang pasiennya. Hal yang juga tentu menarik para penggemar setia film serinya tentulah hubungan asmara antara Mulder dan Scully. Walaupun dalam filmnya dikisahkan hubungan asmara mereka telah lama terjalin namun pada paruh awal film, sineas sepertinya ingin memberi kejutan pada para fansnya dengan tidak memberikan gambaran secara jelas. Terkait ini di akhir filmnya sineas memberi sebuah kejutan kecil yang tentunya dinanti para penggemarnya. Kejutan lainnya adalah munculnya bos Mulder dan Scully sewaktu mereka masih menjadi agen FBI dulu, yakni Skinner, walaupun hanya muncul beberapa saat.
Tidak seperti film pertamanya film ini sama sekali tidak menggunakan efek visual yang spektakuler. Hal ini pasti banyak mengecewakan penonton masa kini. Titik berat memang lebih pada cerita ketimbang adegan aksinya namun hal ini tidak mengurangi unsur ketegangan dalam filmnya. Satu lagi yang cukup unik adalah musik tema khas The X-File pada end credit yang disajikan lebih nge-“pop” dengan tempo cepat. Secara umum film ini tidak akan menarik bagi penonton masa kini terlebih yang bukan penggemar setia film serinya. Jujur saja, tidak ada sesuatu yang istimewa dalam film ini. Film ini juga mustahil untuk bisa mengulangi sukses komersil film pertamanya, mungkin akan lain hasilnya jika diproduksi beberapa tahun silam. Namun penggunaan formula cerita lawas, kematangan akting Duchovny dan Anderson (sebagai Mulder dan Scully), serta musik tema yang khas cukup untuk melepas rindu bagi para fans lama The X-File. Satu-satunya yang menganggu mungkin cuma pilihan judul filmnya, “The X-File: I Want to Believe”, setelah sekian lama kapan percayanya? (B)
The X-File Sebuah Romantika Masa Lalu
...
Setelah versi layar lebarnya satu dekade silam, The X-Files (1998), Fox Mulder dan Dana Scully kembali beraksi dalam The X File: I Want to Believe. Kali ini sang creator sendiri, yakni Chris Carter yang mengarahkan filmnya. Film seri televisinya sendiri yang sangat populer juga sudah berakhir beberapa tahun silam. Mulder dan Scully masih dibintangi oleh David Duchovny dan Gillian Anderson. Film juga dibintangi oleh bintang-bintang muda seperti, Amanda Peet, Xzibit, serta Billy Connoly.
Label:
Editor's Older Review
Kehadiran “Montase” ditimbang perlu di tengah pergulatan sinema Indonesia menemukan jati dirinya. Wacana seputar sinema kemudian menjadi sebentuk perhatian bagi “Montase” untuk menawarkan cara pandang alternatif atas sinema. Kajian komprehensif semacam ini diharapkan mampu membangun hubungan berkesinambungan antara sineas sebagai pelaku aktif dan penonton maupun pemerhati sinema sebagai pelaku pasif yang akhirnya bermuara pada perkembangan penting jagad sinema di tanah air.
Sasaran “Montase” adalah pelajar, mahasiswa, maupun umum. Segmentasi pasar tersebut kemudian terbagi lagi menjadi dua kategori, yaitu para pecinta maupun pemerhati sinema.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment