Home

Kemenangan Lewis dan Elswit dalam There Will Be Blood

08 June 2008 1:49 AM

There Will Be Blood merupakan film drama western arahan Paul Thomas Anderson, sineas yang sebelumnya sukses dengan film-film berkualitas seperti Boogie Nigths, Magnolia, serta Punch Punch Drunk Love. Film ini sukses dalam ajang Academy Awards dengan raihan dua Oscar untuk aktor pria utama terbaik (Daniel Day-Lewis), sinematografi terbaik (Robert Elswit), serta enam nominasi lainnya. Naskah filmnya diadaptasi lepas dari novel berjudul Oil! (1927) karya Upton Sinclair. Filmnya berkisah tentang perjalanan hidup seorang pengusaha minyak, yakni Daniel Plainview (Lewis) yang membangun “kerajaan minyaknya” dengan segala cara.

Tidaklah sulit untuk menilai kekuatan utama film ini disamping naskahnya yang sempurna yakni, performa prima dari Daniel Day-Lewis serta pencapaian sinematografi yang begitu memukau. Plot film hanya berpusat pada aktifitas pengeboran minyak di satu lokasi saja, yakni Little Boston, namun begitu efektif menggambarkan secara utuh bagaimana Daniel dengan tangan besi mengelola bisnisnya. Plotnya dengan rinci menjelaskan bagaimana Plainview menguasai kota kecil tersebut tahap demi tahap hingga ia akhirnya mampu menguras seluruh cadangan minyak di sana untuk masuk ke kantong pribadinya. Namun kesuksesan tersebut harus dibayar mahal dengan “darah” (pengorbanan) para pekerja, pemilik lahan, serta putra angkatnya yang semuanya sama sekali tidak ia pedulikan.

There Will Be Blood bisa dibilang adalah one man show, yaitu Daniel Day-Lewis seorang, yang bermain begitu kuat sebagai sosok Daniel Plainview. Lewis, sepertinya lebih pantas bermain sebagai karakter jahat ketimbang karakter baik-baik, seperti akting primanya dalam The Gangs of New York. Kali ini dalam Blood, Lewis juga tampil begitu ekspresif memerankan sosok pengusaha minyak yang ambisius. Sorot mata yang tajam, aksen serta gaya bicara yang lugas dan tegas dengan suara serak yang khas, begitu sempurna menggambarkan sosok Daniel Plainview yang keras. Nyaris sepanjang filmnya penampilan Lewis yang begitu ekspresif selalu membuat kita gemas dan kesal pada karakter Daniel yang berkepala batu. Namun pula pada momen tertentu, Lewis juga mampu membuat kita turut bersimpati dengan karakter ini, seperti ketika sang putra mengalami kecelakaan yang berakibat fatal pada indera pendengarannya, kehampaan jiwanya ketika ia mengingat impian masa mudanya bersama saudara palsunya, lalu saat Eli “membersihkan dosa” Daniel di gereja, lalu juga pada sekuen akhir saat ia mengingat kenangan indah bersama putranya di masa silam.

Sementara pencapaian sinematografi oleh sang sinematografer, Robert Elswit, tidak kalah mengesankan pula. Dalam beberapa tahun terakhir, tercatat amat jarang film yang memiliki pencapaian sinematografi sebaik ini. Film ini sedikit banyak mengingatkan pada film western The Unforgiven (1992, Clint Easwood) yang sama-sama memiliki kualitas sinematografi prima. Gelagat mulai tampak pada sekuen pembuka film yang berdurasi sekitar 15 menit tanpa satu dialog pun. Komposisi gambar tersaji begitu kuat dan indah, dan Elswit tampak menyukai berlama-lama dengan shot-nya (long take). Bahkan hingga panorama padang rumput yang tandus pun bisa tampak begitu indah. Tata sinematografi Elswit secara menyeluruh mampu bersinergi sempurna dengan tempo plotnya yang lambat.

Satu perpaduan teknik long take + tracking shot + panning yang sangat menawan tampak pada adegan ketika Daniel bertemu putranya kembali setelah belum lama berselang sang putra ia kirim paksa ke sekolah tuna rungu. Shot dibuka dengan satu tracking shot manis memperlihatkan para pekerja yang tengah memasang pipa, kamera lalu berhenti ketika Daniel memeluk putranya dalam jarak cukup jauh (extreme long shot). Kamera lalu panning ke arah kanan mengikuti Daniel dan putranya, dan ketika sang putra memukuli sang ayah, jarak kamera pun relatif masih jauh (long shot). Dalam satu shot yang begitu dramatik seperti ini kamera tidak sekalipun memperlihatkan ekspresi wajah (close up) baik Daniel maupun putranya. Satu shot yang bermakna dalam karena seperti kita ketahui hingga akhir kisahnya hubungan antara Daniel dan putranya tidak pernah dekat.

Beberapa keistimewaan lain film ini adalah permainan akting yang kuat dari aktor muda berbakat Paul Dano yang bermain begitu “menyebalkan” sebagai sang Nabi palsu. Demikian pula ilustrasi musik aneh yang “mencekam” dari Jonny Greenwood yang mampu dengan jitu mendukung nuansa “gelap” filmnya. Film juga ditutup dengan indah sesaat ketika Daniel selesai menghabisi nyawa Eli di ruang boling, “I’m Finished” ucap Daniel ketika ia menjawab sahutan pelayannya. Bagi Anda penikmat film sejati tentunya tidak mungkin melewatkan film drama berkualitas tinggi ini. (A-)

No comments:

Post a Comment