The Diving Bell and The Butterfly (Scaphandre et le papillon, Le, 2007) merupakan film berbahasa Perancis produksi patungan Perancis-Amerika. Film ini diadaptasi dari buku otobiografi berjudul sama karya Jean-Dominic Bauby (Jean-Do) yang diinspirasi dari kisah nyata sang penulis sendiri. Film unik arahan Julian Schnabel ini banyak mendapat pujian pengamat film di mana-mana dan sukses pula meraih puluhan penghargaan di berbagai festival film bergengsi di dunia, seperti Cannes dan Golden Globe. Walau gagal di ajang Academy Awards namun film ini sukses meraih empat nominasi Oscar.
Alkisah Jean-Do (Mathieu Almaric) adalah seorang editor sukses sebuah majalah fashion terkemuka di Paris. Suatu ketika Jean-Do mendadak terserang stroke langka sehingga seluruh tubuhnya lumpuh kecuali mata kirinya, itu pun ia hanya mampu mengedipkan mata. Jean-Do yang amat frustasi lambat laun mulai menerima keadaannya dan mencoba belajar berkomunikasi dengan orang lain menggunakan kedipan matanya. Kondisi yang tak kunjung membaik akhirnya menginspirasinya untuk menulis sebuah buku otobiografi tentang dirinya.
Alkisah Jean-Do (Mathieu Almaric) adalah seorang editor sukses sebuah majalah fashion terkemuka di Paris. Suatu ketika Jean-Do mendadak terserang stroke langka sehingga seluruh tubuhnya lumpuh kecuali mata kirinya, itu pun ia hanya mampu mengedipkan mata. Jean-Do yang amat frustasi lambat laun mulai menerima keadaannya dan mencoba belajar berkomunikasi dengan orang lain menggunakan kedipan matanya. Kondisi yang tak kunjung membaik akhirnya menginspirasinya untuk menulis sebuah buku otobiografi tentang dirinya.
Plot film ini begitu sederhana namun uniknya adalah nyaris seluruhnya dikemas melalui sudut pandang tokoh utama. Ide dasarnya adalah sang sineas ingin penonton benar-benar merasakan bagaimana tersiksa dan frustasinya Jean-Do dalam ketidakberdayaannya. Kita pasti merasa lelah dan frustasi melihat Jean-Do berlatih “berbicara” huruf demi huruf. “E, S, A, R, I, N, T, … dst”. Entah berapa puluh kali sepanjang film kita mendengar alfabet tersebut dilafalkan dengan begitu sabar oleh para perawat, asisten, serta istrinya, menggambarkan betapa sulit Jean-Do berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Tak hanya secara visual dan audio (mata dan telinga) atau fisik semata namun perasaan batin, trauma, memori, rasa bersalah, imajinasi, harapan Jean-Do semuanya membaur saling berganti membuat kita jauh dari perasaan tenang dan nyaman sepanjang filmnya.
Satu hal yang menjadi keunikan film ini dalam pendekatan visualnya adalah penggunaan subyektif kamera (point of view shot) dari sudut padang tokoh utama lebih dari separuh filmnya. Semua ini buah sentuhan jenius dari sinematogafer kawakan, Janusz Kaminski, yang sebelumnya sering berkolaborasi dengan Steven Spielberg. Semua yang kita lihat di layar adalah apa yang juga dilihat (atau dipikirkan) Jean Do. Seperti dalam adegan pembuka ketika pertama kali Jean-Do siuman, layar tampak kabur (out of focus) membuat kita merasa tidak nyaman (pusing) seperti apa yang sang tokoh rasakan. Dalam satu adegan “mengerikan” ketika mata kanan Jean-Do harus dijahit, kita benar-benar melihat jarum dan benang melintas di depan kita seperti seolah mata kita yang tengah dijahit. Tidak hanya menggunakan POV shot namun kita juga mampu melihat memori serta kilasan gambar yang diimajinasikan atau terlintas di pikiran Jean-Do, seperti kupu-kupu yang terbang, bukit yang runtuh, istri dan putra-putrinya, hingga kekasih gelapnya.
Secara audio nyaris sepanjang film kita juga hanya bisa mendengar apa yang didengar Jean-Do serta suara batinnya (voice over). Ketika seseorang berbicara, Jean-Do hanya mampu mendengar dan seringkali ia menjawab dengan suara batinnya. Sekalipun secara fisik ia pasif namun perasaan batinnya masih aktif (normal). Suasana hati Jean-Do banyak terungkap melalui suara batinnya. “This is not gonna work…” keluhnya (batin) frustasi ketika ia mulai belajar menggunakan alfabet. Sineas kadang juga menggunakan elemen suara untuk menggambarkan “intimidasi” atau siksaan batin yang dialami Jean-Do. Dalam satu ilusinya Jean-Do “terperangkap” di bawah laut dengan kostum selamnya; dan di saat bersamaan, suara yang terdengar (oleh penonton) adalah suara dengung berfrekuensi sangat rendah yang membuat tidak nyaman pendengaran kita.
The Diving Bell and The Butterfly sekalipun memiliki materi cerita yang begitu terbatas namun mampu dikemas sangat efektif menggunakan bahasa sinematik (audio & visual) sederhana, dan hasilnya adalah sebuah karya unik, istimewa, serta personal. Mengapa Jean-Do harus menderita? Apakah faktor genetik? Ataukah buah perbuatannya mengkhianati istri dan anak-anaknya? Ataukah mungkin azab Tuhan atau takdir? Tak ada yang tahu kecuali mungkin Jean-Do sendiri. Siapa pun yang bersimpati dengan Antoine dalam 400th Blow pasti menangis ketika ia dibawa pergi dan hanya bisa melihat gemerlap kota Paris dari balik jeruji mobil tahanan. Dalam momen dan iringan ilustrasi musik yang sama; siapapun yang bersimpati dengan Jean-Do pasti menangis ketika ia dibawa pergi dan melihat kelebat masa lalunya dari balik kaca mobil ambulans. Jean-Do begitu bahagia ketika ia menjajal sedan barunya dan memamerkan ke istri dan anak-anaknya. Namun pada saat bersamaan kebahagiaannya direnggut tanpa ampun hanya dalam satu momen. Sadarkah Anda waktu menonton jika semua pencapaian ini adalah buah dari kedipan mata? (A)
Satu hal yang menjadi keunikan film ini dalam pendekatan visualnya adalah penggunaan subyektif kamera (point of view shot) dari sudut padang tokoh utama lebih dari separuh filmnya. Semua ini buah sentuhan jenius dari sinematogafer kawakan, Janusz Kaminski, yang sebelumnya sering berkolaborasi dengan Steven Spielberg. Semua yang kita lihat di layar adalah apa yang juga dilihat (atau dipikirkan) Jean Do. Seperti dalam adegan pembuka ketika pertama kali Jean-Do siuman, layar tampak kabur (out of focus) membuat kita merasa tidak nyaman (pusing) seperti apa yang sang tokoh rasakan. Dalam satu adegan “mengerikan” ketika mata kanan Jean-Do harus dijahit, kita benar-benar melihat jarum dan benang melintas di depan kita seperti seolah mata kita yang tengah dijahit. Tidak hanya menggunakan POV shot namun kita juga mampu melihat memori serta kilasan gambar yang diimajinasikan atau terlintas di pikiran Jean-Do, seperti kupu-kupu yang terbang, bukit yang runtuh, istri dan putra-putrinya, hingga kekasih gelapnya.
Secara audio nyaris sepanjang film kita juga hanya bisa mendengar apa yang didengar Jean-Do serta suara batinnya (voice over). Ketika seseorang berbicara, Jean-Do hanya mampu mendengar dan seringkali ia menjawab dengan suara batinnya. Sekalipun secara fisik ia pasif namun perasaan batinnya masih aktif (normal). Suasana hati Jean-Do banyak terungkap melalui suara batinnya. “This is not gonna work…” keluhnya (batin) frustasi ketika ia mulai belajar menggunakan alfabet. Sineas kadang juga menggunakan elemen suara untuk menggambarkan “intimidasi” atau siksaan batin yang dialami Jean-Do. Dalam satu ilusinya Jean-Do “terperangkap” di bawah laut dengan kostum selamnya; dan di saat bersamaan, suara yang terdengar (oleh penonton) adalah suara dengung berfrekuensi sangat rendah yang membuat tidak nyaman pendengaran kita.
The Diving Bell and The Butterfly sekalipun memiliki materi cerita yang begitu terbatas namun mampu dikemas sangat efektif menggunakan bahasa sinematik (audio & visual) sederhana, dan hasilnya adalah sebuah karya unik, istimewa, serta personal. Mengapa Jean-Do harus menderita? Apakah faktor genetik? Ataukah buah perbuatannya mengkhianati istri dan anak-anaknya? Ataukah mungkin azab Tuhan atau takdir? Tak ada yang tahu kecuali mungkin Jean-Do sendiri. Siapa pun yang bersimpati dengan Antoine dalam 400th Blow pasti menangis ketika ia dibawa pergi dan hanya bisa melihat gemerlap kota Paris dari balik jeruji mobil tahanan. Dalam momen dan iringan ilustrasi musik yang sama; siapapun yang bersimpati dengan Jean-Do pasti menangis ketika ia dibawa pergi dan melihat kelebat masa lalunya dari balik kaca mobil ambulans. Jean-Do begitu bahagia ketika ia menjajal sedan barunya dan memamerkan ke istri dan anak-anaknya. Namun pada saat bersamaan kebahagiaannya direnggut tanpa ampun hanya dalam satu momen. Sadarkah Anda waktu menonton jika semua pencapaian ini adalah buah dari kedipan mata? (A)
Tulisan anda membuat film ini terdengar sangat sempurna. Dan memang itulah kenyataannya. Semua sudah tercermin dengan jelas. Kedua sisi "fisik" dan "non-fisik" diulas. Satu hal yang pasti, film ini membuat hidup menjadi sangat berharga. Appreciate your life! Do more, appreciate more, and finally LOVE more!! Cheers
ReplyDeletesaya baru saja membaca review anda... ( the diving bell and the butterfly )
ReplyDelete1/3 awal tulisan anda membuat saya ingin tahu seperti apa cerita filnya...
1/3 selanjutnya membuat saya seperti menonton filmnya...
dan 1/3 yang terakhir,,, anda berhasil menyakinkan saya untuk benar-benar menonton filmnya....