Hachiko,

Versi Amerika vs Versi Jepang

Kisahnya berawal dari seorang profesor yang memiliki seekor anak anjing lucu berjenis Akita yang bernama Hachi. Sang profesor dengan penuh kasih sayang merawat Hachi hingga sang anjing beranjak besar. Setiap hari Hachi mengantar tuannya bekerja, menemaninya berjalan ke stasiun kereta dan datang menjemput pada petang harinya. Suatu ketika sang profesor meninggal karena serangan jantung di tempat kerjanya. Hachi yang belum bisa menerima tuannya telah tiada tetap setia menunggu sang profesor di stasiun pada petang setiap hari selama sembilan tahun lamanya.

Cerita film ini didasarkan atas kisah nyata yang sungguh-sungguh terjadi pada era 1920-an di Jepang. Hachi dengan setia menunggu sang profesor pada sore hari di depan stasiun Shibuya, Tokyo, setiap harinya hingga ia menemui ajalnya pada tahun 1935. Pada masanya Hachi menjadi sensasi nasional dan menjadi contoh para guru dan orang tua untuk mendidik anak-anak mereka. Kini di depan stasiun Shibuya berdiri patung perunggu Hachi untuk mengenang spirit loyalitas yang telah ia tunjukkan.

Kisah Hachi pertama kali diadaptasi ke layar lebar melalui film produksi Jepang, Hachiko Monogatari (1987) arahan Seijirô Kôyama. Sekitar dua dekade kemudian diadaptasi pula versi Amerikanya, Hachiko: A Dog’s Story (2009) yang digarap sineas kawakan Lasse Halström dengan menggunakan aktor-aktris ternama, Richard Gere dan Joan Ellen.

Film versi jepangnya bisa dibilang loyal terhadap kisah aslinya. Cerita bertutur dengan lambat dan cukup rinci menggambarkan latar belakang Hachi serta keseharian sang profesor bersama keluarganya. Cerita cenderung berjalan lambat dan datar hingga akhirnya kisah film seolah baru bermula tatkala sang profesor meninggal. Adegan sangat menyentuh tampak ketika Hachi mengonggong di depan altar tuannya hingga ia berlari mengikuti iring-iringan mobil jenasah. Kekuatan cerita lambat laun mulai tampak ketika Hachi dengan setia menunggu tuannya di depan stasiun petang setiap harinya pada jam yang sama. Satu shot menyentuh mengakhiri filmnya memperlihatkan Hachi yang telah mati tergeletak di tengah hujan salju di depan stasiun kereta.

Film versi Amerika Hachiko merupakan adaptasi lepas yang mengambil latar cerita di sebuah kota kecil di Amerika. Berbeda dengan versi Jepangnya, film ini berjalan dengan tempo yang cepat dan sineas sepertinya juga tidak mau membuang-buang waktu dengan detil cerita lainnya. Plot semata-mata terfokus pada hubungan Hachi dengan sang profesor. Hasilnya, filmnya ini jauh lebih enak untuk dinikmati. Bahasa visual yang lebih dominan ketimbang dialog, lalu “akting” sang anjing yang meyakinkan, plus ilustrasi musik ringan instrumen piano yang begitu manis, seluruhnya memberikan sebuah sajian yang menghibur, dramatik, dan menyentuh. Tak heran jika film ini mudah sekali menguras air mata bagi siapa pun yang menontonnya.

Secara umum versi Jepangnya lebih realistik dalam menangkap kisah aslinya karena latar cerita mengambil tempat dan waktu yang sama. Untuk penonton masa kini film ini pasti terasa lebih membosankan. Sementara versi Amerikanya terutama dari sisi pencapaian teknis jelas jauh lebih superior. Terlepas itu semua, satu hal yang kita ambil dan patut kita contoh dalam dua film ini adalah kesetiaan serta cinta yang ditunjukkan Hachi pada tuannya. Cinta yang tulus tak akan pernah pupus oleh waktu.

Debby Dwi Elsha & Himawan Pratista

No comments: