Home

Sekilas Sinema Thailand



Awal Perkembangan Sinema  dan Kendali Monarki

Awal perkembangan sinema di Thailand sama seperti kebanyakan di Asia diawali dengan screening film-film karya Lumiere Bersaudara, yakni bulan Juni tahun 1897. Era Raja Chulalongkorn pada masa ini adalah mengusung modernisasi Thailand yang terbuka dengan inovasi dari barat, salah satunya adalah sinema.  Kunjungan raja ke ke Eropa membawa pulang seperangkat peralatan kamera yang dibeli oleh adik termuda sang raja. Tahun 1900, sang pangeran mulai mendokumentasikan serangkaian aktifitas publik raja dan upacara ritual kerajaan. Film-film ini lalu diputar untuk publik dan masyarakat biasa harus membeli tiket. Film tak hanya menjadi hobi para bangsawan namun sekaligus menjadi alat propaganda monarki.

Film menjadi bisnis yang semakin berkembang setelah ketika perusahaan film dari Jepang membangun bioskop yang diberi nama Royal Japanesse Cinematograph di Bangkok pada tahun 1905. Kemudian diikuti pengusaha Cina beberapa tahun kemudian. Film-film yang diputar kebanyakan masih diimpor dari Eropa dan Amerika. Tak lama setelahnya teater dan perusahaan distribusi bermunculan. Film menjadi hiburan baru buat rakyat Thailand dan menjadi prospek bisnis yang menguntungkan bagi para pengusaha. Persaingan antara pihak kerajaan dengan pengusaha lokal keturunan Cina khususnya tidak terhindarkan.

Pada tahun 1923, rakyat Thailand akhirnya melihat film fiksi panjang mereka sendiri, Nang Sao Suwan sekalipun masih diproduksi dan disutradarai produser Amerika, Henry McRay. Pemain dan kru sebagian besar menggunakan orang lokal dan dari sinilah mereka belajar memproduksi film panjang. Film pertama yang diproduksi dengan pemain dan kru lokal seutuhnya adalah Chok Sorng Chan (1927) yang diarahkan Manit Wasuwat dan diikuti May Kid Leuy (1927) yang digarap oleh Khun Patikat Pimlikit. Sampai tahun 1932 tercatat terdapat 17 film lokal yang diproduksi. Lembaga sensor film pada masa ini juga mulai dibentuk dalam kendali penuh monarki. 

Era Film Bicara dan Runtuhnya Monarki

Memasuki dekade 30-an industri film di Thailand menjadi semakin besar. Banyak studio film dibentuk dari kelompok keluarga kerajaan serta pengusaha menengah. Masuknya teknologi suara juga memaksa para studio memiliki peralatan audio dan studio suara yang mengadopsi studio Hollywood. Tercatat film lokal bicara pertama adalah Long Tang (1932) yang diproduksi oleh Sri Kung Sound Film Company. Lagu dan musik yang mampu mengoptimalkan teknolgi suara membuat genre musikal menjadi populer, tercatat seperti Klua Mia (1938) yang juga diproduksi studio Sri Kung. Seperti halnya di Hollywood, Studio-studio juga menerapkan “star system” hingga muncul bintang-bintang macam Manne Sumonnat dan Jamrat Suwakon. Perkembangam yang pesat membuat pengamat berpendapat era ini adalah era emas pertama industri film di Thailand. Namun tetap saja film-film dari Amerika masih mendominasi pasar lokal.

Ketika Monarki runtuh oleh partai rakyat pada tahun 1932, perubahan besar terjadi di industri film. Campur tangan pihak kerajaan di industri film mulai mengendur. Studio-studio film yang berhubungan kerajaan dibubarkan dan diambil-alih oleh negara. Lembaga sensor juga direvisi oleh pemerintahan baru dengan mengubah beberapa kriteria yang diantaranya berupa tindakan preventif terhadap tindakan amoral dan asusila, kriminal, serta politik kiri. Pemerintah juga mendukung produksi film-film propaganda untuk menggambarkan arah politik mereka. Runtuhnya monarki juga berdampak makin banyaknya bermunculan studio film dan bioskop dari pengusaha menengah, pengusaha Cina serta asing. Jumlah bioskop dari tahun ke tahun juga semakin meningkat. Terbukti pada awal dekade 30-an tercatat hanya ada 68 bioskop di seluruh negeri dan pada akhir dekade ini tercatat ada 120 bioskop.

Era Pasca Perang Dunia II atau Era Film “16 mmm”

                Memasuki perang dunia II industri film Thailand praktis berhenti selama beberapa waktu. Pemerintah memaksa banyak studio-studio film untuk memproduksi film propaganda. Dalam perang Thailand bersekutu dengan Jepang sehingga berbuntut tidak masuknya film-film dari Eropa dan Amerika. Hal ini juga kelak berakibat kurangnya stok film 35 mm sejak untuk produksi film sehingga produksi menggunakan film 16 mm yang relatif lebih murah menjadi pilihan. Fase film “16 mm” ini cukup lama berlangsung dari pertengahan dekade 50-an hingga awal dekade 70-an.

Industri film masih mati suri sesaat setelah perang dunia kedua walaupun ada produksi masih sangat minim. Tercatat hanya dua film diproduksi pada tahun 1946, yakni Chai Chatree dan Chon Kawao. Barulah pada tahun 1949 melalui sukses besar, Supab Buruth Sua Tai  yang diproduksi menggunakan 16 mm, mengembalikan industri film Thailand dari masa suram. Format 16 mm menjadi populer karena produksinya lebih murah dan prosesnya tidak serumit film 35 mm.

Dalam waktu singkat produksi film meningkat drastis dari 10 film menjadi 50 film setahun hingga periode ini sering disebut era emas kedua. Lebih dari 500 film lokal diproduksi dalam periode ini dan di wilayah Bangkok saja terdapat 150 bioskop dan 700 bioskop di seluruh wilayah negeri, namun film Amerika dan Eropa masih mendominasi bioskop. Periode ini juga memunculkan dua superstar lokal, yakni pasangan aktor-aktris, Mitre Chaibancha dan Pecthchara Chawarat yang mendominasi hampir seluruh film produksi 16 mm. Hanya Mitre seorang pada dua dekade ini memproduksi 265 film!

Produksi film era 16 mm ini memunculkan film dengan gaya konvensional yang lebih membumi, mengadopsi berbagai seni dari literatur, pakaian, hingga seni pertunjukan. Cerita juga menggabungkan beberapa genre sekaligus melodrama, aksi, dan komedi. Setting cerita juga tidak hanya di kota namun di daerah pinggiran dan wilayah terpencil. Hal-hal ini yang menyebabkan film lebih akrab dengan penonton segala kalangan. Hal yang menarik pada era ini juga munculnya ratusan bioskop keliling (outdoor theatre) yang menjangkau daerah-daerah pelosok. Produksi 16 mm juga menarik sineas-sineas muda untuk produksi film berbujet murah. Beberapa diantara mereka kelak menjadi sineas besar pada era mendatang. Era film “16 mm” ini merupakan era bukan hanya milik penonton namun juga para pembuat film.

Era 70-an hingga 80-an

Ada tiga faktor yang menyebabkan berakhirnya era film 16 mm dan beralih ke film 35 mm sejak awal 70-an. Pertama adalah sukses luar biasa dua film yang menggunakan film 35 mm yakni, Mon Rak Luk Tung (1970) garapan Rungsri Thasanapayak dan Thon (1970) garapan Somboonsok Niyomsiri. Mon Rak Luk Tung diputar di bioskop selama 6 bulan dan sukses menghasilkan 16 juta Bath. Sementara Thon sekalipun hanya sukses meraih 3 juta Bath namun mendapat banyak pujian dari pengamat. Sukses dua film ini banyak menginspirasi studio film lokal kemudian beralih ke 35 mm. Faktor kedua adalah film 35 mm dan proses laboratorium di Hongkong jauh lebih murah ketimbang proses laboratorium yang sering mereka pakai yakni di Inggris. Faktor ketiga adalah kebijakan pemerintah di awal era 70-an yang mendukung penggunaan produksi film 35 mm.

Krisis energi di pertengahan era 70-an sempat menurunkan industri film di Thailand akibat pembatasan jam pemutaran bioskop namun kebijakan tersebut segera direvisi pemerintah. Bioskop masih didominasi film-film Amerika dan Eropa. Para pengusaha bioskop lebih menguntungkan memutar film-film barat ketimbang film-film lokal yang rata-rata berdurasi lebih panjang. Untuk memicu produksi film lokal, pada tahun 1977, pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan pajak film asing yang berujung pada boikot film-film Amerika oleh MPEAA (Motion Pictures Export Association of America) hingga tahun 1981. Produksi film lokal meningkat pesat dan 161 film diproduksi hanya pada tahun 1978 saja. Namun sebagian besar film yang diproduksi adalah film aksi berkualitas rendah hingga para pengamat mengistilahkan sebagai film “nam nao” (air yang terkena polusi /bau).  

Era 80-an, industri film mendapat persaingan berat dari televisi dan pemutar video. Sebagian besar orang sudah merasa cukup mendapat hiburan murah dari layar kaca televisi dan video. Pengusaha bioskop besar banyak gulung tikar dan muncul bioskop-bioskop mini (cineplex) di mall dan pusat-pusat perbelanjaan yang banyak dikunjungi remaja. Merespon hal ini industri film mulai mengubah strategi pasar dengan memproduksi film sasaran penonton remaja dan genre ini mendominasi pasar hingga awal dekade 90-an.

Era 90-an, Masa Suram dan Kelahiran Kembali

Pada era 90-an kembali industri film menemui pesaing-pesaing berat, yakni tv kabel, video dan vcd, serta internet. Pemerintah masa ini yang menurunkan pajak film asing membuat film-film barat, terutama Hollywood masuk ke bioskop-bioskop lebih banyak dari sebelumnya. Krisis ekonomi yang melanda Asia di tahun 1997 semakin memperburuk industri film dan bahkan dianggap pengamat tengah sekarat. Tercatat jumlah produksi film tahun 1997 hingga 2001 tidak lebih dari seratus film, bahkan tahun 1999 dan 2000 tercatat hanya sembilan film per tahunnya. Industri film di Thailand belum pernah mengalami masa sesuram ini sebelumnya.

Namun justru amat mengejutkan di masa suram ini justru industri film Thailand terlahir kembali. Pada tahun 1997 muncul beberapa sineas berbakat yang berasal dari industri televisi, yakni Nonzee Nimibutr, Pen-Ek Ratanaruang, dan Wisit Sasanatieng yang kelak mengubah wajah industri film Thailand pada dekade mendatang. Mereka berpendapat bahwa film haruslah lebih artistik untuk menarik penonton dan juga investor. Diawali dengan film garapan Nonzee berjudul 2499 Antapan Klong Meoung (Daeng Baeley and Gangster, 1997) yang sangat mengejutkan meraih penghasilan 75 juta bath dan memecahkan rekor sebagai film terlaris Thailand pada masa itu. Film ini juga sukses meraih penghargaan di Festival Film Independen Internasional di Belgia. Lalu Fun Bar Karaoke (1997) garapan Pen-Ek yang juga sukses komersil dan diputar di Berlin Film Festival.

Sukses 2499 ternyata memotivasi para produser dan pembuat film lainnya untuk berani kembali memproduksi film. Diantaranya yang sukses luar biasa adalah Nang Nak (1999) arahan Nonzee yang meraih 150 juta Bath, Satree Lek (2000) garapan Yongyuth Thongkhongtun yang meraih 99 juta Bath, Bangrajan (2000) garapan tanit Jitnukum yang meraih 134 juta Bath, serta film western unik, Tears of the Black Tiger (2000) garapan Wisit Sasanatieng yang sukses dan dipuji pengamat internasional. Sukses ini juga memicu dibangunnya bioskop multiplex dengan kapasitas besar di Kota Bangkok dan beberapa kota besar lainnya. Pihak kerajaan yang juga mulai ikut mengambil peran besar di industri film turut memproduksi, Suriyothai (2000) yang digarap sendiri oleh pangeran Chatree Chalern Yukon. Film ini tidak hanya film termahal Thailand yang pernah diproduksi namun juga film tersukses dengan meraih 700 juta Bath.

Era Milenium Baru hingga Kini

Sukses film-film di akhir milenium lalu ternyata berdampak banyak bagi perkembangan film di Thailand setelahnya. Film-film bergenre aksi, komedi, horor, epik sejarah, dan drama adalah genre yang terhitung sering diproduksi. Kadang bahkan beberapa diantaranya sukses di luar Thailand. Film independen sineas-sineas lokal juga unjuk gigi dengan film-filmnya yang mampu meraih penghargaan internasional bergengsi. Perfilman Thailand juga memiliki Bangkok International Film Festival yang digelar sejak tahun 2003, mengkompetisikan film-film terbaik pilihan dari seluruh dunia serta film-film dari wilayah Asia Tenggara.

Genre aksi di Thailand merupakan salah satu genre populer yang tidak hanya sukses domestik namun juga internasional. Bahkan tidak jarang meraih penghargaan internasional dan mendapat pujian kritikus luar. Aktor laga, Tony Jaa menjadi maskot film aksi bela diri berkat film-filmnya yang sukses bahkan dirilis dan dipuji banyak pengamat di Amerika. Ong-Bak (2003) menjadi film awal sukses Jaa disertai dua prekuelnya, Ong Bak 2 (2008) dan Ong Bak 3 (2010) walau tidak sesukses sebelumnya. Jaa juga bermain dalam film aksi bela diri, Tom-Yum-Goong (2005) yang sukses domestik bahkan menjadi film Thailand yang paling sukses di Amerika. Beberapa film aksi sejenis yang sukses antara lain, Kerd Ma Lui (2004) serta The Tiger Blade (2005). Lalu sukses diikuti pula film komedi aksi, The Bodyguard (2004) dan sekuelnya, The Bodyguard 2 (2007).

Beberapa film horor populer diproduksi di negeri Siam ini. Bangkok Haunted (2001) mengekor sukses, menjadi film horor terlaris kedua setelah Nang Nak. Film kompilasi ini digarap oleh sineas Hong Kong, Oxide Pang dan Pisut Praesangeam. Oxide bersama saudara kembarnya Danny Pang, menggarap film horor sukses lainnya, The Eye (2002). Shutter (2004) garapan Banjong Pisanthanakun dan Parkpoom Wongpoom sukses tak hanya domestik namun juga internasional. Dua film ini juga di-remake oleh Hollywood beberapa tahun kemudian walau tak sebaik film aslinya. Beberapa film horor sukses lainnya antara lain, Dek Hor (2004), Art of the Devil (2004) garapan Tanit Jitnukul dan dua sekuelnya, Alone (2009) garapan Banjong dan Parkpoom yang meraih penghargaan internasional, lalu 4bia (2008) dan sekuelnya, Phobia 2 (2009)merupakan omnibus dari karya empat sineas.

Unsur komedi nyaris tidak lepas dari film-film Thailand apapun genrenya. Film komedi murni sendiri juga sukses, seperti The Holy Man (2005) dibintangi komedian Pongsak Pongsuwan yang sukses meraih 141 juta Bath. Pongsak juga bermain dalam film komedi sukses lainnya, antara lain Nong Teng Nakleng-pukaotong (2006) yang setting ceritanya mengambil era produksi film pertama Thailand, Nang Sao Suwan, lalu Teng and Nong: The Movie (2007) merajai box-ffice lokal sekalipun dinilai buruk di mata pengamat. Komedi unik bertema karma, Ahimsa: Stop to Run (2005) merupakan wakil Thailand di untuk film berbahasa asing di ajang Academy Awards. Beberapa film komedi remaja juga sukses besar, diantaranya First Love (2010) yang juga diputar di Shanghai International Film Festival, serta Suck Seed (2011), komedi musikal unik yang meraih 38,1 juta Bath hanya dalam seminggu rilisnya.

Setelah sukses Suriyothai dan Bangrajan, film bertema sejarah dengan bujet besar juga menjadi tren dan sukses. The King Maker (2005) diproduksi dengan bujet 250 juta Bath bekerja sama dengan studio luar dengan menggunakan dialog Inggris. Lalu proyek ambisius, seri King Naresuan merupakan seri lima film yang diarahkan oleh Pangeran Chatree Chalern Yukon yang konon total mencapai biaya 750 juta Bath, menjadikan film termahal Thailand yang pernah diproduksi. Seri pertama dan kedua dirilis tahun 2007 lalu dan mendapat respon sangat baik. Film bertema sejarah lainnya adalah The Tin Mine (2005) yang berkisah tentang penambangan di era pasca perang dunia kedua. King Naresuan part II dan The Tin Mine menjadi wakil Thailand dalam ajang Academy Awards.

Genre drama juga menjadi favorit penonton dan beberapa diantaranya bahkan sukses di berbagai ajang festival luar. Fan Chan (2003) merupakan film drama roman yang disutradarai dan ditulis enam sineas sekaligus, dengan menggunakan iringan lagu-lagu pop masa itu film ini meraih 140 juta Bath yang merupakan film terlaris tahun tersebut. Lalu film drama musikal, Overture (2004) yang sukses meraih puluhan penghargaan lokal dan diputar di berbagai festival internasional. Lalu The Love of Siam (2005) yang menuai banyak pujian sekaligus kontroversi karena penggunaan tema sesama jenis. Tidak hanya sukses komersil namun film ini juga meraih puluhan penghargaan di ajang kompetisi lokal dan menjadi wakil Thailand di ajang Academy Awards. 

Film-film non mainstream produksi sineas lokal juga berjaya di banyak festival film di luar negeri. Dimotori Apichatpong Weerasethakul mengawali sukses internasional melalui Blissfully Yours (2002) yang sukses meraih penghargaan di Cannes Film Festival. Apichatpong kembali sukses di ajang yang sama melalui Tropical Malady (2003) dan Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives (2010). Pen-Ek Ratanaruang sejak Fun Bar Karaoke, film-filmnya mendapat perhatian pengamat luar, seperti Last Life in the Universe (2005), Ploy (2007), serta Nymph (2009).  Beberapa film juga diputar di berbagai festival film internasional, seperti I-san Special (2002) garapan Mingmongkol Sonakul dan Pleasure Factory (2007) garapan Ekacahi Uekrongtham.

Perkembangan sinema di Thailand sejak era silam tak bisa lepas dari unsur monarki, budhisme, dan nasionalisme. Tiga aspek ini yang membuat Sinema Thailand memiliki gaya dan keunikan sendiri. Sinema Thailand jelas tak bisa diremehkan dan ke depan rasanya mampu menjadi kekuatan besar di Asia sejajar dengan Jepang, Korea, India, dan Hong Kong.  


Himawan Pratista

No comments:

Post a Comment