Antara Trauma, Pengorbanan, dan Cinta
Produksi: Salto Film
Sutradara : Ifa Isfansyah
Produser : Shanty Harmayn
Penulis Naskah : Salman Aristo /
Ifa Isfansyah / Shanty Harmayn
Pemain : Prisia Nasution / Oka Antara / Slamet Raharjo
Ilustrasi Musik : Titi Sjuman /
Aksan
Sinematografi : Yadi Sugandi
Durasi : 111 menit
Film ini
bercerita tentang sebuah desa yang berada di daerah terpencil bernama Dukuh
Paruk pada masa 1950-1960an. Dukuh Paruk terkenal dengan ronggeng-nya, yakni sebuah
kesenian berupa tarian yang muncul untuk menghormati almarhum sesepuh dukuh, Ki
Secamenggala. Seorang ronggeng adalah seorang gadis terpilih tidak hanya bisa
menari namun juga menarik secara fisik. Selain menari, seorang ronggeng harus
mau “membuka kelambu” artinya berhubungan intim dengan laki-laki di dukuh tersebut
apabila ada yang sanggup membayar. Kebanggaan bagi pria di dukuh tersebut bagi yang
mampu meniduri sang ronggeng. Srintil (Prisia Nasution), sangat terobsesi
menjadi ronggeng (Penari) utamanya karena alasan masa lalunya yang pahit
sekaligus membayar kesalahan orang tuanya. Srintil mengalami dilema yang sulit karena
mencintai Rasus (Oka Antara) namun ia harus menyerahkan kehormatannya jika ia
menjadi ronggeng.
Kisah film Sang Penari terinspirasi dari novel
Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Ceritanya memang unik jika dibandingkan
dengan film-film kita kebanyakan. Sejak awal hingga pertengahan film, teknik flashback digunakan dengan baik dan menarik,
seperti ketika Rasus kembali ke kampung dan mengingat kejadian-kejadian yang
telah ia lalui bersama warga kampung sebelum warga kampung dievakuasi. Dari
sisi cerita ada beberapa informasi cerita yang kurang disajikan dengan baik
yang membuat penonton bertanya-tanya. Seperti misalnya, apa yang membuat
masyarakat Dukuh Paruk begitu memuja ki Secamenggala, dalam filmnya tidak
begitu jelas latar belakangnya. Dalam film juga kurang begitu diterangkan
mengapa Srintil yang tadinya tidak dianggap sebagai Ronggeng oleh sang dukun
tiba-tiba bisa menjadi Ronggeng setelah menemukan keris milik Ronggeng yang
terdahulu?
Secara teknis
film ini terlihat matang, seperti film-film sang sineas sebelumnya. Penggunaan setting cukup baik menggambarkan suasana
tahun 1950-1960-an, hanya nuansa mistis ketika ronggeng menari kurang begitu
kentara. Akting pemain pun cukup lumayan. Penampilan akting Prisia dan Oka cukup pas bermain sebagai Srintil dan Rasus. Ilustrasi
musiknya pun juga menyatu dengan adegan-adegannya. Shot akhir filmnya yang cukup istimewa, menegaskan bahwa Srintil telah
memilih jalan hidupnya sebagai ronggeng, dan jalan panjang telah menantinya. Secara
umum film cukup baik serta membawa warna sendiri bagi perfilman kita. Film ini
mampu menggambarkan kisah romantika di sebuah desa terpencil pada masa 60-an
yang kental dengan nuansa politik yang tengah panas-panasnya kala itu. Film ini
dengan berani menggambarkan latar belakang sebagian masyarakat kita yang pada
masa itu relatif masih terbelakang serta jauh dari beradab. Mungkin ini pesan
moral yang ingin disampaikan sang pembuat film pada generasi muda kita sekarang
untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Agustinus Dwi Nugroho
No comments:
Post a Comment