The Limits of Control: Saatnya Manusia Diam dan Benda-Benda Bicara

Orang umumnya mengenal Jim Jarmusch sebagai patron-saint gerakan sinema Independen di Amerika Serikat. Jauh sebelum John Sayles, Robert Rodriguez, atau nama Todd Haynes melambung, Stranger Than Paradise karya Jarmusch sudah menjadi ikon sinema independen, yang baik secara kode apapun, tidak dibuat berdasarkan konvensi yang tersedia. Dengan warisan estetik dari era John Cassavettes, Stranger Than Paradise mendobrak kebiasaan bertutur tiga babak ala studio Hollywood dan menceritakannya kedalam dua babak saja, hasilnya adalah sebuah komedi aneh yang membuat kita selalu tertawa bingung. Setelah Stranger Than Paradise, berbagai karyanya terus melambungkan nama Jarmusch sebagai yang-indie, yang-sangat-konstan-dengan-prinsip-independensi.

The Limits of Control yang dirilis pada tahun 2009 tentunya melambungkan harapan penonton akan Jarmusch yang berusaha melestarikan prinsip yang sudah sangat banyak ia terapkan dalam film-film ikoniknya seperti Night on Earth (1990) dan Coffee and Cigarettes (2003). Night On Earth berisi lima fragmen cerita, dalam taksi di lima kota berbeda Negara. Coffee and Cigarettes berisi banyak sekali pecahan, tentang obrolan yang disertai kopi dan rokok. Bisa ditebak, sebanyak fragmennya, sebanyak itu pula babakan cerita yang harus ditonton secara sama sekali terpisah. Kamera Jarmusch adalah kamera Observasi, yang ikut duduk saat karakter duduk, dan ikut berlari saat karakter harus berlari. Mengherankan ketika tahun 2005, Dalam Broken Flowers, Jarmusch seperti berhenti menganut prinsip ini, ia membuat cerita yang biasa, struktur cerita yang sangat klasik, seperti The Wizard of Oz!. si A bertemu si B, lalu A bertemu C, lalu A bertemu D, dan seterusnya, dengan A (Bill Murray, dalam kasus ini) sebagai protagonis.

Ternyata lewat Broken Flowers, Jarmusch sembunyi-sembunyi sedang membangun dialektika yang kemudian ia sintesiskan dalam The Limits of Control ini. Babakan terpisah khas Coffee and Cigarettes dan babakan klasik dalam Broken Flowers disusunnya menjadi cerita seperti ini: Seorang Lelaki (Isaach de Bankole) bepergian tanpa tujuan untuk bertemu dengan orang yang tidak ia ketahui (tapi orang-orang ini diperuntukkan untuk menemui Bankole), untuk bertukaran korek api. Korek api selalu berisi secarik kertas kecil, yang kemudian selalu dimakan oleh Bankole dengan beberapa teguk espresso di duagelas yang terpisah. Aneh? Jelas. Protagonis sengaja tak diberi nama untuk mengosongkan segala eksistensinya, sehingga yang tersisa tinggal tubuhnya yang berkeliaran tanpa maksud. Motif cerita ada pada benda-benda aneh yang ia perlakukan dan ia pertukarkan dengan orang-orang yang merasa punya maksud. Jenius!

Para figuran secara intensional menemui Bankole dan berdiskusi tentang berbagai hal: seni, film, sastra, musik, bahasa. Tapi pengaruh-pengaruh tersebut tetap tidak kuasa menyuntikkan secercah eksistensi baru bagi “kekosongan” Bankole. Ia tetap hanya seonggok tubuh tanpa maksud. Tak ada penjelasan kenapa ia harus bepergian, kenapa ia bertemu dengan orang-orang ini-itu, kenapa dia kesana dan kenapa ia kemari. Jarmusch kembali mendobrak sesuatu, filmmaker tidak harus berkarya melalui animasi untuk usaha personifikasi, tidak harus lewat animasi film semacam Animal Farm, novel sakti Orwell bisa dilayar-lebarkan. Se-ekstrim itukah maksud Jarmusch?, Anda harus menontonnya sendiri. Yang jelas, this film is a something, salah satu film paling bagus yang rilis tahun 2009.

Makbul Mubarak
Penikmat Film

No comments: