Biografi dan Film-Filmnya
Timothy William Burton lahir pada tanggal 25 Agustus 1958 di Burbank, California, Amerika Serikat. Burton bukanlah seorang bocah yang pintar. Semasa kecil ia banyak menghabiskan waktunya untuk melukis, menggambar, dan menonton film-film klasik. Film horor adalah favoritnya dan aktor spesialis horor, Vincent Price adalah idola beratnya. Setelah lulus sekolah menengah atas di tahun 1976, Burton masuk ke California Institute of the Arts. Institut itu sendiri dibentuk oleh Studio Walt Disney yang memproduksi animator-animator film. Dalam tahun kedua, Burton telah masuk dalam program animasi Disney. Setelah lulus ia telah masuk dalam jajaran animator Disney.
Tercatat proyek pertamanya adalah film animasi panjang The Fox and the Hound. Burton mendapati dirinya sama sekali tidak menikmati profesinya. Ia sama sekali tidak dapat berkreasi. Disney lalu menempatkannya sebagai artis konseptual dimana ia mampu berkreasi dan menciptakan karakter (tokoh) film. Gaya animasi Burton yang unik mendapat perhatian khusus dari dua petinggi Disney. Kesempatan akhirnya datang, Burton diberi bujet untuk memproduksi film animasi pendek berjudul Vincent (1982). Film animasi stop-motion hitam-putih bergaya ekspresionis[1] ini merupakan penghormatannya terhadap idolanya, Vincent Price. Film ini mendapat pujian dari kritikus dan bahkan mendapat penghargaan festival film animasi di beberapa negara.
Sukses Vincent membawa Disney memberinya kesempatan lagi memproduksi kali ini film non animasi pendek hitam putih berjudul Frankenweenie (1984). Film berbujet $1 juta ini merupakan adaptasi lepas dari film horor klasik, Frankenstein. Filmnya berkisah tentang seorang bocah yang menghidupkan anjing kesayangannya yang mati tertabrak. Burton kali ini mulai menggali tema “after life” serta kembali mengadopsi gaya ekspresionis dalam beberapa adegannya. Diluar dugaan setelah rilis film ini, Burton dipecat studio Disney karena dianggap membuang-buang dana serta alasan lainnya karena film ini tidak pantas ditonton anak-anak.
Nasib buruk Burton rupanya tidak berlangsung lama. Frankenweenie rupanya menarik perhatian salah satu eksekutif Warner Bros. (WB) Film ini kemudian sampai ke tangan Paul Reubens yang sukses dengan acara televisi, The Pee Wee Herman Show. Reubens saat itu berniat membuat film panjang tentang Pee Wee dan merasa Burton adalah orang yang pas untuk menggarapnya. WB akhirnya membiayai seluruh filmnya dan terbukti ternyata mereka tidak salah dan ini merupakan awal kerjasama panjang antara WB dengan Burton.
Pee Wee’s Big Adventure (1985) tercatat merupakan debut film panjang pertama Burton. Filmnya berkisah tentang petualangan seorang pria kekanakan bernama Pee Wee Herman (Paul Reubens) yang mencari sepeda kesayangannya yang hilang. Dengan bujet minim terbukti ia mampu menggarap film ini dengan sentuhan serta imajinasinya yang unik. Untuk pertama kalinya, Burton juga merekrut komposer Danny Elfman yang merupakan awal dari kolaborasi panjang keduanya. Di luar dugaan film ini mendapat pujian dari para kritikus serta sukses besar secara komersil. Sukses ini kelak membawa Burton kembali dipercaya WB untuk menggarap proyek film selanjutnya.
Setelah sukses Pee Wee, Burton mendapat tawaran dari banyak pihak namun ia menolaknya karena naskahnya dianggap tidak sesuai untuk visi uniknya. Selama beberapa tahun ini Burton justru menggarap beberapa episode serial televisi yakni, seri Alfred Hitchcock Presents dan Faerie Tales Theatre. Akhirnya Burton tertarik dengan sebuah naskah unik yang dirasa cocok untuknya yang berjudul Beetlejuice. WB kembali mendukung penuh proyek ini dengan bujet sebesar $13 juta.
Beetlejuice (1988) merupakan film horor komedi fantasi yang unik. Film berkisah tentang suami istri yang tewas dan menjadi hantu di rumah mereka. Ketika penghuni rumah baru datang mereka meminta tolong seorang hantu pengusir manusia bernama Betelgeuse. Sentuhan khas Burton tampak mulai dari tema dan setting yang suram serta kaya efek visual. Kembali dengan bujet relatif kecil Burton mampu menyajikan sebuah tontonan yang segar dan unik secara visual. Selain sukses komersil film ini juga sukses meraih piala Oscar untuk tata rias wajah terbaik. Sukses luar biasa ini membuat WB kembali memberi kepercayaan pada Burton untuk memproduksi adaptasi komik superhero yang telah direncanakan sejak lama.
Burton sebenarnya telah mempersiapkan naskah Batman (1989) sejak sukses Pee Wee namun ia baru mendapat lampu hijau dari WB setelah sukses tak terduga Beetlejuice. Banyak masalah masa pra produksi hingga produksinya, mulai dari kasting pemain, lokasi syuting, perubahan naskah, hingga membengkaknya bujet. Dengan bujet sebesar $48 juta Batman akhirnya rampung juga.
Burton membuat fenomena baru dengan membuat genre superhero menjadi lebih “gelap” baik dari sisi cerita, setting, tokoh dan sebagainya. Setting ekspresionis yang amat fantastik menjadi trademark filmnya dan sukses meraih Oscar untuk rancangan artistik terbaik. Michael Keaton yang semula diragukan bermain sebagai sosok Bruce Wayne justru bermain brilyan dan tentunya Jack Nicholson sebagai Joker. Film ini sukses luar biasa secara komersil dengan meraih lebih dari $400 juta di seluruh dunia. Batman pada masanya juga sukses menjadi fenomena budaya dan barang dagangan Batman laris dimana-mana. Sukses luar biasa Batman menjadikan Burton sebagai salah satu sutradara papan atas Hollywood dengan visinya yang unik.
Timothy William Burton lahir pada tanggal 25 Agustus 1958 di Burbank, California, Amerika Serikat. Burton bukanlah seorang bocah yang pintar. Semasa kecil ia banyak menghabiskan waktunya untuk melukis, menggambar, dan menonton film-film klasik. Film horor adalah favoritnya dan aktor spesialis horor, Vincent Price adalah idola beratnya. Setelah lulus sekolah menengah atas di tahun 1976, Burton masuk ke California Institute of the Arts. Institut itu sendiri dibentuk oleh Studio Walt Disney yang memproduksi animator-animator film. Dalam tahun kedua, Burton telah masuk dalam program animasi Disney. Setelah lulus ia telah masuk dalam jajaran animator Disney.
Tercatat proyek pertamanya adalah film animasi panjang The Fox and the Hound. Burton mendapati dirinya sama sekali tidak menikmati profesinya. Ia sama sekali tidak dapat berkreasi. Disney lalu menempatkannya sebagai artis konseptual dimana ia mampu berkreasi dan menciptakan karakter (tokoh) film. Gaya animasi Burton yang unik mendapat perhatian khusus dari dua petinggi Disney. Kesempatan akhirnya datang, Burton diberi bujet untuk memproduksi film animasi pendek berjudul Vincent (1982). Film animasi stop-motion hitam-putih bergaya ekspresionis[1] ini merupakan penghormatannya terhadap idolanya, Vincent Price. Film ini mendapat pujian dari kritikus dan bahkan mendapat penghargaan festival film animasi di beberapa negara.
Sukses Vincent membawa Disney memberinya kesempatan lagi memproduksi kali ini film non animasi pendek hitam putih berjudul Frankenweenie (1984). Film berbujet $1 juta ini merupakan adaptasi lepas dari film horor klasik, Frankenstein. Filmnya berkisah tentang seorang bocah yang menghidupkan anjing kesayangannya yang mati tertabrak. Burton kali ini mulai menggali tema “after life” serta kembali mengadopsi gaya ekspresionis dalam beberapa adegannya. Diluar dugaan setelah rilis film ini, Burton dipecat studio Disney karena dianggap membuang-buang dana serta alasan lainnya karena film ini tidak pantas ditonton anak-anak.
Nasib buruk Burton rupanya tidak berlangsung lama. Frankenweenie rupanya menarik perhatian salah satu eksekutif Warner Bros. (WB) Film ini kemudian sampai ke tangan Paul Reubens yang sukses dengan acara televisi, The Pee Wee Herman Show. Reubens saat itu berniat membuat film panjang tentang Pee Wee dan merasa Burton adalah orang yang pas untuk menggarapnya. WB akhirnya membiayai seluruh filmnya dan terbukti ternyata mereka tidak salah dan ini merupakan awal kerjasama panjang antara WB dengan Burton.
Pee Wee’s Big Adventure (1985) tercatat merupakan debut film panjang pertama Burton. Filmnya berkisah tentang petualangan seorang pria kekanakan bernama Pee Wee Herman (Paul Reubens) yang mencari sepeda kesayangannya yang hilang. Dengan bujet minim terbukti ia mampu menggarap film ini dengan sentuhan serta imajinasinya yang unik. Untuk pertama kalinya, Burton juga merekrut komposer Danny Elfman yang merupakan awal dari kolaborasi panjang keduanya. Di luar dugaan film ini mendapat pujian dari para kritikus serta sukses besar secara komersil. Sukses ini kelak membawa Burton kembali dipercaya WB untuk menggarap proyek film selanjutnya.
Setelah sukses Pee Wee, Burton mendapat tawaran dari banyak pihak namun ia menolaknya karena naskahnya dianggap tidak sesuai untuk visi uniknya. Selama beberapa tahun ini Burton justru menggarap beberapa episode serial televisi yakni, seri Alfred Hitchcock Presents dan Faerie Tales Theatre. Akhirnya Burton tertarik dengan sebuah naskah unik yang dirasa cocok untuknya yang berjudul Beetlejuice. WB kembali mendukung penuh proyek ini dengan bujet sebesar $13 juta.
Beetlejuice (1988) merupakan film horor komedi fantasi yang unik. Film berkisah tentang suami istri yang tewas dan menjadi hantu di rumah mereka. Ketika penghuni rumah baru datang mereka meminta tolong seorang hantu pengusir manusia bernama Betelgeuse. Sentuhan khas Burton tampak mulai dari tema dan setting yang suram serta kaya efek visual. Kembali dengan bujet relatif kecil Burton mampu menyajikan sebuah tontonan yang segar dan unik secara visual. Selain sukses komersil film ini juga sukses meraih piala Oscar untuk tata rias wajah terbaik. Sukses luar biasa ini membuat WB kembali memberi kepercayaan pada Burton untuk memproduksi adaptasi komik superhero yang telah direncanakan sejak lama.
Burton sebenarnya telah mempersiapkan naskah Batman (1989) sejak sukses Pee Wee namun ia baru mendapat lampu hijau dari WB setelah sukses tak terduga Beetlejuice. Banyak masalah masa pra produksi hingga produksinya, mulai dari kasting pemain, lokasi syuting, perubahan naskah, hingga membengkaknya bujet. Dengan bujet sebesar $48 juta Batman akhirnya rampung juga.
Burton membuat fenomena baru dengan membuat genre superhero menjadi lebih “gelap” baik dari sisi cerita, setting, tokoh dan sebagainya. Setting ekspresionis yang amat fantastik menjadi trademark filmnya dan sukses meraih Oscar untuk rancangan artistik terbaik. Michael Keaton yang semula diragukan bermain sebagai sosok Bruce Wayne justru bermain brilyan dan tentunya Jack Nicholson sebagai Joker. Film ini sukses luar biasa secara komersil dengan meraih lebih dari $400 juta di seluruh dunia. Batman pada masanya juga sukses menjadi fenomena budaya dan barang dagangan Batman laris dimana-mana. Sukses luar biasa Batman menjadikan Burton sebagai salah satu sutradara papan atas Hollywood dengan visinya yang unik.
Sukses komersil Batman tidak serta merta membuat Burton gelap mata. Naskah film Edward Scissorshand (1990) telah disiapkan Burton semasa produksi Beetlejuice. WB menolak naskah tersebut dan menjualnya ke 20th Century Fox. Fox bahkan memberikan kontrol penuh pada Burton menggunakan visi artistik sesuai seleranya. Film ini bisa dibilang adalah film personal Burton yang terinspirasi dari masa kecilnya yang kesepian. Sosok Edward digambarkan tidak bisa menyentuh segala sesuatu yang ia inginkan tanpa merusaknya. Kisah orisinil, sentuhan set ekspresionis, serta ilustrasi musik yang menghanyutkan dari Elman menjadikan film ini karya masterpiece Burton. Selain dipuji banyak pengamat, Edward juga sukses komersil, serta mengangkat pamor Johnny Depp dan Winona Ryder. Film ini merupakan awal kolaborasi panjang antara Depp dengan Burton.
Sekalipun awalnya keberatan, Burton akhirnya menerima tawaran WB untuk membuat sekuel Batman dengan syarat ia mendapat kontrol penuh dalam produksinya. Dalam Batman Returns (1992), Michael Keaton kembali bermain sebagai sang jagoan bersama aktor-aktris senior yakni Michelle Pfeiffer, Danny DeVito, serta Christopher Walken. Sekuelnya kali ini masih menggunakan sentuhan artistik yang sama namun plotnya jauh lebih rumit, gelap, suram, dan sama sekali bukan tontonan untuk anak-anak. Walaupun begitu film ini kembali sukses komersil maupun kritik sekalipun tidak sesukses film pertamanya. Burton sama sekali tidak berminat membuat sekuel ketiganya (Batman Forever) sekalipun ia bertindak sebagai produsernya.
Proyek selanjutnya, Burton menulis dan memproduksi film animasi stop-motion The Nigthmare Before Christmas (1993). Burton sebenarnya direncanakan untuk mengarahkan film ini namun kendala jadwal syuting Batman Return menyebabkan ia menyerahkan kursi sutradara pada Henry Selick. Kembali dengan tema “gelap” serta sentuhan ekpresionistiknya kembali meraih sukses secara kritik dan komersil sekalipun. Danny Elfman kali ini tidak hanya membuat ilustrasi musiknya saja namun juga mengisi suara Jack Skellington. Karakter ini bahkan menjadi ikon Halloween yang sangat populer hingga kini.
Burton kembali berkolaborasi bersama Depp dalam film komedi biografi, Ed Wood (1994). Filmnya berkisah tentang sineas cult era klasik, Edward D. Wood Jr. yang dikenal sebagai “worst director ever” serta relasinya dengan aktor horor, Bela Lugosi. Berbeda dengan film-film sebelumnya, Burton mengemas film ini hitam putih nyaris tanpa sentuhan artistiknya. Sekalipun tidak sukses komersil namun film ini dipuji banyak pengamat. Penampilan Martin Landau sebagai Lugosi yang amat menawan mendapat ganjaran Oscar untuk aktor pembantu terbaik.
Tahun 1996 boleh dibilang adalah tahun apes bagi Burton. Di tahun ini Burton dan Selick kembali berkolaborasi merilis film kombinasi live action dan animasi stop-motion, James and the Giant Peach. Sekalipun film ini dipuji banyak pengamat namun film ini gagal secara komersil. Satu lagi adalah film komedi fiksi ilmiah garapan Burton sendiri, yakni Mars Attack. Sekalipun film ini dipenuhi sederet bintang besar dan bujet yang luar biasa besar ($100 juta) namun film ini gagal di pasaran. Kegagalan film tentang invasi alien ini bisa jadi dipengaruhi pula oleh film fiksi ilmiah laris, Independence Day yang dirilis dalam waktu relatif berdekatan.
Setelah beberapa tahun absen Burton menutup milenium baru lalu dengan merilis film horor, Sleepy Hollow (1999). Film ini merupakan adaptasi lepas dari kisah The Legend of Sleepy Hollow karya Washington Irving. Burton kembali bereuni dengan Johnny Depp yang bermain brilyan sebagai sang penyelidik, Ichabod Crane. Sentuhan set artistik Burton yang khas serta paduan ilustrasi musik Danny Elfman memberikan nuansa horor yang sangat mencekam. Film ini juga sukses secara kritik maupun komersil dengan meraih lebih dari $200 juta pada rilis seluruh dunia. Sleepy Hollow juga sukses meraih Oscar untuk panata artistik terbaik.
Burton memulai milenium baru dengan menggarap remake film fiksi ilmiah klasik, Planet of The Apes (2001) sekalipun sang sineas sendiri beranggapan bahwa ia membuat film baru bukan sebuah remake. Seperti biasa Burton memberikan sentuhan artistik lebih suram pada filmnya ketimbang film orisinilnya serta dipuji karena kostum kera yang sangat meyakinkan. Sekalipun dianggap masih jauh dibawah film aslinya namun film ini sukses komersil dengan meraih lebih dari $350 juta di seluruh dunia. Film ini juga mengawali kolaborasi Burton (on & off set) dengan aktris Helena Bonham Carter.
Burton selanjutnya menggarap drama fantasi, Big Fish (2003) yang diadaptasi lepas dari novel berjudul sama karya Daniel Wallace. Film unik ini bertutur tentang seorang ayah yang berkisah tentang masa lalunya pada anaknya. Sang anak tidak mempercayai kisah ayahnya dan menganggap hanya imajinasi belaka. Sentuhan artistik Burton masih terasa sekalipun tidak menggunakan latar “gelap” seperti film sang sineas lazimnya. Sekalipun tidak sesukses film-film Burton sebelumnya namun secara kritik film ini sukses dengan meraih empat nominasi Golden Globe termasuk film terbaik.
Burton kembali berkolaborasi dengan sohibnya, Johnny Depp dalam film fantasi anak-anak Charlie and the Chocolate Factory (2005). Naskahnya diadaptasi lepas dari buku berjudul sama karya Roald Dahl. Kembali sentuhan set ekspresionistik serta warna-warna cerah sangat kental dalam filmnya tidak suram seperti filmnya kebanyakan. Elfman juga memberikan lagu serta ilustrasi musik “riang” yang pas dengan cerita filmnya. Untuk memproduksi film ini WB berani mengeluarkan bujet sebesar $150 juta dan hasilnya ternyata sangat memuaskan. Film ini meraih kurang lebih $475 juta di seluruh dunia menjadikan film ini adalah garapan Burton yang paling sukses.
Di tahun yang sama Burton juga merilis Corps Bride (2005) yang merupakan film animasi panjang stop motion pertama yang digarapnya. Kembali Burton memakai Depp kali ini untuk mengisi suara tokoh utamanya. Film ini berkisah tentang seorang pemuda yang secara tidak sengaja menikahi wanita yang telah mati. Setelah sekian lama Burton akhirnya kembali ke gaya aslinya yakni menggunakan tema “gelap” dengan sentuhan set ekspresionis yang suram. Film berbujet $40 juta ini mampu menghasilkan $117 juta di seluruh dunia dan sukses mendapatkan nominasi Oscar untuk film animasi terbaik.
Kembali bersama Depp, Burton menggarap thriller-musikal berdarah, Sweeney Todd: The Demon barber of Fleet Street (2007). Film diadaptasi dari pertunjukan musikal berjudul sama karya Stephen Sondheim. Dengan gaya Burton yang khas, set suram berkabut kota London mendominasi filmnya. Penampilan Depp sebagai Benjamim Barker banyak dipuji pengamat termasuk ilustrasi musik dan lagu arahan Sondheim sendiri. Selain sukses komersil film ini juga sukses meraih piala Golden Globe untuk film (musikal/komedi) serta aktor utama (Depp). Film ini juga meraih Oscar untuk penata artistik terbaik serta dua nominasi untuk aktor utama serta kostum terbaik.
Tahun 2009, bersama sineas Rusia, Timur Bekmambetov, Burton memproduseri film animasi non stop-motion pertamanya, 9 (2009) yang filmnya digarap Shane Acker. Filmnya merupakan versi panjang film pendek karya Acker sendiri. Elfman juga terlibat dalam filmnya untuk menggarap musik temanya. Awal tahun ini kembali berkolaborasi bersama Depp dan Elfman, Burton menggarap film fantasi Alice in the Wonderland (2010) yang kisahnya merupakan cerita “lanjutan” dari novel populer berjudul sama. Dalam film berbujet $150 juta ini kembali sentuhan artistik Burton tampak begitu kental. Proyek selanjutnya dijadwalkan Burton akan me-remake kembali film pendeknya Frakenweenie serta bersama Depp menggarap adaptasi serial televisi, Dark Shadows.
Gaya Sinematik Burton
Film-film garapan Burton selalu memiliki tema yang unik. Naskahnya kebanyakan ia adaptasi lepas dari sebuah sumber dan kisahnya ia ubah menjadi versi dan gayanya sendiri. Hal ini sudah tampak dari film di awal karirnya, Frankenweenie yang diadaptasi lepas dari kisah klasik Frankenstein. Hal yang sama tampak dari film-filmnya seperti seri Batman, Ed Wood, Sleepy Hollow, Planet of the Apes, Big Fish, Charlie and the Chocolate Factory, Sweeney Todd, hingga Alice in Wonderland. Burton juga jarang menulis cerita filmnya sendiri, tercatat hanya Edward Scissorshand dan The Nightmare Before Christmas.
Film-film Burton tidak lepas dari genre-genre tertentu yang memungkinkan untuk menggunakan sentuhan estetiknya yang khas bernuansa gelap dan suram. Genre fantasi tercatat adalah yang paling sering ia gunakan, seperti Batman, Batman Returns, Edward Scissorshand, Big Fish, Charlie and the Chocolate Factory, hingga Alice in Wonderland. Genre favorit Burton sejak cilik, yakni horor juga tampak pada Beetlejuice, Sleepy Hollow, dan Corps Bride. Genre fiksi ilmiah terlihat pada Mars Attack dan Planet of the Apes. Genre musikal bernuansa gelap juga muncul melalui The Nightmare Before Christmas dan Sweeney Todd. Burton tercatat satu kali mencoba berbeda melalui film drama biografi, Ed Wood yang memang minim sentuhan uniknya.
Film-film Burton juga identik dengan tema-tema “gelap” yang sesuai dengan gaya artistiknya. Tema “kematian” atau after life seringkali muncul dalam kisah film-film Burton seperti Frankenweenie, Beetlejuice, The Nightmare before Christmas, Sleepy Hollow, Corps Bride, hingga Sweeney Todd. Burton juga dikenal lihai membuat film-film bertema ringan menjadi lebih gelap dan suram, contoh yang paling nyata adalah Batman Returns, Planet of the Apes, Charlie and the Chocolate Factory, dan yang terakhir Alice in Wonderland.
Dalam kisah film-film Burton seringkali tokoh utama terasing atau menjauhkan diri dari lingkungannya seperti terlihat dalam Vincent, Pee Wee Big Adventure, Batman, Charlie and The Chocolate Factory, serta Sweeney Todd. Seringkali pula tokoh utama adalah pendatang atau orang asing yang masuk dalam sebuah lingkungan baru yang sama sekali asing baginya seperti tampak dalam The Nigth Before Christmas, Sleepy Hollow, Planets of the Apes, Big Fish, hingga Alice in Wonderland. Atau terkadang pula kombinasi keduanya seperti tampak dalam Edward Scissorshand. Dalam perjalanan kisahnya tokoh utama seringkali pula dimusuhi atau salah faham dengan orang-orang lingkungannya.
Tokoh-tokoh utamanya juga seringkali memiliki trauma masa silam yang seringkali disajikan melalui teknik kilas-balik atau mimpi buruk. Hal ini tampak dalam film-film seperti Batman, Sleepy Hollow, Charlie and the Chocolate Factory, Sweeney Todd, hingga Alice in Wonderland. Trauma masa lalu seringkali juga menyangkut hubungan sang tokoh dengan orangtuanya (seringkali ayah). Dalam Sleepy Hollow, setiap kali tokoh utama pingsan ia selalu bermimpi buruk tentang ibunya yang ternyata adalah trauma masa lalunya.
Tim Burton adalah dikenal sebagai salah satu sineas yang memiliki gaya estetik unik diantara sineas-sineas papan atas Hollywood lainnya. Pengaruh gaya ekspresionis Jerman serta film-film horor klasik terasa sangat kental dalam film-filmnya. Pencahayaan cenderung suram dan gelap, serta kontras antara gelap-terang (bayangan). Setting film-film Burton seringkali berwujud tidak lazim, seperti contohnya bangunan dan pepohonan. Nuansa ekspresionis tampak sangat kental dalam film-filmnya seperti Vincent, Batman, Edward Scissorshand, The Nigthmare Before Christmas, Charlie and the Chocolate Factory, hingga Alice in Wonderland.
Pengaruh ekspresionis juga tampak pada tokoh utama atau antagonisnya yang berwujud unik. Mereka seringkali berwajah pucat (putih), berpakaian aneh, dan lazimnya menggunakan warna hitam. Karakter Edward dalam Edward Scissorshand jelas-jelas terpengaruh dari sosok monster dalam film ekspresionis, The Cabinet of Dr Caligari (1919). Satu penghuni kota Halloween dalam The Nightmare Before Christmas adalah sosok-sosok “hantu” yang wujudnya aneh-aneh. Dalam Sleepy Hollow, tokoh antagonis adalah seorang penunggang kuda tanpa kepala. Dalam Charlie and the Chocolate Factory, tokoh utama Willy Wonka yang eksentrik selalu berpakaian aneh, berwajah pucat ditemani para pekerja cebolnya, Oompa-Loompas.
Oleh karena film-film Burton memiliki nilai lebih dalam unsur setting, hal ini amat berpengaruh pada unsur sinematik lainnya terutama editing dan sinematografi. Aspek editing dalam film-film Burton cenderung lambat dan ia seringkali menahan shot-nya agak lama untuk membiarkan penonton menikmati setting-nya yang unik. Dari sisi sinematografi Burton juga seringkali menggunakan long-shot yang memperlihatkan keseluruhan setting baik sebuah kota, desa, atau sebuah ruangan. Hal unik tampak dalam nyaris semua pembuka film-film Burton (opening credit) yang biasanya kamera bergerak melintasi sesuatu atau mengikuti sesuatu, seperti dalam Edwood, Batman, Batman Returns, Sleepy Hollow, dan Charlie and the Chocolate Factory. Dalam Batman, kamera bergerak melintasi sebuah lorong gelap yang ternyata adalah simbol (logo) Batman.
Burton juga kerap bekerjasama dengan produser, pemain, serta kru yang sama dalam produksi film-filmnya. Produser Denise Di Novi tercatat memproduseri enam film Burton pada dekade 90-an. Richard D. Zanuck tercatat memproduseri lima film Burton termasuk filmnya yang terakhir, Alice in Wonderland. Dari sisi pemain Jonnhy Depp tercatat tujuh kali bermain dalam film-film Burton diikuti oleh Helena Bonham Carter sebanyak enam kali. Adapun kolaborasi yang paling kuat adalah antara Burton dengan komposer Danny Elfman. Elfman menggarap ilustrasi musik nyaris semua film panjang Burton, kecuali Ed Wood dan Sweeney Todd. Gaya musik Elfman yang khas entah mengapa amat pas dengan cerita dan gaya estetik Burton yang suram.
Burton boleh dibilang adalah sineas yang karirnya penuh dengan keberuntungan. Karirnya berjalan dengan mulus hanya selang beberapa tahun setelah film pertamanya ia telah menjadi anak emas Warner Bros. yang mampu memproduksi film-film unik yang sukses komersil sekaligus kritik. Burton sendiri adalah seorang seniman yang eksentrik. “I've always been misrepresented. You know, I could dress in a clown costume and laugh with the happy people but they'd still say I'm a dark personality”. Sekalipun begitu kini ia dikenal sebagai seorang sineas papan atas yang konsisten dengan visi artistiknya yang unik. Sampai kapan pun sepertinya Burton akan terus memproduksi film-film bernuansa “gelap”. Kita tunggu saja film-filmnya.
Himawan Pratista
No comments:
Post a Comment