Pertama, yang sudah terang: film ini, This is It (2009) dipasarkan dengan jitu. Semula Sony Pictures, pemilik Columbia, ngebet minta filmnya rilis tepat saat Sang Raja Pop ultah, 29 Agustus. Kenny Ortega, sahabat Michael Jackson yang juga pengarah panggung konsernya, menolak saat diminta menyutradarai film ini. Ya, tidak gampang mengedit rekaman 120 jam jadi film berdurasi 111 menit. Pihak Sony manut.
Namun kemudian mereka datang dengan strategi jitu lain: merilis filmnya hanya dalam tempo 2 pekan. Ini pasti membuat orang begitu ngebet menontonnya, mengiranya akan kehabisan tiket, lalu melewatkan momen bersejarah ini.
Tanpa diembel-embeli kiat pemasaran itu, orang pasti bakal berduyun-duyun menonton film ini. Ini Michael ‘gitu, loh! Tapi Hollywood memang selalu saja ada akalnya.
Kedua, filmnya. Bila Anda bukan fans Michael atau Anda terlalu sinis, Anda pasti akan menganggap ini sekadar film gladi resik konser semata. Untungnya saya fans Michael dan sedang tak ingin terlalu sinis. Saya tak sedang ingin membuat Anda marah. Jadi, film ini jelas bukan semata film gladi resik konser yang tak jadi. Ini mungkin film dokumenter paling jujur tentang Michael dari yang pernah ada.
Ya, sudah berkali-kali media meliput Michael, mewawancarainya di Neverland, mengulasnya sebagai pedofil, megalomania uzur, pria bangkrut yang berutang segunung, atau meledeknya “from Jacko to wacko”. Sebuah dokumenter tentangnya berjudul “Living with Michael” berhasil mendapat pengakuan dari mulutnya kalau ia biasa tidur ditemani bocah-bocah. Media memang pernah begitu kejam padanya. Sampai saat ia muncul dan berniat menggelar konser akbarnya di London, media menganggap ini semata upaya Michael mencari uang buat menuttup utangnya.
Tidak sepenuhnya salah. Utangnya memang betul menggunung (sekitar 300-500 juta dollar). Tapi ia tak hendak mengecewakan setiap fans yang membeli tiket konsernya. Ya, andai konsernya betul digelar sesuai rencana, fans yang sudah beli tiiet dipastikan tidak akan kecewa. Michael tak sekadar sedang menyiapkan diri menyanyi dan berjoged di depan fansnya. Ia tengah menyiapkan sebuah tontonan terbaik sekali seumur hidup bagi mereka. Inilah dia. This is it. There is no other.
Di sini diperlihatkan Michael menyiapkan betul konsernya sematang mungkin. Sebuah panggung disiapkan di Los Angeles, dekat dai rumahnya, agar ia bisa setiap hari datang berlatih vokal dan menari. Film-film berteknologi 3D disiapkan untuk mengiringi sejumlah lagunya. Pedansa terbaik dari seluruh dunia diaudisi dari ribuan orang untuk dapat yang terbaik menemaninya menari di panggung.
Filmnya hanya disusun dari potongan gambar Jacko berlatih nyanyi dari satu lagu ke lagu (semuannya favorit, meski “Heal the world” dan “Childhood” tidak muncul). Andai Anda melihatnya semata sebagai film konser, anda mungkin akan melihatnya sambil ikut berdendang atau bertepuk tangan usai lagunya kelar kayak di konser betulan. Tapi tontonlah dengan seksama lagi. Lihat betapa ia tetaplah dewa bagi pemujanya, begitu dihormati tapi juga tetap rendah hati (Michael tak terlihat marah-marah bila tak setuju atau ada hal yang menurutnya kurang pas), terlalu kurus untuk usia 50 tapi tetap energik. Ah, mungkin inilah Michael sesungguhnya, dan bukan yang didengung-dengungkan media selama ini.
Film ini ditutup dengan Michael, Kenny Ortega dan kru lain berpegangan tangan, berdoa agar konsernya nanti lancar. Filmnya tak memperlihatkan bagaimana Kenny, para penari, atau kru lain menanggapi kematian Michael yang mendadak. Kenny menutup filmnya seolah konsernnya memang betulan jadi. Memang tidak di London sesuai rencana, tapi di seluruh dunia dalam keremangan bioskop dengan kita, fansnya, berseru: we love you, Michael! ***
Ade Irwansyah
Editor Tabloid Bintang
No comments:
Post a Comment