Komedi Satir yang Gagal
Turut meramaikan pesta demokrasi di Indonesia, sutradara Monty Tiwa mencoba menghadirkan sebuah film bertema pemilu berjudul Wakil Rakyat. Film ini dibintangi sederet nama-nama top seperti Tora sudiro, Revalina S Temat, Vincent, dan beberapa aktor komedi seperti Tarzan, Jaja Mihardja, Nunung, hingga Yati pesek.Alkisah Bagyo (Tora Sudiro) dipecat dari pekerjaannya sebagai Office Boy karena tanpa sengaja mencelakai seorang tokoh politik Zaenudin (Joe P. Project). Rencana pernikahannya dengan pacarnya, Ani (Revalina) pun juga terancam batal. Suatu hari, Bagyo menyelamatkan seorang wanita muda dari perampokan. Wanita tersebut tanpa diduga ternyata adalah seorang selebriti bernama Atika (Wiwid Gunawan). Bagyo sontak dikenal banyak orang hingga membuat seorang pimpinan partai bernama Wibowo (Tarzan) tertarik untuk menjadikannya calon legislatif bagi partainya. Bagyo kemudian ditempatkan di wilayah terpencil dimana tak satu pun penduduk daerah tersebut mengenalnya.
Sebagai tontonan komedi, Wakil Rakyat terhitung gagal karena nyaris semua dagelan yang disajikan terasa hambar dan terlalu mudah ditebak. Dagelan melalui dialog maupun aksi sudah terlalu sering kita temui dalam film-film komedi kita tanpa sedikit pun memberikan suatu hal yang baru. Aksen jawa yang “medhok” sepertinya masih saja identik dengan hal yang lucu. Nuwun pangapunten (sori)… sampai kapan formula ini mau dipakai, pun kuno mas... Satu lagi, trik menjerengkan mata yang dilakukan seorang karakter dalam sebuah adegan. Apa iya penonton sekarang masih tertawa melihat hal ini.
Sebagai sebuah sajian komedi memang wajar jika hubungan kausalitas melonggar tetapi dalam film ini terkesan terlalu dipaksakan. Bagyo dipecat kerja, menolong selebriti papan bawah, diekspos media, dan wuzz.. mendadak jadi caleg. Naskah cerita juga menjadi salah satu kunci kegagalan filmnya. Kisah perjalanan karir bagyo sebagai wakil rakyat mestinya mendapatkan porsi lebih ketimbang konflik asmara. Konflik antara Bagyo dan Ani pun juga sangat dangkal, tidak ada bedanya dengan sinetron-sinetron yang sering ditayangkan di TV. Penyelesaian konfliknya terlalu mudah tanpa sebuah proses pembelajaran atau pun usaha yang berarti. Naskah yang buruk lebih diperburuk oleh pencapaian akting para pemainnya.
Kritik politik yang disajikan dalam film ini hanyalah setengah-setengah serta lebih berupa tempelan tanpa usaha untuk menggali substansinya lebih dalam. Intrik politik yang tersaji dalam film ini juga terlalu dangkal. Rasanya akan lebih baik jika intrik politik yang ditampilkan lebih berbobot sehingga parodi-parodi yang dihasilkan pun pasti akan lebih menarik. Secara keseluruhan film ini tidak mampu menunjukkan sosok wakil rakyat bagaimana yang sebenarnya dibutuhkan oleh rakyat kita. Sosok wakil rakyat seolah hanya bisa dipilih secara asal. Asal ganteng, tenar, bisa bagi-bagi duit sudah bisa jadi wakil rakyat. Pesan yang hendak dikemas secara satir tidak mampu tersampaikan dengan baik melalui filmnya. Wakil Rakyat semata-mata hanya sebuah usaha untuk mengambil kesempatan ditengah momen dan suasana politik kita yang tengah hangat-hangatnya.
Febrian Andhika
Agustinus Dwi nugroho
No comments:
Post a Comment