Home

Salaam Bombay!


Cerita tentang kehidupan jalanan Mumbai (Bombay) ini kali terekam dalam Salaam Bombay! (1988). Bilik-bilik yang kumuh, kompleks pelacuran, pedagang kaki-lima merupakan seklumit kenyataan sosial yang terkucil di sudut-sudut kota ini. Kota dan kehidupan Mumbai memang kerap menjadi sumber inspirasi bagi sineas India maupun non-India, sebut saja dalam Satya (1998) maupun yang teranyar, Slumdog Millionaire (2008). SB! tidak hanya mengulas kenyataan sosial sebuah kota dan segala hiruk pikuknya; namun film arahan Mira Nair ini berupaya sedemikian rupa menerjemahkan kenyataan tadi sebagai cermin sosial suatu masyarakat negara dunia ketiga.

Seperti film-film sosial yang lain, film ini bersetia pada kenyataan dan berusaha mengangkat sisi kemanusiaan yang bersifat universal. Para tokoh dibiarkan secara alami berperan di depan kamera. Yang mengejutkan, para tokoh yang berperan dalam SB! ini bukanlah seorang aktor atau artis profesional; namun mereka hanyalah anak jalanan yang dilatih secara singkat sebelum pengambilan gambar. Beberapa perpaduan antarunsur visual yang terdapat dalam film ini menarik untuk diulas, berdasarkan resepsi pemirsa yang bersifat subyektif atas pembacaan. Unsur-unsur kota seperti rumah singgah maupun rumah penampungan juga secara singkat diulas; utamanya mengenai dialektika ruang (rumah) yang bersinggungan dengan para tokohnya.

Ini cerita tentang seorang anak bernama Krishna (Syafiq Syed). Akibat kelalaiannya membakar sepeda motor milik pelanggan kakaknya, ia diminta untuk mengganti biaya kerusakan tersebut sebesar 500 Rs. Ia kemudian diajak oleh ibunya untuk mencukupi biaya tersebut dengan bekerja paruh waktu di sebuah sirkus keliling. Sewaktu ia diminta oleh majikannya untuk membeli tembakau, ia ditinggalkan sendirian. Ia lalu memutuskan untuk pergi ke kota terdekat, Mumbai. Ia lari dari rumah.

Sesampainya di Mumbai, ia kejambretan. Ia membuntuti penjambret itu lalu berteman dengan mereka. Ia kemudian beroleh nama panggilan “Chaipau”. Ia tinggal bersama mereka di sekitar stasiun. Untuk mencukupi uang pengganti 500 Rs itu, ia bekerja di sebuah kedai teh. Semua hasil jerih payahnya itu ia simpan ke dalam sebuah penyimpanan (lubang) yang disarankan oleh Chillum, kawannya yang seorang pecandu narkoba. Berkat kerja kelilingnya, ia bertemu Sola (Sweet 16), seorang gadis yang akan dijadikan pelacur. Ia tertarik padanya. Ia kemudian mengajak lari Sola dari kompleks itu; namun mereka tertangkap oleh penjaga pelacuran itu. Pekerjaannya terbengkalai. Ia kehilangan pekerjaannya.

Untuk itu ia mesti mecari pekerjaan baru. Semua jenis pekerjaan dilakoninya, merampok seorang tua Parsi sampai menjadi juru suguh di sebuah pernikahan. Chillum yang pecandu akhirnya mati mengenaskan. Pada satu malam, ia dan Manju yang tanpa kartu identitas tertangkap basah oleh polisi pamong praja. Keduanya kemudian digiring ke rumah penampungan bagi tuna wisma. Chaipau akhirnya sempat melarikan diri. Ia hendak mengambil uang yang disimpannya di lubang itu; namun semuanya lenyap. Chillum mengambil uang tersebut untuk memborong narkoba yang menuntunnya ke ajal.

Beberapa adegan menarik dalam film ini terkait dengan perpaduan antarunsur visual yang menyaran suatu hal. Adegan sewaktu Chaipau melarikan diri dari rumah penampungan ke tempat singgah sebelumnya berlangsung selama empat kali berturut-turut. Kamera bergerak mundur berlawanan arah dengan Chaipau yang sedang berlari di tengah jalan raya. Di belakangnya beberapa mobil, sepeda motor, dan sepeda mengisi latar. Kendaraan-kendaraan ini seolah mengejar Chaipau yang ketakutan akan kehilangan uangnya. Ia lalu bergegas menuju ke tempat singgah sebelumnya untuk mengambil uang simpanannya dalam lubang. Sesampainya di situ, uangnya telah lenyap. Seseorang telah mengambilnya. Yang tertinggal dalam lubang itu hanyalah sebuah gasing.

Kombinasi antarunsur visual, Chaipau dan kendaraan seolah tumpang tindih. Jika yang ditampilkan hanyalah Chaipau untuk menegaskan bahasa visual tertentu, kendaraan-kendaraan tersebut mestilah bersifat samar. Sebaliknya unsur-unsur visual tersebut berusaha saling mendahului. Kombinasi tersebut ditimbang sebagai konstruksi visual yang bersifat hierarkis. Kendaraan yang menyaran kemapanan (kota) seolah mendesak eksistensi Chaipau yang ditimbang sebagai tuna wisma yang mengotori keindahan kota.

Adegan menarik lainnya dalam film ini adalah sewaktu Chaipau bersedih karena kehilangan uangnya. Kamera perlahan bergerak perlahan menyorot dari keseluruhan badan sampai separuh badan Chaipau yang sedang merenungi nasibnya; sembari memegang gasing miliknya tadi. Uang yang selama ini dikumpulkannya ternyata raib diambil oleh Chillum untuk membeli narkoba. Harapannya seolah kandas untuk mencukupi uang pengganti sekaligus ongkos pulang.

Perpaduan antarunsur visual ini barangkali menyaran pemaknaan tertentu; walaupun yang lebih mendominasi adegan adalah Chaipau dengan muka yang sembab. Ia mengambil gasing itu dari saku celananya. Hanya itu yang tersisa. Gasing sebagai unsur visual seolah melengkapi sosok Chaipau yang sedang dalam lamunan. Gasing sebagai penanda berjalin dengan harapan atau nasib yang bersifat abstrak sebagai petanda. Gasing beroleh sifat dapat berputar. Gasing yang berputar dan harapannya untuk segera pulang menyaran: hidup masih terus berjalan.

Dan rumah merupakan suatu ruang intim; di mana seorang berharap nyaman bernaung dan berlindung. Rumah bagi Chaipau bukanlah rumah yang seturut dengan definisi umum. Yang ia tinggali bersama rekan-rekannya hanyalah sebuah ruang tak terawat di sekitar stasiun. Itulah barangkali definisi rumah bagi Chaipau. Di waktu senggang ia singgah di rumah ibunya Manju, yang seorang pelacur. Sementara rumah penampungan yang menawarkan kondisi yang layak dan terawat bukanlah rumah bagi Chaipau maupun Manju. Segala hal tertata. Setiap orang beroleh identitas. Semua seragam. Sementara Manju mengalami hal serupa. Ibunya ingin mengambil putrinya; namun petugas menolak dengan alasan: masa depan Manju akan lebih baik di situ. Manju tidak baik jika dibesarkan dalam situasi keluarga yang ibunya seorang pelacur.

Rumah penampungan kota Mumbai barangkali sinonim dengan lamunan Bachelard atas rumah-rumah di Paris pada tahun 1950-an. Baginya, dalam la poétique de l’espace, di Paris kita tidak akan menemukan sebuah rumah. Setiap rumah memiliki nomor yang mengindikasikan keberadaan kita. Rumah penampungan Mumbai yang layak, tertata maupun terawat bukanlah rumah impian bagi para tuna wisma. Sementara rumah yang terletak di sekitar stasiun yang tidak terawat dan tidak layak justru merupakan rumah ideal bagi para tuna wisma.

Paris adalah laut yang hibuk (la mer bruyante). Lamunan metaforis Bachelard itu barangkali bisa menggambarkan dua sisi wajah Mumbai yang berlawanan, seperti homofon kata laut-ibu (la mer-la mère) dari sudut pandang fenomenologis. Sebagai tokoh antagonis, kota menampilkan keangkeran dan kuasa tidak terlihatnya pada semua warga, khususnya tuna wisma. Sebagai tokoh protagonis, kota merawat dan mengayomi warganya dalam konteks tata kota. Kehidupan sosial, kehidupan malam, kehidupan jalanan setiap kota barangkali menjadi sumber inspirasi nirwatas bagi sineas untuk turun terlibat dan bersepakat dengan kenyataan sosial sekelilingnya dalam konteks bahasa visual.

F. Taftazani

No comments:

Post a Comment