Home

Quickie Express

Sebuah Komedi Tanggung



Quickie Express (2007) merupakan sebuah film komedi arahan Dimas Jayadiningrat yang beberapa bulan lalu sukses di bioskop-bioskop kita. Film yang dibintangi aktor-aktor populer tanah air seperti, Tora Sudiro, Amink, Lukman Sardi, serta aktris pendatang baru, Sandra Dewi.

Alkisah Jojo (Tora Sudiro) adalah pemuda ibukota yang bekerja serabutan untuk bisa mengisi perutnya. Suatu ketika Jojo diajak untuk bekerja di sebuah tempat bernama Quickie Express dengan iming-iming gaji yang besar. Ternyata pekerjaan tersebut adalah menjadi gigolo untuk melayani tante-tante berkantung tebal. Jojo bersama dua rekannya, Marley (Amink) dan Piktor (Lukman Sardi) harus menjalani latihan mental dan fisik sebelum mereka terjun ke lapangan. Walaupun awalnya canggung namun mereka lambat laun menikmati pekerjaan tersebut hingga mampu meraih sukses materi seperti yang mereka impikan. Masalah bermula ketika Jojo jatuh hati pada dokter muda bernama Lila (Sandra Dewi) yang ternyata adalah juga putri dari kliennya yang bernama Tante Mona.

Sejak awal kisah, filmnya sudah mengisyaratkan sebuah komedi slapstick ala warkop yang sifatnya spontan, dilebih-lebihkan, dan konyol. Namun unsur komedi yang dibangun berubah menjadi serius pada separuh akhir cerita karena tuntutan cerita yang lebih menitikberatkan pada konflik Jojo. Semuanya menjadi serba tanggung dan unsur komedi pun terasa canggung di paruh kedua film. Contohnya seperti adegan ketika Mona menyusul Jojo masuk ke kamar mandi untuk melepas nafsunya pada sang gigolo, dan di saat bersamaan Lila juga ingin masuk untuk buang air kecil. Adegan yang mestinya lucu malah terkesan dibuat-buat. Kenapa adegan tersebut tidak dibuat konyol sekalian? Kemasan slapstick sepertinya justru lebih cocok diterapkan sepanjang filmnya. Mestinya tidak ada tempat untuk sakit hati (tokohnya) dalam film komedi jenis ini. Apapun bisa terjadi.

Lebih dari separuh filmnya hanya berisi adegan-adegan absurd yang tujuannya jelas untuk mengocok perut para penonton. Tanpa beberapa adegan pun (seperti adegan Amink dan ikan Piranha) sebenarnya cerita film tetap dapat berjalan tanpa mengurangi alur cerita keseluruhan. Konflik utamanya sendiri (konflik cerita Jojo) jika digabungkan mungkin hanya berdurasi belasan menit saja. Sungguh disayangkan, mengapa konflik cerita tidak dibagi rata untuk tiap karakternya sehingga ketiga karakter tersebut mendapatkan porsi cerita yang seimbang. Piktor nyaris tidak mendapat porsi cerita, Marley hanya bermasalah dengan ikan peliharaannya, sementara Jojo memiliki tiga masalah besar, yakni dengan Lila, Mona, dan Jan Pieter. Ketiga masalah tersebut bisa saja dibagi untuk dua karakter lainnya, sekalipun Jojo mungkin mendapat porsi yang lebih.

Ketika penulis bertanya tentang reaksi penonton pada seorang teman yang dulu menonton film ini di bioskop, jawabnya adalah nyaris sepanjang waktu penonton tertawa terpingkal-pingkal. Mungkin jika menggunakan tolak ukur penonton saat ini film ini bisa saja dikatakan berhasil. Namun secara umum film ini merupakan film komedi yang amat buruk dari segala aspeknya dan tidak pantas pula ditonton oleh penonton remaja. Jika memang ada pesan moral dalam filmnya apa tidak seharusnya berbunyi, “Perbuatan baik kelak menghasilkan sesuatu yang baik, sementara perbuatan hina kelak menghasilkan sesuatu yang hina pula…”.

Subiyanto

No comments:

Post a Comment