Sinema, seperti semua media seni yang terserak disepanjang bingkai zaman posmodern. Menyimpan simpulan makna yang tersembunyi diantara penanda dan petanda-nya masing-masing. Sinema dalam kajiannya tetaplah dibaca sebagai teks, kumpulan teks, jutaan teks yang tengah bersitegang mengambil ancang-ancang diambang sirkuit cepat perkembangan. Meminjam istilah Virilio: Sirkuit Dromosperik. Dimana semua teks dan fasilitas bergerak secepat kilat, saling mendahului, menyita perhatian, lalu dilupakan.
Disini, saya hendak menorehkan secuil hasil pembacaan ulang atas apa yang disampaikan oleh Slavoj Zizek dalam presentasi visualnya, The Perverts Guide To Cinema. Slavoj Zizek sendiri bukanlah seorang praktisi film. Dia adalah seorang Ahli Filsafat Psikoanalitik berkebangsaan Slovenia, yang mencoba menggali sinema dari segi Jiwa (Soul), wacana tubuh (Embodiment), dan kedalaman realitas (The Abyss of Reality). Zizek sendiri terlihat sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Sigmund Freud dan Jacques Lacan dan sebagaimana penstudi kultur lainnya, dia tidak percaya bahwa gambar-gambar sinematik yang dinamis itu hanyalah sebuah pencapaian estetik semata. Menurut Zizek, ada banyak sekali ruang dibalik shot per shot yang menunggui untuk dipahami.
Psycho (Alfred Hitchcock, 1960) menjadi salah satu kajian utamanya. Dia menggunakan teori Freudian Dasar dalam mengungkap apa yang sebenarnya terjadi didalam Rumah Norman Bates, dan misteri Ibunya yang ternyata adalah dirinya sendiri itu. Peta Arsitektur rumah yang terdiri dari Basemen, Lantai Dasar, dan Lantai Atas dilihat Zizek berturut-turut sebagai Id (Hasrat pemuasan nafsu secepatnya, atau biasa dikenal orang dengan 'alam bawah sadar'), Ego (Keinginan yang terkontrol secara sadar tanpa intervensi moralitas), dan Superego (Ego yang sudah dikontrol oleh legitimasi moral). Di lantai dasar, Norman Bates bertingkah seperti orang biasa namun dengan hasrat membunuh yang nyata. Terbukti dengan dua orang yang terbunuh dilantai ini, Detektif Arbogast dan Marion Crane. Sementara kepribadian ibu sama sekali tersembunyi dilantai dua karena lantai ini adalah representasi superego yang terkontrol moral dan menemukan eksistensinya yang sebenarnya di Basement (Id), sebab disanalah ruang yang tak tersentuh apapun bahkan oleh kesadaran itu sendiri.
Beberapa film yang juga menjadi perhatian Zizek, diantaranya: City Lights (1931) dan The Great Dictator (1940) karya Chaplin, Mulholland Drive (2001), Blue Velvet (1986), Lost Highway (1996), ketiganya karya David Lynch, Solaris (Andrei Tarkovsky, 1972), Ivan The Terrible (Sergei Eisenstein, 1944), The Conversation (Francis Ford Coppola, 1974), Dogville (Lars Von Trier, 2003), Alien (Ridley Scott, 1979), The Birds, Vertigo, Shadow of a Doubt, dan North By Northwest, Keempatnya Karya Alfred Hitchcock.
Pembacaan ulang ini tidaklah saya maksudkan untuk mengubah cara pandang yang selama ini sudah mapan mengenai sinema, terutama dalam pandangan sinematik itu sendiri. Tetapi ini memang menjadi sangat penting mengingat fenomena kontradiktif memang selalu menguntit dibelakang media yang satu ini. Dimana dia lahir dari persinggungan estetika dan komersialitas, antara tuturan dan tulisan dimana setiap orang berhak menafsirkan apa yang mereka tonton dengan cara masing-masing, dan dianya adalah alat pembaca dan pembentuk realitas dengan jangkauan yang paling luas. Seperti ujar Slavoj Zizek dalam epilog Presentasinya: “If you are looking for what is in reality more real than reality itself, look into the cinematic fiction”. Maka jangan heran, bila tidak sedikit orang yang dengan lancang mengubah kata 'God' menjadi 'Godard'.
Makbul Mubarak
Penyuka Sinema, Hubungan Internasional UMY 2007
Disini, saya hendak menorehkan secuil hasil pembacaan ulang atas apa yang disampaikan oleh Slavoj Zizek dalam presentasi visualnya, The Perverts Guide To Cinema. Slavoj Zizek sendiri bukanlah seorang praktisi film. Dia adalah seorang Ahli Filsafat Psikoanalitik berkebangsaan Slovenia, yang mencoba menggali sinema dari segi Jiwa (Soul), wacana tubuh (Embodiment), dan kedalaman realitas (The Abyss of Reality). Zizek sendiri terlihat sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Sigmund Freud dan Jacques Lacan dan sebagaimana penstudi kultur lainnya, dia tidak percaya bahwa gambar-gambar sinematik yang dinamis itu hanyalah sebuah pencapaian estetik semata. Menurut Zizek, ada banyak sekali ruang dibalik shot per shot yang menunggui untuk dipahami.
Psycho (Alfred Hitchcock, 1960) menjadi salah satu kajian utamanya. Dia menggunakan teori Freudian Dasar dalam mengungkap apa yang sebenarnya terjadi didalam Rumah Norman Bates, dan misteri Ibunya yang ternyata adalah dirinya sendiri itu. Peta Arsitektur rumah yang terdiri dari Basemen, Lantai Dasar, dan Lantai Atas dilihat Zizek berturut-turut sebagai Id (Hasrat pemuasan nafsu secepatnya, atau biasa dikenal orang dengan 'alam bawah sadar'), Ego (Keinginan yang terkontrol secara sadar tanpa intervensi moralitas), dan Superego (Ego yang sudah dikontrol oleh legitimasi moral). Di lantai dasar, Norman Bates bertingkah seperti orang biasa namun dengan hasrat membunuh yang nyata. Terbukti dengan dua orang yang terbunuh dilantai ini, Detektif Arbogast dan Marion Crane. Sementara kepribadian ibu sama sekali tersembunyi dilantai dua karena lantai ini adalah representasi superego yang terkontrol moral dan menemukan eksistensinya yang sebenarnya di Basement (Id), sebab disanalah ruang yang tak tersentuh apapun bahkan oleh kesadaran itu sendiri.
Beberapa film yang juga menjadi perhatian Zizek, diantaranya: City Lights (1931) dan The Great Dictator (1940) karya Chaplin, Mulholland Drive (2001), Blue Velvet (1986), Lost Highway (1996), ketiganya karya David Lynch, Solaris (Andrei Tarkovsky, 1972), Ivan The Terrible (Sergei Eisenstein, 1944), The Conversation (Francis Ford Coppola, 1974), Dogville (Lars Von Trier, 2003), Alien (Ridley Scott, 1979), The Birds, Vertigo, Shadow of a Doubt, dan North By Northwest, Keempatnya Karya Alfred Hitchcock.
Pembacaan ulang ini tidaklah saya maksudkan untuk mengubah cara pandang yang selama ini sudah mapan mengenai sinema, terutama dalam pandangan sinematik itu sendiri. Tetapi ini memang menjadi sangat penting mengingat fenomena kontradiktif memang selalu menguntit dibelakang media yang satu ini. Dimana dia lahir dari persinggungan estetika dan komersialitas, antara tuturan dan tulisan dimana setiap orang berhak menafsirkan apa yang mereka tonton dengan cara masing-masing, dan dianya adalah alat pembaca dan pembentuk realitas dengan jangkauan yang paling luas. Seperti ujar Slavoj Zizek dalam epilog Presentasinya: “If you are looking for what is in reality more real than reality itself, look into the cinematic fiction”. Maka jangan heran, bila tidak sedikit orang yang dengan lancang mengubah kata 'God' menjadi 'Godard'.
Makbul Mubarak
Penyuka Sinema, Hubungan Internasional UMY 2007
No comments:
Post a Comment