Seorang sutradara film jika ditanya pendapatnya tentang makna Independensi dalam film, tentunya akan muncul jawaban yang beragam. Bagi Alian, Mahasiswi Ecole Lumiere II dari kota Lyon yang membuat film Independen keduanya yang berjudul Decresendo, independensi adalah film yang dibuat berdasarkan semangat kebebasan yang tidak terikat oleh uang, waktu, ataupun patron-patron yang ada, yaitu sebuah kebebasan berekspresi yang sejati. Filmnya yang dibuat hanya dengan kamera video hand phone, dan kamera foto lomo yang dikombinasikan dengan musik-musik in take as shot (seperti aliran dogme), mengindahkan paradigma umum asas sinematografi yang semestinya, itulah yang disebut independensi/kebebasan ekspresi baginya. Apapun itu sejatinya film Independen bukan lagi dinilai sebagai wacana film pinggiran atau terpinggirkan. Sutradara besar lahir dari pengalaman mereka menjadi sutradara independen, entah ia konsisten akan peranannya pada sisi idealis yang ia patuhi, ataupun sudah tergerak (baca tergiur) akan kemasan pasar (packaging) dengan orientasi bisnis (uang, uang dan uang). Ifa Isfansyah sutradara film-film pendek asal Yogyakarta melalui komunikasi lewat e-mail mengemukakan sesuatu yang valid: Buatlah film berdasarkan apa yang kamu mau, apa yang ingin kamu sampaikan, bukan apa mau orang lain.
Berbicara mengenai film-film Independen di Indonesia yang banyak dilakoni oleh kalangan mahasiswa, dewasa ini mengalami kemajuan yang signifikan, jika saja film-film Independen yang di produksi didata secara update/kontinu sebagai wacana rujukan dan infestasi, ini akan menjadi perbandingan yang manis bagi perkembangan nya itu sendiri, beberapa komunitas memang tampak sedang memperjuangkan nasib film-film Independen yang kuantitasnya semakin banyak supaya tidak hanya menjadi konsumsi eksklusif atau hanya tersimpan di folder komputer belaka. Beruntunglah atmosfer perjuangan semacam ini didukung dengan banyaknya kompetisi film-film pendek baik fiksi maupun dokumenter. Elemen berikutnya yang harus bersinergi tentu saja penonton. Masyarakat kita belum memiliki budaya menonton film yang baik, mereka masih menganggap menonton sebatas medium hiburan belaka, film belum dilihat sebagai bagian dari seni. Berbeda dengan yang terjadi di St. Ettiene, kota kecil 50 KM di barat kota Lyon, Perancis, setiap akhir pekan masyarakatnya pergi ke bioskop untuk menonton film, mereka tidak hanya didominasi kaum remaja, Ibu-ibu hingga kaum lansia juga tak kalah meramaikan bioskop. Kemudian mereka akan membahas ringan film-film yang baru saja mereka tonton pada acara makan malam di ruang keluarga. Sungguh merupakan atmosfer yang menyenangkan bagi masyarakat pecinta film. Produser film Coklat Stroberi Adiyanto Sumardjono (yang saya kutip dalam situs Infestasi film Indonesia) mengungkapkan, untuk menjadi sebuah industri film yang sukses, para pelaku industri harus menjadikan menonton film menjadi aktivitas yang regular. Ini merepresentasikan betapa elemen-elemen antara pembuat film, penonton, kritikus film, dan pemerintah yang berwenang saling bersinergi, jika soliditas ini terus terjaga, tidak perlu menunggu lama perfilman kita akan dipandang secara mumpuni.
Andrei Budiman
No comments:
Post a Comment