Home

In Liz Gilbert Shoes

Ketika menyaksikan premiere film Eat, Pray, Love besutan Ryan Murphy, lagi-lagi saya dibawa oleh nostalgia para petualang antar negara, mungkin yang membedakan saya dengan Liz Gilbert si penulis buku Eat, Pray, Love tersebut adalah dari sisi kemasan perjalanan, saya melakukannya ala Backpacker (menggendong ransel) sedang Liz ala Turis (mengangkat koper). Namun mengamati tulisan-tulisannya dalam buku tersebut, yang sudah menembus 8 juta copy penjualan, seolah mencermati apa yang di maknai oleh seorang Liz, seorang world traveler begitu kata Ketut Liyer seorang bijak pandai di Bali menyebutnya.

Sudah sejak lama Italia dikenal dengan tradisi kuat kuliner hingga sepakbola negaranya. Adalah hal yang sayang untuk di lewatkan mengunjungi negara para gladiator tersebut jika anda berada di benua Eropa. Sudah menjadi rahasia umum jika lelaki Italia terkenal akan rayuan mautnya, Liz Gilbert sampai menggaris bawahi kebiasaan mereka yang lebih senang hidup santai, Dolce far niente atau The art of doing nothing. Pameo ini sudah cukup familiar sebenernya, saya pernah menanyakan istilah tersebut pada seorang Italian ketika di peron stasiun kereta api di St. Ettene, Perancis.

Istilah tersebut bukan berarti hidup santai, duduk di sofa sambil bermalas-malasan, namun lebih kepada bagaimana menikmati hidup yang singkat ini dengan melakukan apa yang kita inginkan, tanpa ada tekanan, penuh kebahagiaan. Entahlah darimana pula muncul istilah pria-pria sexy Eropa ada di Itali. Ah, mungkin mereka belum menyimak saja deratan wanita mempesona Itali dari Monica Vitti hingga Belucci.

Jika di Italia, Liz merasakan atmosphere menyenangkan selama interaksinya, maka setibanya di India tempat dimana tanah spritual berada, ia mulai merasakan atmosfer chaotic, India di potret tak jauh berbeda dengan film Slumdog Millionaire yang kumuh, dan bising. Namun India boleh dibilang adalah tempat yang wajib dikunjungi bagi para penggiat traveler, seperti yang di tulis dalam buku Liz, sebagai Land of spritualism.

India adalah tempat dimana Yoga dan Meditasi berakar, dikembangkan oleh maha guru Maharsi Patanjali. Yoga dan Meditasi adalah kombinasi dari serangkaian latihan dan teknik memfokuskan pikiran. Mereka dipercaya sebagai sarana untuk mencapai pencerahan. Saya sendiri belum sempat berpergian ke India, namun dalam serangkaian kisah yang saya dapatkan dari para petualang, India memang wajib dikunjungi, tempat para petualang dunia mengadukan perjalanan panjangnya. Tempat titik mereka untuk berhenti dari ribuan mil yang mereka tempuh, untuk sejenak menyatu dengan alam, dan berupaya melakukan perjalanannya ke dunia spritualis, bertemu dengan sang Maha.

Dalam rangkaian akhir perjalanan panjang Liz, akhirnya ia menemukan surganya, di Bali. The land of paradise orang menyebutnya. Tempat dimana Liz menyatu dengan alam, berkompromi dengan kisah tragis hidupnya dan keberanian menerima kembali akan kekuatan cinta yang menyembuhkan.

Bali dalam pandangan wisatawan asing, bagai sebuah potongan surga di bumi, tempat mereka lari dari kejenuhan rutinitas, tempat mereka berpesta juga menemukan keseimbangan hidupnya.

Di dalam film Eat, Pray, Love terlepas dari permasalahan sisi struktur film yang tak mampu mentransformasikan isi buku dengan baik oleh sang sutradara, kita mendapati bagaimana selama Liz melakukan perjalanannya ia berinteraksi dengan banyak orang, bagaimana orang-orang tersebut pun pada akhirnya mempengaruhi hidupnya. Hal sederhana namun merupakan bagian dari esensi perjalanan spritual sebagai manusia. Seperti kalimat luar biasa dari seorang Nabi besar Muhammad SAW. tentang besarnya makna dari sebuah perjalanan;
“Don’t tell me how educated you are, tell me how much you traveled.”

Andrei Budiman

No comments:

Post a Comment