Home

Garuda di Dadaku


Tentang Mimpi, Sepakbola, dan Kematangan Teknis

Garuda di Dadaku (GD) adalah film pengisi liburan sekolah yang sukses dibanjiri penonton semua kalangan beberapa waktu lalu. Film ini merupakan debut sineas asal Jogja, Ifah Irfansyah yang belum lama menimba ilmu di Negeri Ginseng. Film ini dibintangi oleh aktor-aktris cilik, Emir Mahira, Aldo Tansani bersama bintang-bintang senior seperti Ikranegara, Maudy Koesnaedi, dan Ari Sihasale.

Bayu adalah bocah kelas enam SD yang sangat berbakat dalam bermain bola. Bayu memiliki cita-cita seperti almarhum ayahnya menjadi pemain tim merah putih. Sementara Usman, kakek Bayu (Ikranegara) berharap sang bocah menjadi lebih dari sekedar pemain bola. Bayu diharuskan mengikuti berbagai kegiatan tambahan yang sama sekali tidak ia sukai. Dibantu Heri, sahabat dekatnya, diam-diam Bayu mencoba masuk sebuah klub sepakbola elit yang menjadi jalan menuju timnas junior.

Seperti lazimnya film anak-anak, GD bertutur ringan dengan konflik yang jelas dan sederhana. Sepanjang film, alur cerita mengambil sudut pandang tokoh Bayu yang menggambarkan suka dukanya dalam menggapai impiannya dengan bantuan sahabat-sahabat dan ibunya. Konflik berjalan dengan wajar tanpa ada kelemahan berarti dalam cerita filmnya. Walau sedikit berlebihan, karakter Kakek Usman digambarkan sebagai sosok antagonis yang menjadi penyebab utama konflik cerita. Rasanya agak janggal di akhir kisahnya sang kakek demikian cepat berubah pikiran mengingat hampir sepanjang filmnya ia benci mati dengan sepakbola. Satu lagi karakter yang kurang melekat dengan cerita keseluruhan adalah Zahra dan ayahnya, keluarga penunggu kuburan. Karakter Zahra berkesan hanya sebagai “pemanis” belaka.

Sekalipun GD adalah film pertama namun sang sutradara dari sisi teknis telah menunjukkan kematangannya, terutama teknik kamera dan editing yang mampu disajikan dengan apik. Pada adegan sepakbola, kamera dengan efektif dan dinamis mengikuti Bayu yang mahir meliuk-liukkan bola. Beberapa kali teknik editing berupa montage sequence digunakan begitu manis dengan iringan lagu yang pas, tidak kalah dengan film-film Hollywood. Satu shot berkesan tampak pada adegan akhir ketika Bayu berada dibawah sorotan lampu stadion gelora Bung Karno bermain untuk timnas junior seperti impiannya. Satu teknik crosscutting “brilyan” adalah ketika detik-detik pemilihan pemain timnas junior. Sineas memotong antara pertandingan yang tengah berlangsung (masa kini) dengan detik-detik pemilihan pemain di ruang ganti (masa depan). Teknik crosscutting “nonlinier” yang boleh dibilang mengesankan tapi untuk penonton anak-anak apa tidak terlalu sulit dipahami?

GD merupakan film anak-anak yang mampu memikat tidak hanya anak-anak namun juga penonton dewasa. Pesan moralnya untuk anak-anak dan orangtua juga sangat mudah diterima. Sineas dengan cerdas juga menyisipkan kritik sosial dan politik, seperti areal bermain yang tergantikan hutan beton, bola yang ditendang mengenai poster caleg, budaya suap yang populer di negeri ini, dan banyak lainnya. Bicara masalah nasionalisme yang diusung film ini saya kurang sependapat karena terlalu dominannya atribut klub sepakbola asing sepanjang filmnya. Saya harap anak-anak yang menonton film ini juga tidak lantas bermain sepakbola di tanah kuburan. Selamat dan sukses buat sutradara.

Raja Reymon
M. Pradipta

No comments:

Post a Comment