Jatuh cinta sejuta rasanya. Saat jatuh cinta, dunia serasa milik berdua. Yang lain? Mengungsi saja. Hal ini yang rasanya diyakini betul sineas film ini, Cin(T)a (2009). Maka, yang kemudian kita saksikan adalah melulu dua tokohnya saling mengobrol. Kamera juga melulu menyorot mereka. Pemeran lain nyaris tak pernah disorot mukanya--paling-paling suara mereka saat bertelepon. Dua sejoli yang sedang jatuh cinta itu, Cina (tanpa “Rakyat”, tanpa “Republik”) [“Aneh banget ya bokap lo. Udah tahu muka lo Cina. Masih dikasih nama ‘Cina’”] dan Annisa [“Tega kali bapak kau. Udah tau muka kau perempuan, masih dikasih nama perempuan”]. Cinta mereka terhalang tembok besar: perbedaan agama. Cina seorang Katolik taat. Annisa muslim tulen. Yang menarik di sini bukanlah apa cinta mereka akan bersatu, atau halangan apa yang akan mereka temukan bila mereka meneruskan berkasih-kasihan. Bukan. Bukan itu. Film ini tak menceritakan kalau mereka ketahuan pacaran meski berlainan agama, atau setelah ketahuan lantas dilarang orang tua masing-masing. Film ini tak menceritakan itu semua. Film ini malah tak punya cerita. Film ini, buat saya, bukanlah film cerita.
Memang sih ada cerita si A ketemu si B, lalu A dan B pacaran meski berbeda keyakinan. Tapi cerita filmnya jadi tak penting. Yang kemudian jadi maha penting di film ini adalah apa yang diucapkan tokoh-tokohnya. Dari sini, filmnya tak lagi bertumpu pada jalinan cerita, tapi pada gagasan yang diusungnya. Film ini menjelma jadi sebuah esai. Sebuah film esai utamanya berisi gagasan pembuatnya. Dan sejatinya film tak melulu berisi cerita soal tokoh utama menghadapi pelbagai rintangan berat untuk menggapai cita-cita yang ingin diraih. Film yang baik punya pesan yang ingin disampaikan. Film yang baik punya gagasan. Film yang baik adalah esai yang baik pula.
Menurut Ignas Kleden (“Antara Obyektivitas dan Orisinalitas”, Prisma 8, 1988) kekuatan esai bukan terletak pada argumen yang dikandungnya, melainkan pada lukisan pikiran-pikiran dan gagasan. “Esai tidak berpretensi mengajukan satu pemikiran yang kokoh dan keras, melainkan suatu obrolan yang cerdas dan memikat.” Dalam esainya yang lain tentang esai, Ignas Kleden (“Esai: Godaan Subyektivitas”, Horison, XXXVIII/Januari 2004) menulis, sebuah esai menjadi prosa yang dibaca karena memikat dan mencekam perhatian, daya-tariknya muncul karena ada bayangan pribadi penulis berkelebat atau mengendap di sana. Gagasan di film ini tidak disusun dalam jalinan cerita, melainkan lewat lontaran kalimat-kalimat para tokohnya. Tokohnya seperti dipinjam sineas untuk mengutarakan gagasan-gagasannya. Dalam hal ini, pandangan sineasnya tentang cinta, Tuhan, dan agama. “Kenapa Allah nyiaptain kita beda-beda. Kalau Allah ingin disembah dengan satu cara?” “Makanya Allah ciptain cinta. Biar yang beda-beda bisa nyatu.” Juga sebuah kesimpulan: “Tuhan yang kami sebut dengan berbagai nama. Yang kami sembah dengan berbagai cara. Terima kasih atas berkat yang Kau berikan. Jauhkanlah kami dari percobaan. Amin.”
Sebagai esai, film ini jadi teramat penting. Ia lebih efektif daripada seratus buku atau seribu artikel yang menganjurkan perdamaian dalam perbedaan menyembah Tuhan. Kepada pembuat film ini, saya hanya ingin berucap mabruk wa baraka Allahu alaikum atau, seperti sering ditulis kawan Kristiani saya di ujung SMS mereka, GBU (God Bless You).
Ade Irwansyah
Memang sih ada cerita si A ketemu si B, lalu A dan B pacaran meski berbeda keyakinan. Tapi cerita filmnya jadi tak penting. Yang kemudian jadi maha penting di film ini adalah apa yang diucapkan tokoh-tokohnya. Dari sini, filmnya tak lagi bertumpu pada jalinan cerita, tapi pada gagasan yang diusungnya. Film ini menjelma jadi sebuah esai. Sebuah film esai utamanya berisi gagasan pembuatnya. Dan sejatinya film tak melulu berisi cerita soal tokoh utama menghadapi pelbagai rintangan berat untuk menggapai cita-cita yang ingin diraih. Film yang baik punya pesan yang ingin disampaikan. Film yang baik punya gagasan. Film yang baik adalah esai yang baik pula.
Menurut Ignas Kleden (“Antara Obyektivitas dan Orisinalitas”, Prisma 8, 1988) kekuatan esai bukan terletak pada argumen yang dikandungnya, melainkan pada lukisan pikiran-pikiran dan gagasan. “Esai tidak berpretensi mengajukan satu pemikiran yang kokoh dan keras, melainkan suatu obrolan yang cerdas dan memikat.” Dalam esainya yang lain tentang esai, Ignas Kleden (“Esai: Godaan Subyektivitas”, Horison, XXXVIII/Januari 2004) menulis, sebuah esai menjadi prosa yang dibaca karena memikat dan mencekam perhatian, daya-tariknya muncul karena ada bayangan pribadi penulis berkelebat atau mengendap di sana. Gagasan di film ini tidak disusun dalam jalinan cerita, melainkan lewat lontaran kalimat-kalimat para tokohnya. Tokohnya seperti dipinjam sineas untuk mengutarakan gagasan-gagasannya. Dalam hal ini, pandangan sineasnya tentang cinta, Tuhan, dan agama. “Kenapa Allah nyiaptain kita beda-beda. Kalau Allah ingin disembah dengan satu cara?” “Makanya Allah ciptain cinta. Biar yang beda-beda bisa nyatu.” Juga sebuah kesimpulan: “Tuhan yang kami sebut dengan berbagai nama. Yang kami sembah dengan berbagai cara. Terima kasih atas berkat yang Kau berikan. Jauhkanlah kami dari percobaan. Amin.”
Sebagai esai, film ini jadi teramat penting. Ia lebih efektif daripada seratus buku atau seribu artikel yang menganjurkan perdamaian dalam perbedaan menyembah Tuhan. Kepada pembuat film ini, saya hanya ingin berucap mabruk wa baraka Allahu alaikum atau, seperti sering ditulis kawan Kristiani saya di ujung SMS mereka, GBU (God Bless You).
Ade Irwansyah
No comments:
Post a Comment