
Memang sih ada cerita si A ketemu si B, lalu A dan B pacaran meski berbeda keyakinan. Tapi cerita filmnya jadi tak penting. Yang kemudian jadi maha penting di film ini adalah apa yang diucapkan tokoh-tokohnya. Dari sini, filmnya tak lagi bertumpu pada jalinan cerita, tapi pada gagasan yang diusungnya. Film ini menjelma jadi sebuah esai. Sebuah film esai utamanya berisi gagasan pembuatnya. Dan sejatinya film tak melulu berisi cerita soal tokoh utama menghadapi pelbagai rintangan berat untuk menggapai cita-cita yang ingin diraih. Film yang baik punya pesan yang ingin disampaikan. Film yang baik punya gagasan. Film yang baik adalah esai yang baik pula.
Menurut Ignas Kleden (“Antara Obyektivitas dan Orisinalitas”, Prisma 8, 1988) kekuatan esai bukan terletak pada argumen yang dikandungnya, melainkan pada lukisan pikiran-pikiran dan gagasan. “Esai tidak berpretensi mengajukan satu pemikiran yang kokoh dan keras, melainkan suatu obrolan yang cerdas dan memikat.” Dalam esainya yang lain tentang esai, Ignas Kleden (“Esai: Godaan Subyektivitas”, Horison, XXXVIII/Januari 2004) menulis, sebuah esai menjadi prosa yang dibaca karena memikat dan mencekam perhatian, daya-tariknya muncul karena ada bayangan pribadi penulis berkelebat atau mengendap di sana. Gagasan di film ini tidak disusun dalam jalinan cerita, melainkan lewat lontaran kalimat-kalimat para tokohnya. Tokohnya seperti dipinjam sineas untuk mengutarakan gagasan-gagasannya. Dalam hal ini, pandangan sineasnya tentang cinta, Tuhan, dan agama. “Kenapa Allah nyiaptain kita beda-beda. Kalau Allah ingin disembah dengan satu cara?” “Makanya Allah ciptain cinta. Biar yang beda-beda bisa nyatu.” Juga sebuah kesimpulan: “Tuhan yang kami sebut dengan berbagai nama. Yang kami sembah dengan berbagai cara. Terima kasih atas berkat yang Kau berikan. Jauhkanlah kami dari percobaan. Amin.”
Sebagai esai, film ini jadi teramat penting. Ia lebih efektif daripada seratus buku atau seribu artikel yang menganjurkan perdamaian dalam perbedaan menyembah Tuhan. Kepada pembuat film ini, saya hanya ingin berucap mabruk wa baraka Allahu alaikum atau, seperti sering ditulis kawan Kristiani saya di ujung SMS mereka, GBU (God Bless You).
Ade Irwansyah
1 comment:
Masih ingat dulu bela-belain pulang hujan-hujanan pas nonton film ini.
Post a Comment