Sebuah kapal kecil. Seorang tua tinggal di atasnya; bersama seorang gadis muda. Dua anak manusia hidup di tengah laut lepas; yang tanpa nama. Latar daratan demikian juga tidak ada. Si orang tua memiliki sebuah busur yang beroleh fungsi ganda: sebagai senjata sekaligus alat musik gesek yang dimainkan oleh keduanya di waktu sela. Si gadis diadopsi oleh si orang tua semenjak ia berumur tujuh tahun. Ia tidak pernah menginjak daratan. Sepuluh tahun berselang, si gadis beranjak dewasa. Si orang tua ingin segera menikahinya. Ia telah melingkari hari baik di penanggalan. Relasi intrapersonal di antara mereka berdua, terganggu oleh kehadiran orang lain: para pemancing yang singgah. Relasi intrapersonal berubah menjadi relasi interpersonal yang menyertakan suatu konflik di atas kapal.
Latar serupa dipilih Kim Ki Duk dalam The Isle (2000); namun The Bow (2005) beroleh apresiasi yang sedikit berbeda; tanpa sadisme dan sedikit cipratan darah. Tata minimalis yang digagas oleh Kim selaras dengan minimnya dialog antartokoh; yang kemudian dikelindankan dengan sebentuk ruang intim: sebuah kapal kecil yang terapung di laut bebas. Konsep cinta dan kepemilikan demikian banyak dibincangkan dalam The Bow. Ia berwujud relasi personal antara seorang gadis dan seorang tua.
Konsep cinta dan kepemilikan menyaran upaya penundukkan seseorang atas yang lain. Upaya tersebut menemukan bentuknya sewaktu seseorang berusaha untuk memiliki seseorang yang lain, baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang dimiliki orang tadi. Orang lain yang turut mencampuri relasi si gadis dan si orang tua tersebut ditimbang serupa kerikil dalam sepatu: para pemancing yang menyewa kapal. Si orang tua berupaya menegasikan kehadiran orang lain tersebut; sembari mengancamnya dengan busur dan anak panahnya jika mereka masih mengganggu gadisnya.
Sebuah busur kemudian tidak hanya menyaran sebentuk benda galibnya; namun ia berupa sebentuk benda diskursif: ia tidak hanya memiliki fungsi sebagaimana rupanya, sebagai pertahanan diri maupun penghibur hati. Sebuah busur bisa saja mengambil sedikit peran simbolis, yang menyaran perluasan makna yang menunjuk suatu yang lain. Tentu saja pemaknaan tetap berpijak pada definisi awal sebuah busur. Pemaknaan lalu beranjak pada perluasan makna dari sebentuk benda tadi.
Sebuah busur beroleh fungsi primer sebagai pelindung dari ancaman. Busur dalam konteks ini beroleh fungsi sebagaimana galibnya. Tentu anak panah adalah pelengkap dari fungsi busur itu. Tanpanya, busur akan kehilangan fungsi sebagai senjata. Si orang tua sempat mengintimidasi para pemancing yang usil terhadap si gadis dengan busur dan anak panah yang siap dilepaskan. Kedua benda tadi dalam pengertian ini: sesuatu yang menyaran pertahanan diri. Seseorang yang dianggap sebagai suatu ancaman, akan mendapat semacam tanggapan dari pihak yang terancam, seperti halnya konflik antara para pemancing dan si orang tua.
Sebuah busur dapat beralihfungsi juga sebagai alat musik gesek; dengan menambahkannya sebentuk gendang kecil sebagai wadah resonansi suara. Busur dalam pengertian ini menduduki fungsi sekunder sebagai penghibur lara dan sedih. Tanpa gendang kecil, busur tidak dapat difungsikan sebagai alat musik. Kedua benda tadi bersifat saling melengkapi satu sama lain; seperti halnya dengan konsep busur dan anak panah sebelumnya.
Busur dalam pengertian ini barangkali semacam antitesis dari konsep busur sebelumnya. Konsep busur sebelumnya yang menekankan segi kekerasan (busur sebagai senjata) tersamarkan oleh konsep busur yang menyaran segi kelembutan (busur sebagai alat musik). Permainan konsep keras-lembut memang mewarnai film-film Kim sebelumnya; di mana kedua segi tersebut bukan merupakan suatu yang bertolak belakang satu sama lain. Antitesis bukanlah lawan dari tesis.; namun hadirnya antitesis merupakan bagian lain yang tidak terpisahkan dari tesis. Berpucuk duri bunga mawar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bunga itu sendiri, misalnya. Hal ini selaras dengan konsep Yin dan Yang dalam filsafat timur, misalnya. Pada bagian gelap tetap menyimpan sebagian kecil terang; pada bagian terang tetap menyimpan sebagian kecil gelap. Sebentuk dialektika atas gelap-terang ini bukan mencari ketegasan dalam setiap hal; namun pergulatan aktif terhadap satu hal yang belum selesai merupakan pokok persoalan.
Sebagai pembaca nasib seseorang, sebuah busur tidak lagi beroleh fungsi sebagaimana mestinya. Busur dalam pengertian ini memiliki fungsi antara; bukan sebagai alat pertahanan diri maupun alat musik. Fungsinya kemudian menyaran hal yang sublim: bagaimana satu nasib seseorang direka melalui pertaruhan nyawa si gadis dan lukisan Buddha sebagai citra simbolis keilahian. Upaya si orang tua untuk membaca nasib lewat pelepasan anak panah ke arah lukisan buram Buddha sementara si gadis berayun di sepanjang lambung kapal, menyaran nasib bergayut di antara pertaruhan nyawa dan lukisan Buddha sebagai representasi suatu yang gaib.
Sebuah busur dan anak panah dalam konteks ini beroleh perluasan fungsi sebagai pembaca nasib seseorang. Seorang pemancing meminta pada si orang tua untuk direka nasibnya. Si orang tua menyanggupi permintaannya; namun ia mewujudkan permintaannya tersebut lewat cara yang tidak biasa. Si gadis diminta oleh si orang tua itu agar berayun di sepanjang lambung kapal. Sementara si orang tua membidik sasaran Buddha yang terlukis buram di lambung tersebut. Anak panah kemudian dilepaskan oleh si orang tua sebanyak tiga kali; sehingga nasib seseorang dapat direka melalui lubang bekas anak panah yang tertancap di lambung itu. Si gadis kemudian membisikkan pelihatannya kepada si orang tua yang lalu dibisikkannya kembali pada si pemancing.
Si orang tua kemudian dihadapkan pada masalah yang sama: apakah nasib juga berpihak padanya. Seorang pemuda yang menyukai gadis itu menantang si orang tua: siapakah pemilik nasib. Si orang tua menyanggupinya; walaupun ia enggan menerima ramalan yang ia buat sendiri. Si orang tua mesti kehilangan gadisnya yang ikut pergi ke daratan bersama si pemancing muda tadi. Upaya si orang tua untuk memercepat hari pernikahan dengan melingkari sampai merobek penanggalan pada narasi sebelumnya, akhirnya sia-sia. Dengan kapal kecil, kemudian si gadis pergi bersama si pemuda tadi.
Upaya si orang tua untuk melawan buruknya nasib yang ia terima terlihat dari pertaruhan hidup yang ia berikan untuk diri gadis itu; dengan mengikat lehernya sendiri dengan tali dari kapal yang sedang melaju itu. Si gadis tersadar akan pengorbanan yang diberikan oleh si orang tua itu. Padahal sebelumnya, nyawa si gadis menjadi taruhan bagi terkuaknya nasib seseorang. Sebaliknya, kini nyawa si orang tua menjadi pertaruhan bagi batalnya nasib yang direkanya sendiri. Si gadis akhirnya terharu atas pengorbanan si orang tua yang rela mati deminya.
Demikian mereka menuju kapal pelaminan, teriring oleh sorak sorai ombak. Si gadis tertidur di atas kapal. Si orang tua melepaskan anak panahnya ke langit. Lalu ia terjun ke laut; lenyap tanpa bekas. Entah. Hari pertama pernikahan. Anak panah turun dari langit mengarah ke selangkangan gadis itu. Ia mendesah. Mengalir darah pertama; yang barangkali tidak menyaran kepemilikan atas diri seseorang secara utuh; namun ia hadir dalam keberjarakan seseorang atas orang lain dengan sikap yang seluruh.
F. Taftazani
No comments:
Post a Comment