Sang sineas, Hanung Bramatyo berulang kali mengatakan pada media jika film Ayat-Ayat Cinta tidak bisa dibandingkan dengan novelnya karena bahasa tulisan berbeda dengan bahasa visual. Untuk mendapatkan ulasan yang proporsional, kali ini kami mencoba mengulas film ini tanpa sama sekali menyinggung novelnya dan penulis pun belum pernah membaca novelnya Ulasan hanya mengacu pada pendekatan naratif (cerita film) serta sinematik yang menjadi pilihan sang sineas.
Masalah Cerita
Adapun kelemahan yang mendasar dalam film ini tampak pada tempo plotnya yang cepat. Satu peristiwa belum dijelaskan secara jelas sudah muncul peristiwa lainnya. Masalah keseharian kuliah di awal kisah beralih ke masalah isu perkawinan dan selang beberapa menit masalah tersebut terjawab dengan munculnya sosok Aisyah. Tak seberapa lama Fahri pun menikahi Aisyah. Sebelumnya Fahri sempat menolong Noura, tetangganya yang selalu disiksa majikannya hingga ia dipertemukan dengan orang tua kandungnya. Masalah sebenarnya baru muncul ketika Fahri dituduh memperkosa Noura hingga ia ditahan polisi dan berlanjut hingga masa persidangan. Sineas menggunakan teknik kilas-balik untuk menjelaskan latar-belakang cerita namun tetap saja motifnya masih lemah.
Karakter Fahri menjadi kunci dari semua masalah. Fahri memberi kesan sebagai sosok laki-laki yang digandrungi para wanita karena tampan, taat, jujur, rendah hati, cerdas, supel, serta berani, namun di dalam film penggambaran karakter ini masih terlalu minim. Penokohan Fahri dalam plot sebenarnya sangat fundamental karena inti motivasi penggerak cerita seluruhnya bermula di sini. Bayangkan, Noura sampai bersusah payah memfitnah Fahri untuk menimbulkan segala masalah hingga sang lelaki terancam hukuman mati hanya karena cintanya ditolak. Siapa sih Fahri? Kenapa ia begitu digandrungi kaum hawa hingga gadis seperti Noura tega melakukan itu semua? Apa yang membuat Fahri begitu istimewa? Entah bisa jadi karena sosok aktornya, sosok Fahri justru tampak begitu rapuh dan kurang percaya diri ketika ia menghadapi masalah.
Satu lagi kelemahan film ini adalah memiliki permasalahan cerita yang terlampau banyak sehingga cukup untuk dibuat dalam dua film. Cerita film sepertinya akan berakhir setelah adegan klimaks pada akhir persidangan dari keseluruhan masa sidang yang begitu melelahkan. Namun cerita ternyata masih berlanjut (??). Cerita lalu berkembang menggambarkan keseharian Fahri bersama dua istrinya yang cantik-cantik, Maria dan Aisyah. Fahri menghadapi konflik baru dimana ia harus membagi waktu dengan kedua istrinya yang selalu meminta perhatian darinya. Aisyah yang tengah hamil muda akhirnya memilih (mengalah) untuk pergi dari rumahnya dengan alasan membutuhkan waktu untuk bisa memahami ini semua. Aneh bukan?
Bagaimana mungkin setelah mengalami semua peristiwa “maha hebat” sebelumnya (menyangkut hidup dan mati) Fahri tidak bisa mengatasi konflik yang demikian “sepele”? Bukankah Fahri mestinya sudah jauh lebih dewasa (bijak) dan ikhlas? Untuk apa Aisyah bersusah payah membantu “menghidupkan” Maria jika nantinya ia hanya iri melihat Maria berduaan dengan Fahri? Bukankah ketika Aisyah “memaksa” Fahri menikahi Maria mestinya ia telah ikhlas? Entahlah... mungkin Fahri dan Aisyah hanyalah manusia biasa yang masih terbelenggu ego. Namun ini semua menyebabkan masa-masa penderitaan yang dialami Fahri, Aisyah, maupun Maria sebelumnya menjadi sia-sia belaka.
Problem Sinematik
Penggunaan bahasa arab (dengan teks terjemahan) dalam dialog rupanya hanya digunakan sebagai pembuka kalimat saja karena setelahnya dialog diubah menjadi bahasa Indonesia, sekalipun karakter seperti Maria adalah orang Mesir. Penggunaan bahasa Indonesia membuat dialog menjadi agak janggal karena kesannya film ini menjadi tak ubahnya film remaja kita pada umumnya. Terlebih lagi dialeknya juga cenderung memakai dialek “gaul” seperti terlihat jelas di awal film. Pada sebuah adegan di rumah sakit ketika Maria tengah koma, terlihat begitu janggal ketika seorang suster mengucapkan dialog dalam bahasa Indonesia. Patut kita hargai usaha sang sineas dalam mengatasi kendala bahasa bicara, namun teknik transisi bahasa seperti ini rasanya masih kurang mengena. Mungkin idealnya film ini harus memakai bahasa aslinya tapi sepertinya juga sulit jika seluruh dialog menggunakan bahasa Arab.
Kelemahan juga tampak pada keterbatasan setting cerita terutama untuk latar outdoor. Sineas sepertinya telah berusaha keras menyiasati keterbatasan tersebut dengan banyak menggunakan setting indoor, namun tetap saja hasilnya kurang meyakinkan. Suasana kota Kairo plus sungai Nil yang menjadi latar cerita hampir sama sekali tidak tampak, suasana latar cerita malah terlihat seperti suasana di wilayah desa/pinggiran. Suasana kampus Al-Azhar juga terasa begitu sepi serta kurang megah (Apa suasananya memang seperti itu?). Penggunaan rekayasa komputer (CGI) pada film-film kita rasanya masih berlebihan namun penambahan satu shot saja yakni, suasana eksterior bangunan kampus Al-Azhar serta suasana kota Kairo dan sungai Nil (aslinya) sepertinya sudah cukup membantu. Seperti di awal pembuka film, sebuah shot piramid besar sudah cukup untuk menjelaskan jika lokasi cerita berada di Mesir.
Sudah tidak diragukan lagu Ayat-Ayat Cinta (sudah populer jauh sebelum filmnya dirilis) yang dilantunkan begitu manis oleh Rosa menjadi salah satu kunci kekuatan filmnya. Lagu ini digunakan beberapa-kali untuk mengiringi beberapa adegannya. Pada momen saat Aisyah membuka cadarnya saat taaruf, iringan lagu ini begitu kuat dalam mendukung mood adegannya. Namun sayang, beberapa nomor lagu yang ditampilkan justru malah sia-sia karena terganggu suara dialog. Pada adegan saat Maria tengah duduk termenung di dekat jendela kamar, satu nomor manis dilantunkan. Belum sempat kita menikmati lagunya (hanya beberapa bait) mendadak lagu dipotong oleh dialog Maria dan ibunya. Volume lagu diturunkan hingga lagu terdengar hanya sayub-sayub. Lantas untuk apa lagunya dilantunkan?
Terlepas dari beberapa kelemahan di atas terdapat satu momen yang berkesan dalam filmnya, yakni ketika Aisyah membuka cadarnya dihadapan calon suaminya pada saat taaruf. Entah mungkin seperti penggambaran dalam novelnya, namun sineas cukup cerdik untuk tidak memperlihatkan wajah Aisyah saat ia membuka cadarnya. Momen berkesan juga didapat saat pernikahan Fahri dan Aisyah yang dipotong dengan beberapa shot Nurul dan Maria. Serangkaian shot tersebut memperlihatkan dua situasi yang kontradiktif. Di satu sisi, Fahri dan Aisyah yang tersenyum bahagia, di sisi lain, Nurul yang menangis karena kehilangan tambatan hatinya serta Maria yang tengah merindukan idaman hatinya.
Himawan Pratista
Adapun kelemahan yang mendasar dalam film ini tampak pada tempo plotnya yang cepat. Satu peristiwa belum dijelaskan secara jelas sudah muncul peristiwa lainnya. Masalah keseharian kuliah di awal kisah beralih ke masalah isu perkawinan dan selang beberapa menit masalah tersebut terjawab dengan munculnya sosok Aisyah. Tak seberapa lama Fahri pun menikahi Aisyah. Sebelumnya Fahri sempat menolong Noura, tetangganya yang selalu disiksa majikannya hingga ia dipertemukan dengan orang tua kandungnya. Masalah sebenarnya baru muncul ketika Fahri dituduh memperkosa Noura hingga ia ditahan polisi dan berlanjut hingga masa persidangan. Sineas menggunakan teknik kilas-balik untuk menjelaskan latar-belakang cerita namun tetap saja motifnya masih lemah.
Karakter Fahri menjadi kunci dari semua masalah. Fahri memberi kesan sebagai sosok laki-laki yang digandrungi para wanita karena tampan, taat, jujur, rendah hati, cerdas, supel, serta berani, namun di dalam film penggambaran karakter ini masih terlalu minim. Penokohan Fahri dalam plot sebenarnya sangat fundamental karena inti motivasi penggerak cerita seluruhnya bermula di sini. Bayangkan, Noura sampai bersusah payah memfitnah Fahri untuk menimbulkan segala masalah hingga sang lelaki terancam hukuman mati hanya karena cintanya ditolak. Siapa sih Fahri? Kenapa ia begitu digandrungi kaum hawa hingga gadis seperti Noura tega melakukan itu semua? Apa yang membuat Fahri begitu istimewa? Entah bisa jadi karena sosok aktornya, sosok Fahri justru tampak begitu rapuh dan kurang percaya diri ketika ia menghadapi masalah.
Satu lagi kelemahan film ini adalah memiliki permasalahan cerita yang terlampau banyak sehingga cukup untuk dibuat dalam dua film. Cerita film sepertinya akan berakhir setelah adegan klimaks pada akhir persidangan dari keseluruhan masa sidang yang begitu melelahkan. Namun cerita ternyata masih berlanjut (??). Cerita lalu berkembang menggambarkan keseharian Fahri bersama dua istrinya yang cantik-cantik, Maria dan Aisyah. Fahri menghadapi konflik baru dimana ia harus membagi waktu dengan kedua istrinya yang selalu meminta perhatian darinya. Aisyah yang tengah hamil muda akhirnya memilih (mengalah) untuk pergi dari rumahnya dengan alasan membutuhkan waktu untuk bisa memahami ini semua. Aneh bukan?
Bagaimana mungkin setelah mengalami semua peristiwa “maha hebat” sebelumnya (menyangkut hidup dan mati) Fahri tidak bisa mengatasi konflik yang demikian “sepele”? Bukankah Fahri mestinya sudah jauh lebih dewasa (bijak) dan ikhlas? Untuk apa Aisyah bersusah payah membantu “menghidupkan” Maria jika nantinya ia hanya iri melihat Maria berduaan dengan Fahri? Bukankah ketika Aisyah “memaksa” Fahri menikahi Maria mestinya ia telah ikhlas? Entahlah... mungkin Fahri dan Aisyah hanyalah manusia biasa yang masih terbelenggu ego. Namun ini semua menyebabkan masa-masa penderitaan yang dialami Fahri, Aisyah, maupun Maria sebelumnya menjadi sia-sia belaka.
Problem Sinematik
Penggunaan bahasa arab (dengan teks terjemahan) dalam dialog rupanya hanya digunakan sebagai pembuka kalimat saja karena setelahnya dialog diubah menjadi bahasa Indonesia, sekalipun karakter seperti Maria adalah orang Mesir. Penggunaan bahasa Indonesia membuat dialog menjadi agak janggal karena kesannya film ini menjadi tak ubahnya film remaja kita pada umumnya. Terlebih lagi dialeknya juga cenderung memakai dialek “gaul” seperti terlihat jelas di awal film. Pada sebuah adegan di rumah sakit ketika Maria tengah koma, terlihat begitu janggal ketika seorang suster mengucapkan dialog dalam bahasa Indonesia. Patut kita hargai usaha sang sineas dalam mengatasi kendala bahasa bicara, namun teknik transisi bahasa seperti ini rasanya masih kurang mengena. Mungkin idealnya film ini harus memakai bahasa aslinya tapi sepertinya juga sulit jika seluruh dialog menggunakan bahasa Arab.
Kelemahan juga tampak pada keterbatasan setting cerita terutama untuk latar outdoor. Sineas sepertinya telah berusaha keras menyiasati keterbatasan tersebut dengan banyak menggunakan setting indoor, namun tetap saja hasilnya kurang meyakinkan. Suasana kota Kairo plus sungai Nil yang menjadi latar cerita hampir sama sekali tidak tampak, suasana latar cerita malah terlihat seperti suasana di wilayah desa/pinggiran. Suasana kampus Al-Azhar juga terasa begitu sepi serta kurang megah (Apa suasananya memang seperti itu?). Penggunaan rekayasa komputer (CGI) pada film-film kita rasanya masih berlebihan namun penambahan satu shot saja yakni, suasana eksterior bangunan kampus Al-Azhar serta suasana kota Kairo dan sungai Nil (aslinya) sepertinya sudah cukup membantu. Seperti di awal pembuka film, sebuah shot piramid besar sudah cukup untuk menjelaskan jika lokasi cerita berada di Mesir.
Sudah tidak diragukan lagu Ayat-Ayat Cinta (sudah populer jauh sebelum filmnya dirilis) yang dilantunkan begitu manis oleh Rosa menjadi salah satu kunci kekuatan filmnya. Lagu ini digunakan beberapa-kali untuk mengiringi beberapa adegannya. Pada momen saat Aisyah membuka cadarnya saat taaruf, iringan lagu ini begitu kuat dalam mendukung mood adegannya. Namun sayang, beberapa nomor lagu yang ditampilkan justru malah sia-sia karena terganggu suara dialog. Pada adegan saat Maria tengah duduk termenung di dekat jendela kamar, satu nomor manis dilantunkan. Belum sempat kita menikmati lagunya (hanya beberapa bait) mendadak lagu dipotong oleh dialog Maria dan ibunya. Volume lagu diturunkan hingga lagu terdengar hanya sayub-sayub. Lantas untuk apa lagunya dilantunkan?
Terlepas dari beberapa kelemahan di atas terdapat satu momen yang berkesan dalam filmnya, yakni ketika Aisyah membuka cadarnya dihadapan calon suaminya pada saat taaruf. Entah mungkin seperti penggambaran dalam novelnya, namun sineas cukup cerdik untuk tidak memperlihatkan wajah Aisyah saat ia membuka cadarnya. Momen berkesan juga didapat saat pernikahan Fahri dan Aisyah yang dipotong dengan beberapa shot Nurul dan Maria. Serangkaian shot tersebut memperlihatkan dua situasi yang kontradiktif. Di satu sisi, Fahri dan Aisyah yang tersenyum bahagia, di sisi lain, Nurul yang menangis karena kehilangan tambatan hatinya serta Maria yang tengah merindukan idaman hatinya.
Himawan Pratista
No comments:
Post a Comment