Beberapa waktu yang lalu ketika saya dan Irene, rekan seperjalanan, dari kota Frankfurt menginjakkan kaki di Koln, kota terbesar ke empat di negara Jerman, kami sempatkan menikmati keindahan senja dengan berjalan kaki di pingiran sungai Rhine. Sesekali kami memasuki hutan kecil, berjalan mendaki menuju sebuah kastil tua. Semburat kuning matahari yang mulai tenggelam di belakang kastil, memberikan kesan megah sekaligus suram, mengingatkan saya pada kastil Dracula dalam film karya Copolla, salah satu master piece yang saya gemari. Film yang memadukan unsur ketegangan dengan estetik yang memukau, atmosfer yang terbangun di dalamnya benar-benar luar biasa, bahkan untuk ditonton di berbagai negara sekalipun. Mengapa saya katakan demikian? Film horror yang dibuat di berbagai negara tentunya memiliki standar khusus yang mengacu pada urban atau folk legend negara yang bersangkutan. Sebutlah film kita yang mengangkat horor pocong, bagi penonton di Indonesia hal ini akan memberikan nuansa seram mengingat pocong adalah folk legend yang mengakar dalam budaya kita. Namun demikian akan berbeda jika film pocong ditayangkan di negara lain (khususnya negara barat), film ini tidak akan mendapatkan chemistry menakutkan yang serupa.
Satu persatu nyala obor menerangi dinding-dinding selasar kastil, malam benar-benar menyelimuti kota itu pada pukul 21.00. Agak terlambat memang, mengingat saat itu musim semi. Bau lumut memenuhi panca indra, sambutan hangat kakek tua penjaga kastil yang uniknya memakai busana kain kasar dan keras khas hobbit, wajar saja jika mengingatkan saya dengan keraton yogya beserta abdi dalemnya yang memakai pakaian adat jawa. Semuanya itu menambah eksotika tempat itu. Kami berjalan menaiki anak tangga menuju balkon atas, pemandangan di tempat ini tepat menghadap sungai Rhine, yang sesekali dilewati kapal pesiar wisata. Irene yang seorang mahasiswi fine art mengeluarkan scetch book dan mulai menggambar beberapa interior dalam kastil itu. Saya yang berjarak beberapa meter darinya dapat merasakan atmosfer yang menyeramkan di ruangan balkon ini, yang menurut doktrin budaya saya kemungkinan akan muncul sejenis kuntilanak dari rerimbunan pohon hutan kecil di bawah sana, sedangkan Irene tampak tak perduli sedikitpun. Ia justru mencoba menangkap keindahan kastil itu untuk dipindahkan dalam guratan scetch book-nya.
Freethinker dan Atheis, ucap Irene mengenai apa yang dipahaminya, suatu paham yang menurutnya menuntut logika dan empirism. Jangankan untuk mempercayai hantu, untuk mempercayai agama pun ia masih belum bisa menerima. Saran saya jika bertemu orang semacam ini lebih baik jangan diajak berdebat (jika kita tidak capable untuk itu), cukup tanyakan pendapatnya, dan Anda mungkin akan terpukau dengan jawabannya. Saya sebagai mahasiswa film sering ditanya pendapatnya tentang film asia yang banyak memakai adegan trance (kesurupan). Cerita film yang kebanyakan memakai adegan tersebut terjadi karena adanya hubungan orang yang sudah meninggal dengan yang dirasukinya untuk menyampaikan sesuatu. Jawaban saya mengacu pada film horor Asia yang sudah saya tonton.
Namun bukankah mereka mempercayai surga dan neraka? Mengapa tidak berhubungan dengan apa yang ditampilkan? Bukankah film merupakan representasi budaya suatu negara? Tanya gadis tersebut masih tak lepas dari keseriusannya menggambar.
Saya mencoba bertanya pada Irene tentang kehidupan setelah kematian walaupun dia tidak mempercayai surga dan neraka (apalagi hantu). Ia hanya mengangkat bahunya.
“Mengapa tidak mencari tahu?”
Gadis itu menoleh pada saya sekilas,
“Kematian akan datang, toh nanti saya juga akan tahu? Bukan begitu?”
Angin lembab berhembus semilir, percakapan kami terhenti begitu beberapa rombongan turis tampak berdatangan. Kami memutuskan untuk pulang, dan sekali lagi menuruni tanah landai memasuki hutan kecil. Senyap. Hanya bunyi injakan ranting patah dan suara-suara insect hutan yang menemani.
“Kamu tahu mengapa film Dracula-nya Copolla begitu digemari? Kekuatan film-nya bukan sekedar pada jalinan cerita belaka, tapi menciptakan mise en scene hasil olahan imajinasi Copolla dan team yang sangat mengesankan. Ini bahkan seperti membuat imajinasi akan adanya surga dan neraka, kamu mengerti kan makna pencapaiannya? Film Asia yang memiliki keseragaman substansi, yang hanya mengandalkan fisik arwah untuk menakuti, banyak mengesampingkan teror psikologi sinematik yang menjadi unsur utamanya. Apalagi jika kuantitas produksi film horor tersebut meningkat, dan tetap mengandalkan arwah (hantu) sebagai “amunisi” ketegangan, maka kamu bisa memakai ukuran itu untuk mencari tahu apakah film di negara Anda mengalami “pembodohan” atau tidak, ” ucapnya penuh maksud.
Andrei Budiman
No comments:
Post a Comment