Tiga Kisah dalam Satu “Pohon”
Setelah sukses dengan Opera Jawa, kali ini sineas kawakan kita, Garin Nugroho memunculkan karya terbarunya yang baru saja rilis di bioskop, yakni Under The Tree. Mengekor film-film Garin lainnya, film ini juga sukses diputar di beberapa ajang festival Internasional, seperti di London, Tokyo, hingga Toronto dan banyak dipuji pengamat disana. Entah mengapa, film-film Garin tak banyak diminati oleh penonton kita. Di bioskop Jogjakarta misalnya, film ini hanya bertahan beberapa hari saja dan itu pun sepi penonton.
Dalam film ini terdapat tiga plot utama mengisahkan tiga orang wanita. Maharani (Marcella Zalianty) adalah seorang gadis Jakarta yang datang ke Bali untuk mencari asal-usulnya (ibu kandungnya). Atas petunjuk “orang pintar”, Maharani pergi ke sebuah desa dan bertemu dengan Kaler, seorang laki-laki pengajar tari. Di tengah konflik batinnya, Maharani justru terjebak di tengah percekcokan Kaler dan istrinya, serta hubungan gelapnya dengan putra Kaler (Dwi Sasono). Sementara Dewi (Ayu Laksmi) adalah seorang ibu muda yang tengah hamil. Anak dalam kandungan Dewi divonis menderita penyakit yang menyebabkan si janin cacat, dan jika lahir sekalipun tak akan hidup lama. Dewi memiliki dua pilihan, yakni menggugurkan kandungannya atau melahirkan. Terakhir, Nian (Nadia Shapira) adalah seorang aktris muda ternama yang tengah berlibur dan menenangkan diri di Bali karena cekcok dengan ayahnya. Nian yang kehilangan sosok ayahnya mendapatkan figur pengganti yaitu, Darma seorang pelukis tua. Nian selalu mengikuti kemana pun Darma pergi sekalipun sang seniman merasa terusik.
Film ini dibagi menjadi tiga segmen, yakni Tiga Benih, Benih Terjatuh, dan Berbunga. “Benih” mengacu pada tiga karakter utamanya. Kisah Maharani, Dewi, dan Nian disajikan secara urut dan bergantian dalam porsi seimbang. Inti cerita sejatinya mengisahkan ikatan batin antara orang tua dengan anak. Maharani merasa “dibuang” oleh ibunya. Dewi frustasi dengan janinnya. Nian mencari figur pengganti ayahnya, karena sang ayah tak bisa menjadi panutan. Seperti film-film sang sineas lazimnya, Garin seringkali mengekspresikan ide dan gagasannya melalui simbol. Simbol umumnya berkait erat dengan kondisi mental dan fisik tokohnya. Dalam segmen Maharani terdapat sebuah tarian yang memperlihatkan seorang karakter penari yang membuang bayinya. Dalam segmen lain terlihat saat Dewi mengupas, meremas, dan memakan kuning telur, ia melantunkan sebuah tembang tentang kehidupan dan kematian. Telur merupakan simbol janinnya. Ketika Nian melihat ayahnya tertangkap karena korupsi, sang gadis menutupi rasa malu dan sedihnya dengan menutupi wajahnya dengan kardus.
Film ini begitu kental dengan nuansa budaya Bali. Dialog filmnya didominasi oleh bahasa Bali. Setting yang mengambil lokasi langsung di Bali turut memperkuat suasana magis filmnya. Film sarat dengan ritual, tari, serta keseharian masyarakat Bali yang religius. Agar lebih meyakinkan, sineas beberapa-kali menggunakan cuplikan rekaman upacara adat sesungguhnya. Gaya sang sineas yang lebih menekankan pada bahasa gambar masih dominan melalui teknik-teknik seperti, close-up, long take, serta minim penggunaan dialog. Teknik handheld camera (walau kadang terlihat kasar) juga cukup pas menggambarkan suasana batin tiap karakternya yang tidak stabil. Garin juga mampu membangkitkan potensi akting para pemainnya, sekalipun beberapa diantara mereka pemain amatir. Penampilan Ayu Laksmi tercatat adalah yang paling menonjol diantara ketiganya. Garin seperti biasa juga menyinggung masalah-masalah sosial di negeri ini, seperti aborsi, korupsi, hingga perdagangan anak. Sebagai penutup, sang sineas masih konsisten dengan gayanya baik secara tema maupun teknis. Sekalipun film ini dianggap terlalu kompleks, rumit, atau abstrak oleh penonton awam namun inilah kelebihan sang sineas.
Agustinus Dwi Nugroho
No comments:
Post a Comment