The Maltese Falcon (1941) banyak dianggap pengamat sebagai titik lahirnya film noir. Lebih dari itu film ini juga menjadi standar bagi film detektif swasta kelak. Film ini sukses mendapatkan tiga nominasi Oscar termasuk film terbaik dan naskah terbaik. Film ini juga kerap kali dinilai sebagai salah satu film terbaik produksi Hollywood. Falcon dianggap sebagai pembuka jalan (pelopor) karena dinilai telah menggunakan seluruh elemen yang menjadi ciri film noir. Tulisan ini membahas sejauh mana karakteristik tema dan estetik film noir digunakan dalam The Maltese Falcon.
The Maltese Falcon merupakan debut karir sutradara John Huston yang diadaptasi dari novel detektif berjudul sama karya Dashiell Hammet. Film produksi Warner Brothers ini dibintangi secara menawan oleh Humprey Bogart, Mary Astor, Sidney Greenstreet, serta Peter Lorre. Kisah film ini pada awalnya tampak begitu sederhana. Seorang wanita cantik bernama Mrs. Wonderly (Astor) datang ke kantor detektif swasta, Spade & Archer. Sang wanita menuturkan masalahnya pada Sam Spade (Bogart) dan meminta pertolongan untuk mencari adiknya yang mengaku dibawa seorang bernama Flyod Thurbsy. Spade menerima kasus tersebut dan sang partner, Miles Archer menjalankan tugasnya. Pada titik inilah cerita berkembang semakin rumit. Malamnya, Archer tewas tertembak dan juga tak lama diikuti Thursby. Polisi malah menuduh Spade membunuh Thursby karena ingin membalas dendam partnernya. Spade lalu mengetahui jika kliennya ternyata berbohong tentang adiknya dan nama asli sang wanita ternyata adalah Brigid O'Shaughnessy. Belum selesai masalah, Spade bertemu dengan seseorang bernama Joel Cairo (Lorre) yang memaksanya untuk menyerahkan sebuah patung yang ia pikir ada pada Spade. Belakangan Spade mengetahui jika Brigid, Cairo, dan seorang pria misterius bernama Kasper Gutman (Greenstreet) adalah sekawanan gembong internasional yang menginginkan sebuah patung bernilai tinggi berbentuk burung Falcon.
Sesuai dengan mood kisahnya yang gelap dan misterius. Kisah film sebagian besar mengambil setting indoor dengan tata cahaya yang minim. Nyaris semua ruangan seperti, kantor serta apartemen Spade, Brigid dan Kasper hanya menggunakan cahaya lampu meja atau tembok. Setting eksterior tampak pada beberapa adegan saja dan selalu diambil pada malam hari dengan tata cahaya yang suram pula. Hampir semua adegan menggunakan arah kamera low-angle (dari arah bawah) dan beberapa adegan kerap kali menggunakan teknik deep focus. Pengunaan efek bayangan begitu mengesankan tercatat pada adegan awal serta shot penutup film.
Sesuai dengan mood kisahnya yang gelap dan misterius. Kisah film sebagian besar mengambil setting indoor dengan tata cahaya yang minim. Nyaris semua ruangan seperti, kantor serta apartemen Spade, Brigid dan Kasper hanya menggunakan cahaya lampu meja atau tembok. Setting eksterior tampak pada beberapa adegan saja dan selalu diambil pada malam hari dengan tata cahaya yang suram pula. Hampir semua adegan menggunakan arah kamera low-angle (dari arah bawah) dan beberapa adegan kerap kali menggunakan teknik deep focus. Pengunaan efek bayangan begitu mengesankan tercatat pada adegan awal serta shot penutup film.
Mood setting yang suram hanya merupakan pendukung semata sementara kunci kekuatan film ini sebenarnya ada pada akting para pemainnya. Bogart bermain brilian sebagai Sam Spade yang berwatak keras, sensitif, cerdas sekaligus sulit ditebak. Sementara Astor bermain menawan sebagai femme fatale yang licik, manipulatif serta cenderung ingin memanfaatkan Spade. Aktor gaek debutan, Greenstreet bermain dingin sebagai fat-man dan akting primanya membawanya meraih nominasi Oscar untuk aktor pembantu terbaik. Alur cerita yang sulit ditebak semakin lengkap dengan penutup yang non happy ending (?). Tak jelas apakah Spade benar-benar menyukai Brigid. Di akhir film, Spade ditanya sang inspektur perihal patung falcon (palsu) yang ada di mejanya, “It’s heavy… what is it?”. Spade menjawab, “ The stuff that dream are made off”.
Himawan Pratista
Himawan Pratista
No comments:
Post a Comment