Menilai sebuah film sebagai film yang bagus bukan hal yang mudah, walau sudah jamak frasa ini diucapkan atau ditulis dalam sebuah kritik film atau sekedar resensi. Seseorang bisa berkata bahwa film Opera Jawa itu bagus sedangkan seorang yang lain malah berkata sebaliknya.
Film seperti L’avventura atau The Rules of the Game pada awal pemunculannya dicemooh oleh penonton namun bertahun-tahun kemudian film tersebut mendapat apresiasi yang luar biasa. Sepertinya sebuah film dikategorikan bagus semata hanyalah penilaian subyektifitas. Apakah memang demikian? Apa benar subyektifitaslah sebagai pemegang otoritas nilai? Seperti yang pernah diucapkan oleh chief editor sebuah majalah film beroplah besar di Indonesia, menurutnya kritik film yang disampaikan majalah mereka merupakan sebuah penilaian olah subyektif, masing-masing memiliki penilaian sendiri sehingga pembaca jangan sampai terlalu bersandar pada penilaian mereka tapi hanya sebagai panduan saja.
Pernyataan chief editor di atas bagi saya adalah sebuah penghinaan pada karya seni film, sekaligus memperlihatkan kapasitas tim redaksi majalah itu sendiri. Subyektifitas sebagai apologi yang konyol.
Dalam suara Barthes pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dibahasakan seperti ini : sutradara (auteur) telah mati setelah karya selesai. Tapi apakah dengan demikian maksud Barthes adalah pembaca (penonton) boleh semena-semena dalam mengkritisi sebuah karya film?
Film sebenarnya seni yang dinamis karena mempunyai alat kreasi yang beragam. Ada yang termasuk di dalam formnya dan ada juga yang termasuk dalam style. Dengan demikian film memiliki standar dan karakter yang dapat dinilai secara obyektif dan bisa dipertanggung jawabkan.
Contoh menarik tentang subyektifitas ada dalam film Blow Up karya Michelangelo Antonioni, yaitu ketika kenyataan (realitas) dihadapkan dengan penilaian subyektif. Si tokoh utama yang tak bernama itu meyakini bahwa dirinya telah melihat pembunuhan lewat foto. Si tokoh utama bahkan kembali ke tempat kejadian untuk meyakinkan dirinya bahwa di tempat itu benar terjadi pembunuhan, dan dia menemukan mayat di taman itu. Tapi anehnya dia masih membutuhkan temannya untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa pembunuhan itu terjadi. Sampai akhirnya dia kembali lagi ke taman itu dan tidak menemukan mayatnya. Si tokoh utama malah bertemu dengan kelompok anarkis yang sedang bermain tenis lapangan tanpa bola dan raket (atau dengan bola dan raket?). Pertemuan itu menjadi kunci pemahaman film Blow Up. Si tokoh utama mengalami pencerahan. Jelas bahwa realitas tidak terdapat di pundak individu. Realitas membutuhkan afirmasi, karenanya dia tidak bisa subyektif. Realitas butuh ukuran komunitas.
Blow Up di sini juga memperlihatkan bahwa film dapat berkomunikasi dengan penonton dan bukannya sebaliknya, penonton sebagai dokter bedah yang bisa berlaku sewenang-wenang terhadap film. Seolah film adalah karya yang pasif, yang menyerah di mata penoton. Blow Up secara konsisten mengkomunikasikan idenya baik lewat form maupun style.
Melalui ukuran obyektif dalam menilai sebuah film, bukannya tidak mungkin akan terjadi perbedaan. Perbedaan penilaian itu pasti terjadi. Namun karena obyektifitas adalah sesuatu yang bisa diukur, maka masing-masing bisa ikut mengukurnya dan dengan lantang bisa menantang bahwa film itu bagus atau buruk. Obyektifitas merupakan ring tinju yang kedua petinjunya bertarung dengan aturan yang sama.
Sebaliknya seruan subyektifitas tanpa disadari telah berperan dalam pembodohan masyarakat, sehingga film punjabian merajalela. Penonton diserang tanpa punya pertahanan. Film buruk kembali diproduksi dan penonton seolah tidak bisa berkata tidak. Disinilah kritikus film berperan untuk mengkritisi film secara obyektif karena siapa tahu ini merupakan sebuah langkah lain untuk menghasilkan film bagus di Indonesia.
Homer Harianja
No comments:
Post a Comment