Ketika saya melanjutkan perjalanan backpacker menuju ke bagian timur negara Perancis, tepatnya di kota Annecy, region dari Rhone Alpes. Dalam sebuah mobil tua Pugeot warna biru usang yang berhasil saya tumpangi dari kota Lyon (baca: ngoboy), dengan seorang pria separuh baya berumur 40 an dan seorang anaknya Jean yang berusia 15 tahun. Sepanjang perjalanan perhatian saya tak lepas dari keingintahuan saya akan novel yang dibaca Jean, yang lama terpekur menghayati kedalaman ceritanya. Les Trois Mousquetaires judulnya, karya Alexandre Dumas atau lebih dikenal dengan sebutan The Three Musketeers, yang pada tahun 1993 diangkat dalam sebuah Film dengan hasil yang sungguh mengecewakan. Pria separuh baya yang duduk di belakang kemudi itu juga sependapat dengan saya, sebagai pecinta D'Artagnan Romances ia kecewa sekali ketika usai menonton film tersebut, banyak sekali plot cerita yang berubah, contohnya tak ada misi D'Artagnan ke Inggris yang merupakan bagian penting dari novel itu.
Saya mencoba mengamati tentang apa yang dinamakan dengan adaptasi novel atas film.Entah berapa novel yang telah diadaptasi menjadi Film, sebutlah karya Mario Puzo dengan Godfather 1, 2, 3-nya, Ernest Hemingway dengan The Old Man and the Sea-nya, sampai Tolkien dengan trilogi Lord of the Ring.
Mencermati proses ekranisasi tersebut sungguhlah bukan pekerjaan yang mudah, ketika novel sebagai “dunia kata” yang diinterpretasikan dalam khayalan pembaca, ditransformasikan menjadi media audio visual yang dibangun oleh para pekerja film yang juga memiliki interpretasi sendiri. Disinilah kepiawaian pekerja film diuji. Karena secara harafiah, konteks yang diimajikan pada tataran film tentu tidak akan berbeda jauh dengan imaji sang penulis novel itu sendiri, para pekerja film akan berada pada sekat ruang berekpresi sehingga terjadilah apa yang dinamakan block creativity. Disinilah para pekerja film dituntut untuk lebih mengekplorasi kedalaman novel yang berlapis-lapis sehingga dapat mencapai tingkatan filmis yang mencitra tinggi.
Tidak heran bila J. K. Rowling pernah mengatakan tidak akan menjual hak patennya novelnya untuk dijadikan sebuah film, mengingat hal tersebut di atas. Dalam sejarah sinema Indonesia banyak mencatat karya novel yang difilmkan, sebutlah karya Achdiat Kartamihardja dengan Atheis, ataupun Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis oleh Ahmad Tohari.
Pada masa kebangkitan sinema Indonesia, diawali oleh novel karya Remy syladoy yang berjudul Ca Bau Kan, juga tak lepas diadaptasi oleh sineas Nia Dinata. Kini kecenderungan mengadaptasi novel ke dalam sinema sungguh-sungguh mengalami peningkatan intensitas. Sayang kecenderungan membuat film yang berdasarkan novel tersebut hanya berdasar pada permintaan pasar semata sehingga tidak memperhatikan kualitas. Dalam hal ini kita dapat melihat kecenderungan tersebut melalui beberapa aspek:
a. Film tersebut dibuat berdasarkan novel yang terjual laris (best seller), yang diharapkan dapat ikut memacu apresiasi film tersebut, contohnya: Eifel I’m in Love diangkat dari novel karya Rahma Arunita yang filmnya mampu menyedot penonton terbanyak yaitu 4 juta penonton, akhirnya budaya latah pun terjadi, para pekerja film berduyun-duyun mengekranisasi novel-novel, khususnya novel remaja, yang pada akhirnya memasifkan sinema pada konten yang serupa.
b. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan pekerja film kita, betapa sulitnya mencari naskah-naskah yang baik untuk menghasilkan kualitas film yang baik pula, tidak heran jika film berkelas festival jarang sekali lahir dari tangan sineas kita karena minimnya kreator-kreator naskah yang handal. Sementara pasar menginginkan karya-karya tanah air. Akhirnya produser film memilih jalan aman demi memenuhi tuntutan pasar (baca: mengeruk keuntungan) dengan jalan mengekranisasi novel-novel remaja.
Dalam poin awal (1) sudah menjadi hal yang biasa, bahkan di Hollywood sekalipun novel laris seringkali diangkat dalam sebuah film. Tak jarang dalam prosesnya mengalami banyak kegagalan visualisasi yang tak serupa atau melebihi imajinasi kata dalam novelnya. Sebutlah The Da Vinci Code, tahun lalu dalam Cannes Film Festival dimana film yang diangkat dari novel laris karya Dan Brown tersebut, yang didaulat sebagai film screening opening banyak mendapat cemooh para penontonnya, itu yang saya dengar dari panitia perhelatan tersebut. Disinilah pembuatan film berdasar atas novel laris acapkali bagai pedang dengan sisi tajam bermata dua.
Saya sedikit was-was bercampur gembira ketika mendengar novel favorit saya, Laskar Pelangi akan segera difilmkan oleh Riri Riza dalam bendera Miles Production berkerja sama dengan penerbit Mizan. Novel pertama dalam tetralogi Andrea Hirata tersebut memiliki pendekatan yang bertabur metafora yang cerdas, saya penasaran pendekatan visualisasi apa yang akan dipakai nanti? Novel fenomenal lainnya yang dalam waktu dekat akan difilmkan adalah Ayat-Ayat Cinta yang akan dibesut oleh sutradara Hanung Bramantyo.
Sedang dalam poin ke dua saya melihat kecenderungan yang terjadi dalam sinema kita yang mengadaptasi novel ke dalam film tak lepas dari minimnya kreator skenario yang handal. Memang tidak ada yang salah dalam proses sebuah adaptasi dalam sinema kita, hanya saja permasalahannya novel tersebut memiliki karakteristik yang serupa dengan kebanyakan novel-novel cinta remaja (baca: teenlit) padahal mutu novel-novel kita juga tak kalah mentereng, sebutlah Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer atau Saman karya Ayu Utami, yang entah sudah berapa kali naik cetak. Jika berbicara tentang masalah pasar dan strategi-strateginya dalam dunia bisnis tentulah pertaruhan yang berat dalam adaptasi novel tersebut, selain segmented juga perlu kalkulasi royalti penulis atas hak kekayaan dan intelektual mereka yang harus dikeluakan, sayangnya produser kita belum berani berada pada pertaruhan itu karena mereka punya “Tuhan” yang bernama Cash Flow.
Tak terasa perjalanan saya berakhir, saya menginjakkan kaki di kota indah di selatan Perancis. Kota yang dikelilingi pegunungan dan danau jernih di tengah kota, kala itu matahari yang hampir jatuh di balik gunung masih memantulkan cahaya-cahaya kristal ke danau Lac d’ Annecy. Angin lembab yang bertiup menambah keanggunan wanita setengah baya dengan anjing Golden Retriever-nya duduk di bangku pinggir danau, seolah bercakap sarat makna. Nah, adakah yang mampu memfilmiskan memvisualisasikan keindahan di mata saya?
Andrei Budiman
apa bisa minta dituliskan tentang bisa tidaknya menjual sebuah naskah atau karya pada sineas perfileman?
ReplyDelete