Sinema dokumenter kerap diperlawankan dengan sinema fiktif, tersebab ambisinya yang ingin menghadirkan realita tanpa tipu-daya. Setiap citra optik maupun akustik yang muncul di depan kamera dikekalkan hadirnya. Demikian ini turut memberikan anggapan: tiadanya campur tangan sineas untuk membangun realita ke dalam sebuah cerita. Daya ungkapnya menyaran pengungkapan sesuatu sebagaimana rupanya, “les choses telles qu’elles sont” atau “cinéma verité”, atau sinema yang sebenarnya.
Sebagai suatu yang nonfiktif, hakikat sinema dokumenter bersifat hablur manakala seseorang membandingkannya dengan dokumentasi dalam bentuk reportase à la televisi. Kenyataan ini turut menjauhkan posisinya yang nonfiksi dari sinema fiksi. Guna menepis pandangan tersebut kemudian diyakini: keduanya disandingkan sebagai ekspresi seni yang menyaran adanya kode naratif yang spesifik, bukan sekedar sekumpulan informasi. Melalui tangan sineas, obyek tangkapan kamera tidak mesti suatu materi terpilih. Ia berbentuk apa saja dan berasal bukan dari dirinya.
Pelbagai obyek yang tertangkap oleh kamera kemudian direkonstruksi untuk membangun sebuah cerita. Terkadang obyek yang dihadirkannya pun merupakan suatu yang biasa, seperti dalam “Les Glaneurs et la Glaneuse” (2000) besutan Agnes Varda. Obyek perhatiannya tidak memenuhi standar estetik galibnya: para pengais sisa palawija usai panen, pengais sisa makanan di tempat sampah dan seniman yang memanfaatkan sampah sebagai medium ekspresinya. Tentu saja pemilihan obyek tersebut tidak menyaran apa yang menjadi perhatian orang banyak; namun bagaimana memerlakukan obyek yang tidak berharga tersebut dapat diringkus ke dalam sebuah cerita.
Realita yang ditangkap oleh Varda hanyalah seklumit cerita yang ingin ia hadirkan selama dalam perjalanannya mengunjungi kota-kota di Prancis. Realita yang terekam tersebut kemudian disunting sedemikian rupa. Sesuatu yang remeh pun bisa juga mengisi ruang kosong cerita. Goyangan tali kamera yang tidak sengaja tertangkap oleh Varda bisa pula dimampatkan ke dalam cerita.
Perjalanan Timothy Treadwell yang terangkum dalam “Grizzly Man” (2005) awalnya cuma kisahnya mengarungi alam liar Alaska. Sampai dia dan teman wanitanya tewas tercabik oleh cakar tajam beruang Grizzly, sekumpulan informasi tersebut kemudian disusun oleh Herzog sebagai dokumentasi yang berharga. Herzog karuan tidak turun terlibat sebagai pengarah adegan atau penyusun skenarionya. Perannya di situ cuma mereka ulang apa yang didapat oleh Treadwell selama 5 tahun menjelajahi Alaska lewat 100 jam dokumen-gambar yang dibuatnya. Herzog kemudian menyunting dokumen tersebut menjadi sebuah struktur yang baru. Saksi hidup juga ia tampilkan untuk menyambung struktur yang terputus, baik dari sanak-familinya, pilot heli yang kerap mengantarnya, sampai dokter yang melakukan visum atas diri Treadwell. Herzog barangkali sadar: sinema dokumenter tidak terlahir dari rencana matang. Ia bisa dibikin dari dokumen-gambar milik orang lain yang tidak pernah ia kenal sebelumnya juga dari pelihatan singkat Varda selama perjalanannya. Dan mereka ingin mengabadikannya.
Sinema dokumenter terbangun dari anggapan awal untuk menghadirkan realita sebagaimana rupanya; namun hal ini kemudian bersifat cair sewaktu realita dan fiksi bergabung membentuk struktur baru dalam “Hiroshima Mon Amour” (1959), besutan Alain Resnais. Keduanya hadir seolah tidak menyisakan ruang kosong untuk bisa dibedakan secara terang. Kilas balik yang digunakan Resnais dalam penceritaan menyaran kilatan ingatan atas peristiwa yang menewaskan ratusan ribu orang itu; dengan memadukan antara fiksi dan realita. Tidak pelak teknik Resnais ini untuk menyuguhkan kedua hal yang berlawanan tadi menyaran sebentuk isyarat untuk berjarak terhadap realita yang terserak di depan kamera: antara kehancuran Hiroshima pascaperang Dunia II dan beban psikologis orang-orang yang mengalaminya, terwakilkan oleh potret buram para korban. Penceritaan kemudian beralih pada percintaan sepasang sejoli yang sedang kasmaran. Kombinasi demikian turut menggulirkan pertanyaan sewaktu suatu yang bersifat universal (penderitaan) bercampur dengan suatu yang partikular (percintaan).
Untuk yang kesekian kali Resnais berkesempatan mengadaptasi novel bergenre “nouveau roman”, karya Marguerite Duras yang bertajuk sama. Yang dibincangkan kemudian tidak menyaran proses adaptasi dari teks ke citra; namun hanya sedikit struktur metabahasa yang akan dicerabut perlahan, melalui hadirnya tokoh yang anonim “Elle” (dia, persona kedua wanita-tunggal) dan “Lui” (dia, persona kedua pria-tunggal) dan ruang intim (kamar) sebagai manifestasi dari sikap keberjarakan.
Tokoh anonim “Elle” dan “Lui” secara tidak langsung bermakna ia-dan-bukan-ia. Persona tersebut bisa menunjuk siapa saja. “Elle” memang seorang perawat asal Navers, Prancis yang diperbantukan pascaperang dan “Lui” seorang Jepang yang kemudian jatuh cinta kepadanya, “Elle”. Tokoh anonim tadi seakan menetap dalam narasi untuk sekedar menunjuk sepenggal drama eksistensial manusia sewaktu berhadapan dengan derita yang tidak bernama. Ia bisa menimpa siapa saja. Kehadiran derita di antara puing-puing eksistensi tadi (Elle dan Lui) bukan merupakan suatu yang bersifat negatif maupun positif bagi keduanya; namun sikap mereka terhadap derita selalu bersitegang. Simbolisasi linguistik atas dua tokoh anonim tadi menunjuk posisi manusia di hadapan sesuatu (derita), yang bermakna pula tidak memihak. Oposisi cinta dan derita merupakan suatu yang serius, seperti halnya kata kerja mengingat dan melupakan. Dua tokoh anonim tadi kemudian simbolisasi dari ketidakberdayaan manusia di hadapan derita yang menyaran semacam sikap keberjarakan.
Resepsi kita terhadap kilas balik singkat yang memperlihatkan kondisi para korban pada waktu prolog, kemudian runtuh sewaktu penceritaan mengambil posisi kedua tokoh anonim tadi. Keberjarakan yang disarankan oleh kedua tokoh anonim tadi menyaran suatu ruang yang intim; di mana segala sesuatu bermula: sebuah kamar. Latar yang tadinya merujuk suatu ruang luas bertransformasi menjadi sebuah ruang sempit yang bisa memengaruhi orang untuk berpikir kembali mengenai tempat. Potret para korban Hiroshima yang memilukan bertukar posisi dengan potret dua sejoli di sebuah kamar.
Kamar merupakan ruang intim ketika kedua tokoh anonim yang dilanda cinta tadi saling berujar dan bertanya baik melalui dialog maupun monolog tanpa rupa, mengenai derita yang mereka ingin hayati bersama. Citra jendela dan daun pintu kemudian muncul. Kedua citra tersebut merupakan bagian elemen kamar. Keduanya menjalin relasi keberjarakan, antara kata kerja mengingat dan melupakan. Jendela menyaran pelihatan terhadap suatu yang jauh, sedangkan pintu menyaran jalan untuk pergi dan meninggalkan. Kedua sikap yang terwakilkan oleh elemen rumah tadi terus bersitegang. Hanya “Elle” sempat berujar pada “Lui”: “Seperti halnya dirimu, aku pun berjerih payah untuk melupakan semua dengan segenap kekuatanku. Seperti halnya dirimu, aku telah melupakan. Seperti halnya dirimu, kucoba rengkuh kembali ingatan yang mengganggu itu, ingatan akan bayang-bayang dan serak batu”.
F. Taftazani
No comments:
Post a Comment