Home

Catatan Laskar Pelangi


Satu lagi film kita yang diangkat dari novel laris, yakni Laskar Pelangi (LP), yang telah diputar semenjak 25 September lalu, mampu memecahkan rekor sekitar 4 juta penonton. Film Laskar Pelangi mengalahkan rekor penonton film Ayat-ayat Cinta yang juga di angkat dari novel laris berjudul sama sebanyak 3,7 juta penonton. Film LP yang diproduksi Miles Film dan diarahkan oleh sutradara Riri Riza ini, memang sangat ditunggu-tunggu, baik oleh pembaca novelnya maupun para penikmat film. Di Jogja, sejak pukul sembilan pagi, pengunjung yang ingin menonton film tersebut sudah berjejal memenuhi area bioskop. Semakin siang pengunjung yang datang semakin ramai sehingga terjadi antrean yang sangat panjang, dan hanya dalam beberapa jam saja, tiket pemutaran satu hari penuh telah sold out. Sebuah antusiasme yang luar biasa! Namun apakah film LP tersebut mampu memenuhi hasrat kepuasan dari penontonnya?

Penulis melihat bagaimana sineas tampak terengah-engah menerjemahkan esensi novel LP ke dalam filmnya. Bagaimana tidak, esensi novel yang mengedepankan kemiskinan anak-anak Belitong dalam mengejar mimpi-mimpi mereka untuk bersekolah, serta .mengupas tentang kehidupan anak-anak yang terlindas oleh kebutuhan hidup yang makin sulit, dengan detil dideskripsikan melalui kehidupan tokoh-tokohnya yang menarik dan variatif, namun dalam filmnya, sineas tampak selektif dalam memilih tokoh LP yang menjadi fokus cerita dalam filmnya. Tokoh selain Ikal, Lintang, dan Mahar hanya sekedar tempelan belaka, celakanya demi melengkapi adanya muatan selain dari ketiga tokoh tersebut, sang sineas banyak membuat adegan serta tokoh yang tidak perlu, contohnya adegan Samson yang menyarankan Ikal supaya memakai bola tenis untuk memperbesar badannya, lalu karakter Tora Sudiro yang berperan sebagai guru PN Timah yang menyukai Bu Muslimah. Sungguh kehadiran karakter tersebut (Tora) di sana sangat mubazir sekali, karena seharusnya prioritas adegan bisa lebih diberikan pada tokoh lain ataupun pendalaman karakter tokoh-tokoh utama.

Kurangnya pendalaman karakter membuat tokoh Lintang yang merepresentasikan kemiskinan menjadi kurang tergali. Visualisasi kemiskinan tidak mampu mengundang rasa empati penonton sehingga esensi novelnya pun tak tersampaikan dengan jelas. Entah apakah ini karena sineas yang kurang sabar dalam mengupas esensi novel tersebut (yang berlapis-lapis) untuk diterjemahkan ke film?, atau kesalahan dalam desain produksi yang justru mengemas filmnya dalam kemasan yang indah, panorama yang indah dan memukau, serta nuansa riang dengan mengesampingkan bahasa sinematik yang seharusnya cenderung kelam sehingga mampu memunculkan empati psikologis bagi para penonton.

Sebenarnya tidak masalah jika ada excused priority seperti di atas, misalnya ketika tokoh Mahar menyanyikan lagu Bunga Seroja ketika Ikal patah hati. Dalam novelnya, Mahar menyanyikan lagu Tennese Waltz di depan kelas hingga membuat takjub seisi kelas. Hal ini bisa diterima penulis ketika dalam filmnya, lagu tersebut diganti dengan lagu melayu, selain untuk memperkuat suasana patah hati juga memperkuat nuansa melayu yang memang merupakan dasar dari latar cerita dimana cerita tersebut berlangsung.

Dalam pemilihan kastingnya, tidak bisa dipungkiri langkah bijak sang sineas untuk menggunakan anak-anak asli Belitong yang mampu berbahasa Melayu dengan baik. Penulis yang lahir dan besar di daerah Sumatera Selatan, tidak asing lagi dengan dialek dan bahasa Melayu Belitong. Dialek (aksen) yang digunakan tokoh Ibunda Ikal yang diperankan Rieke Diah Pitaloka, jauh dari dialek Melayu Belitong, bahkan Cut Mini (Bu Muslimah) lebih berbicara dengan menggunakan dialek Malaysia ketimbang Melayu.

Agus

No comments:

Post a Comment