Soalnya tentang gaya . Begitulah kita beroleh cara bertutur; sebuah konsep yang tegak namun labil dari cakrawala orang kedua. Kepemilikannya tertentu. Hanya individu saja yang simpati padanya. Seturut dengan Nietszche, ia bersifat menaik juga menurun. Apa yang seorang tutur kemudian bersifat majemuk: entah sebuah pesan atau seklumit pertanyaan. Ada keterserakan pada suatu yang si fulan sampaikan. Entah ia mengacu pada suatu keutuhan maksud atau pembicaraan. Kita lalu mengujar: ia mengutuh atau bertumpangtindih dalam keterserakan.
Katakanlah sinema itu hampir secarik teks atau suatu yang ingin melampaui teks: serupa bahasa atau arca batu yang bercerita. Ada keberjarakan sewaktu kita berupaya mengurai maksud atau pesannya. Dan sineas membentangkannya telanjang di hadapan pemirsa. Apakah pemahaman si pemirsa atas sinema berakhir pada sinema itu sendiri? Lalu kita bilang: “Sineas telah mati”. “Je est un autre”!, sambut penyair Rimbaud. “Soi-même comme un autre”: “Saya serupa orang lain”, ucap Ricoeur. Lantas sineas hanya mengujar keberpihakan semu; sinema hanya milik pemirsa. Laiknya sekeping cermin, keutuhan maksud itu didapat dari jangkauan si pemirsa antara sinema dan dirinya. Sineas lantas terabukan; hanya ada tanda-tanda yang kita tafsir pada karyanya yang posthume.
Tanda dan sewenang-wenang bertubuh. Cukup kita jumpai hadirnya pada adegan-adegan lambat dalam sinema yang terserak. Tanda-tanda yang mengada tidak berujar suatu yang kita anut secara umum: misal sekuntum bunga untuk cinta, sebuah gitar untuk penggambaran tubuh yang sempurna. Dan puisi surealis Desnos hanya mengujar pesona wanita terletak pada giginya. Penggambaran tersebut begitu meleset ketika Man Ray mengadaptasikannya ke dalam “L’étoile de Mer”(1928). Apakah pesona wanita terujar pada betisnya yang jenjang? Dan apa yang ia maksud dengan bintang laut, senada dengan judul di atas? Hanya kita beroleh tanda dimaksud serupa kepingan acak. Lantas kita sempat berpaling. Apa yang ingin mereka sampaikan? Hanya kita jumpai kemudian seklumit peristiwa remeh dan banal.
Mari kita sebut sinema yang melantun sumbang itu mosaik. Ada semacam keniskalaan sewaktu kita mencapai lembah maknanya. Makna yang ingin tersampaikan tidak terlekat pada kulit terluar; namun ia bertubuh pada sinema dan sineas yang bergerak semakin menjauh. Dan pemirsa kemudian menempatkan posisinya. Pemaknaan pemirsa atas sinema diawali penundaan membaca atasnya. Ia dihadirkan secara sengaja. Model perselingkuhan itu dilanjutkan kemudian dengan proses mengelindankan sinema atas dunia sekelilingnya, dirinya. Kemungkinan diciptakan untuk memaknai suatu yang masih samar. Dan sinema yang kita bicarakan bisa kita jumpai pada “400 Coups”-nya Truffaut juga “Contes de Quatre Saisons”-nya Rohmer. Ketakjuban kita berpihak pada apa yang ingin mereka sampaikan. Dan perjalanan kita memahaminya masih berlanjut?
Keberlimpahan makna tidak secara harfiah kita jumpai dalam ungkapan verbal, seperti tutur opera sabun kita. Apakah sinema religius selalu menyaran pekatnya peci hitam, sesusun manik-manik berwarna pelangi, atau kibaran sarung bermotif jalang? Lalu kesedihan ditunjukkan oleh rembihnya tetes-tetes asin di sela pelupuk mata? Bahagianya bercinta selalu merujuk pada perjumpaan sepasang kekasih di gigir telaga? Tentu semua bermuara pada sebuah cara bertutur; yang tak berujung pada sebuah pembuktian à la Cartesian. Sebuah dunia di atas menawarkan keterserakan. Sinema semacam ini mesti enggan dijuluki sebagai guru, seorang yang ingin digugu atau ditiru. Ia serupa sebuah lukisan. Dan kita memaknainya? “Hypocrite lecteur, mon semblable, mon frère!”: wahai pembaca munafik, sesamaku, saudaraku.
F. Taftazani
F. Taftazani
No comments:
Post a Comment