Home

Waktu di Persimpangan


Demikian sinema menyajikan waktu yang bervariasi dalam sepanjang narasi, tentang kisah di masa lalu, masa depan juga masa kini. Semacam ada jejaring di dalamnya; yang mengupayakan si figur menandai: orang yang dikasihi, tetangga, rumah, kota dan lain sebagainya. Kisah yang dihadirkannya kemudian teracuni oleh citra-citra sepia yang hadir. Dan ia disebut kemudian alur kilas-balik; semacam upaya untuk mengelindankan citra-citra di kelampauan yang dihadirkan secara sengaja di masa kini.

Bagi Tornatore, alur kilas-balik mengujar sebuah usaha untuk mengelindankan rantai kisah yang putus; dan si figur tergugah untuk menghadirkannya kembali. Sewaktu Toto beroleh kabar; Alfredo telah meninggal dunia. Ingatannya kemudian melarat citra; semasa kecil, remaja hingga dewasa. Seorang yang kini telah berhasil dalam karirnya, terganggu lelap tidurnya begitu terucap nama: Alfredo. Dan akhir narasi “Cinema Paradiso”, Toto memandang nanap wajah-wajah serupa karib, bioskop yang ditinggalkan, alun-alun yang kini menjelma lahan parkir, dan tubuh Alfredo dalam peti mati. Juga dalam “Les Choristes”, Morhange bergegas pulang sewaktu ia beroleh kabar: ibundanya telah tiada. Melalui lisan Pepinot yang sempat bertandang ke rumahnya, sosok Matthieu akhirnya terkisahkan dengan jelas lewat buku hariannya.

Kilas-balik menyisakan sekisah gaib maupun suatu yang hadir tidak terduga; semacam ada kelindan kausal yang retak dalam waktu. Retaknya kelindan ini kemudian memberikan si figur sebentuk alasan untuk menandai citra-citra yang mungkin; apakah ia benar adanya atau hanya imajinasinya belaka. Ingatan si figur lalu meraba-raba peristiwa yang telah lewat. Upaya tersebut akhirnya menemani si figur menuju jalan bercabang; jalan yang memandunya menemukan keterserakan kisah maupun akhir pencariannya.

Upaya Toto untuk menemukan kisahnya di kelampauan hampir pungkas begitu ia berjumpa Elena, seorang yang pernah menjadi kekasihnya. Janjinya dahulu kepadanya untuk bertemu di kali terakhir sebelum mereka berpisah, tidak terwujud. Berpuluh tahun telah lewat, mereka akhirnya kembali bertemu. Usaha Alfredo untuk memisahkan keduanya terungkap sewaktu mereka saling bertukar cerita di gigir pantai. Harapannya yang pupus kemudian tergantikan oleh titipan Alfredo yang dilimpahkan kepadanya. Sehari menjelang keberangkatannya ke Roma, segulung diapositif itu kemudian diputar dan bercerita. Mengapa ia menitikkan air mata?

Gedung batu: Fond de l’Etang; rumah singgah anak-anak nakal. Tiba Clement Matthieu menjadi guru pengganti. Metode pembelajaran yang diterapkan Rachin, Aksi-Reaksi, tak mampu menjinakkan anak-anak yang liar. Berkat Matthieu yang sabar, akhirnya mereka bernyanyi. Anak-anak menjadi jinak; Rachin menanggapi sebaliknya. Iapun mengusir Matthieu. Dan anak-anak membisu sewaktu Matthieu pergi. Akhirnya dengan berat hati, Matthieupun pergi meninggalkan anak asuhannya. Semenjak ia pergi, segala telah berubah di Fond de l’Etang. Rachin ikut tersingkir dari tempat itu; sedangkan Matthieu melanjutkan impiannya: mengampu musik sepanjang hidupnya. Ingatan si figur seolah memandu narasi; namun seolah ada suatu keterputusan di dalamnya. Si figur seakan bertanya: bagaimana aku sampai di sana? Apa yang terjadi?

Persepsi atas citra di kelampauan lalu bersifat statis. Ia diberikan jangkauan dinamis oleh si figur guna mencapai keutuhan citra satu dengan citra lainnya. Ia menjelmakan sebentuk aksi sewaktu si figur berupaya menautkannya dengan citra optik juga akustik yang mewarnai kisah di kelampauan tadi. Citra serta deskripsi kemudian bersamaan hadir sebagai reaksi. Pun, pemaknaan atasnya kerap menjumpai jalan buntu; jalan di mana kehadiran keduanya berhenti hanya sebagai citra (akustik juga optik). Begitu ketertarikan si figur atas kesemua hal tersebut tereduksi hingga hampir pupus, akhirnya citra-citra tersebut dapat terbahasakan olehnya. Citra tersebut akhirnya terkenali oleh si figur: ia berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Persepsi kemudian terbedakan dari ingatan: ia hanya menyanjung sebentuk obyek yang hadir berkat munculnya intuisi. Ia bersifat reaktif atas suatu aksi; serupa persepsi seseorang atas sebuah lagu yang muncul begitu ia mendengar senandung sumbang maupun kata yang diucapkan lamat oleh seseorang. Persepsi Toto dalam “Cinema Paradiso” muncul begitu teman tidurnya menyebut nama “Alfredo” di gigir gagang telepon. Begitupun persepsi Morhange hadir sewaktu Pepinot menyebut nama “Matthieu” sewaktu album foto dikenali isinya. Ingatan kemudian hadir bersama-sama persepsi; namun ingatan berujar sebaliknya. Ia berupaya menghadirkan obyek yang telah pupus tadi dengan jalan merekam kembali peristiwa yang telah bersedimentasi dalam pikiran. Cerita masa lalu yang unik kemudian tersuai lewat ingatan Toto dalam “Cinema Paradiso”; juga kisah “Fond de l’Etang” terlihat nyata melalui ingatan Morhange dan Pepinot.

Ingatan dan persepsi meniru dualisme antara roh dan tubuh. Persepsi menjadikan ingatan sebagai karib dalam pencariannya atas seklumit citra di kelampauan; namun ingatan tetap berada di sana sekalipun persepsi telah memisahkan dirinya lewat kematian. Guna menapis meruyaknya kejadian yang telah terekam oleh ingatan, pikiran kemudian berperan sebagai penyeleksi. Ia hanya memilih kejadian yang unik maupun penting. Tidak semua kejadian lalu diingatnya kembali. Ingatan yang dimaksud persepsi adalah ingatan yang murni dan tak teracuni (le souvenir pur); ingatan atas seklumit citra intim dan unik di masa lalu.

Titipan yang dialamatkan Alfredo kepadanya, turut mencukupkan pencarian Toto atas masa lalunya. Surga yang ia kenal adalah tempat yang paling dekat; tempat yang mewadahi ingatannya yang paling murni. Ia menyatukan segala kisah-kisahnya lewat adegan intim yang basi; bibir demi bibir saling memagut pasi. Begitulah kepergian Matthieu disambut oleh Pepinot sebagai sebentuk harapan untuk mengajaknya pergi. Sekalipun dengan berat hati, Matthieu akhirnya mengajaknya ikut serta dan menjadikannya anak angkat di kemudian hari. Harapan Pepinot untuk bertemu orang tuanya pada hari Sabtu akhirnya terkabul. Hari itulah kepergiannya dengan Matthieu.

Demikian juga persepsi serta ingatan serupa karib dalam benak si pencerita dalam seklumit episode “Du Côté de Chez Swann”-nya Proust; bagaimana mengelindankan rasa dan waktu? Syahdan, si pencerita beroleh rasa sedemikian nikmat sewaktu kue Madelaine lunak menggayut di langit-langit mulut juga guyuran teh terjungkal di tubir tenggorokan? Dan ia terus bertanya-tanya: apakah rasa itu memang ada atau hanya igauan basi? Upaya si pencerita untuk menemukan suatu yang hadir dalam pencarian atasnya dari Combray hingga ke ajal menjemput dalam “Le Temps Retrouvé”, menuai suatu yang berharga atau upaya yang sia-sia? Dunia yang dikembarai si pencerita semacam ini menyaran pada dunia partikular; sebuah dunia tertutup. Hanya ia yang memiliki? Dan kembara si pencerita akhirnya pungkas: “Sewaktu peristiwa di kelampauan tidak lagi dapat dipertautkan, setelah tiadanya makhluk, setelah pupusnya semua benda: aroma juga bau, tetap berada di sana”. Mereka yang telah mengarunginya sendirian seakan berkata: “Mengapa kita terlanjur bahagia?”

F. Taftazani

No comments:

Post a Comment