Sebagai buah karya para santo sekaligus penyihir, sinema mengujar satu keisengan seorang pencipta sekaligus penipu. Efek-efek dramatis, jalinan cerita, konflik antar-pelaku, maupun penyelesaian, menawarkan sebuah dunia realis sekaligus ilusif. Ia bersifat nyata; ketika jalinan diapositif proyektor, berputar dan bercerita. Sisi lain, adegan demi adegan seolah memanipulasi kesadaran penonton atas situasi sekeliling (dunia). Seperti Ricoeur berujar: “Antara manusia dan narasi, tersebutlah waktu kosmis dan melalui narasilah manusia bersimpuh kepadanya”; dan ia juga yang berujar bahwa esok adalah hari ini. Ketika manusia mengembarai waktu kosmis, ia abai terhadap waktu yang terus bergulir. Persepsi ilusif yang menghujan tersebut kemudian menguasai kesadaran non-refleksif penonton.
Seperti halnya karya sastra yang merupakan representasi dari dunia (mimesis), sinema mengandaikan hal serupa; namun perbedaan keduanya terletak pada sifatnya: langsung atau tak langsung. Ujaran dalam sinema bersifat dinamis; keberlanjutan ceritanya mengalir. Ujaran terhambat tersebut bersenyawa dengan proses yang disebut (diégèsis). Citra yang terhambat seperti dalam pungkas film “400 Coups”-nya Truffaut–ketika si Doinel menatap ufuk di gigir pantai, lalu menghadap ke arah kamera—mengandaikan adanya sebuah ujaran (énoncé) yang terhambat. Apa yang ia ingin ujar?
Kelindan sinematografi dan fotografi nampak pada tataran realisme ontologis; sebuah sudut pandang yang berpangkal dari tataran mengada. Secarik foto tak bisa dijadikan sumber utama untuk sebuah film; sebab citra bisunya mengisolasikan dirinya sendiri dari dunia. Secarik foto yang menggambarkan sekumpul anak muda, serak batu, gedung DPR, dan spanduk penuh slogan, hanya menceritakan satu momen waktu dalam sejarah; namun kelanjutan momen tersebut tak terungkap; sebab waktu bersifat linear. Secarik foto hanya bisa menjadi sebuah inspirasi awal untuk sebuah film; namun satu sisi, sinemalah yang menguasai keberlanjutan momen tersebut.
Mempersamakan sinema dengan seni lukis atau fotografi, adalah satu hal; namun lain hal, jika sinema adalah foto atau lukisan yang sedang bercerita. Ia seni yang hidup. Dari tataran Chaos ke kosmos; sinema mengujar narasi. Narasi tidak lain pengalaman manusia atas dunia; pengalaman yang kemudian teralihsuai ke dalam citra-citra realis-ilusif dan yang berlimpah makna. Kategorisasi atas seni, seperti pendefinisian sinema sebagai seni ketujuh, menggulirkan pelbagai pertanyaan baru. Apakah sinema itu seni? Atau hanya sebuah produk budaya massa ?
Soalnya tentang gaya . Begitulah seorang bertutur; semacam pengetahuan yang tegak namun labil dari cakrawala orang kedua. Kepemilikannya tertentu. Hanya individu saja yang simpati padanya. Sebagaimana dunia dipandang bukan sebagai sebuah identitas atau totalitas; namun ia serupa suatu yang dialektis yang terpermanai dari pelbagai segi dan tidak utuh. Seturut dengan Nietszche, gaya bersifat menaik juga menurun. Apa yang seorang tutur kemudian bermaksud majemuk: entah sebuah pesan atau seklumit pertanyaan. Ada keterserakan pada suatu yang si fulan sampaikan. Kita lalu mengujar: ia ingin mengutuh atau bertumpangtindih dalam sebuah perbincangan.
Katakanlah sinema meniru secarik teks atau suatu yang ingin melampau teks: serupa arca yang berbicara dan yang ingin hidup. Ada keberjarakan sewaktu kita berupaya mengurai maksud atau pesannya. Dan sineas membentangkannya bugil di hadapan pemirsa. Apakah pemahaman si pemirsa atas sinema berakhir pada sinema itu sendiri? Lalu kita bilang: “Sineas telah mati”. “Je est un autre”!, sambut penyair Rimbaud. “Soi-même comme un autre”: “Saya serupa orang lain”, ucap Ricoeur. Lantas sineas serupa abai terhadap karyanya; ia menawarkannya pada pemirsa. Sineas lantas terabukan; hanya ada tanda-tanda yang kita tafsir pada karyanya yang posthume.
Tanda dan sewenang-wenang bertubuh. Cukup kita jumpai hadirnya pada komposisi yang terserak acak atau utuh. Kerap tanda yang hadir tidak berujar suatu yang kita anut secara umum: misal sekuntum bunga untuk cinta, sebuah gitar untuk penggambaran tubuh yang sempurna. Puisi surealis Desnos hanya mengujar pesona wanita terletak pada giginya. Penggambaran tersebut begitu luput ketika Man Ray mengadaptasikannya ke dalam “l’Étoile de Mer”(1928).* Apakah pesona wanita terlekat pada betisnya yang jenjang? Lantas kita sempat berpaling dan pusing. Apa yang ingin mereka sampaikan? Hanya kita jumpai kemudian sepotong kisah yang tak berujung-pangkal dan banal.
Keberlimpahan maksud barangkali tidak serta merta kita jumpai dalam ungkapan verbal, seperti tutur opera sabun kita. Judulnya barangkali membikin tubuh kita gemetar dan gigil. Apakah sinema religius selalu menyaran lekatnya peci hitam, kibaran sarung bermotif pelangi, atau sesusun manik-manik berwarna? Lalu kesedihan ditunjukkan oleh rembihnya tetes-tetes asin di sela pelupuk mata? Bahagianya bercinta selalu merujuk pada perjumpaan sepasang kekasih di gigir telaga? Bisa jadi. Dan soalnya hanya tentang gaya ; suatu yang tak berpangkal pada sebuah pembuktian à la Cartesian. Rupanya sineas dan sinema bukan seorang nun jauh; datang lalu menawarkan sabda. Ia hanya menawarkan sepenggal kisah remeh dan sederhana. Lalu, mari kita duduk di satu meja kemudian berbicara.
* ubu.com
F. Taftazani
F. Taftazani
No comments:
Post a Comment