Malam Satu Suro

Suzanna dan Tradisi Horor Lokal

Tahun : 1988   
Studio : Inter Pratama Studio
Sutradara : Sisworo Gautama Putra
Produser : Ram Soraya
Penulis Naskah : Naryono
Pemain : Suzzanna / Fendy Pradhana
Penata Suara  : Endang Dharsono
Sinematografi  : Subakti LS
Editing  : Muryadi
Durasi  : 86 mnt

Film ini berkisah tentang sundel bolong yang dirubah wujudnya menjadi manusia oleh dukun bernama Ki Renggo. Manusia jadi-jadian itu adalah wanita bernama Suketi (Suzzanna). Suketi diangkat  anak oleh Ki Renggo dan tinggal di tengah-tengah Hutan Alas Roban. Nuansa mistik yang menggabungkan unsur tradisi dan kepercayaan Jawa sudah mulai tampak sejak pembuka filmnya. Suatu hari dua pemuda yang berburu di tengah hutan secara tak sengaja bertemu dengan Suketi. Salah satu pemuda bernama Bardo (Fendy Pradhana) tertarik dengan kecantikan Suketi dan ia pun meminangnya. Mereka akhirnya menikah tepat pada malam satu Suro. Suketi dibawa Bardo ke kota dan mereka hidup bahagia degan memiliki dua orang anak. Cerita mulai berubah ketika ada seorang rival bisnis Bardo yang ingin menjatuhkan karirnya. Mereka datang ke seorang dukun dan akhirnya mengetahui bahwa Suketi ternyata adalah sundel bolong.

Sekalipun bergenre horor namun unsur drama filmnya sangatlah kuat. Cerita film bergerak dengan cepat, walau banyak informasi yang tak jelas namun logika cerita masih bisa terjaga. Sejak awal hingga pertengahan, cerita filmnya enak dinikmati, namun beberapa adegan yang sama sekali tak perlu merusak mood filmnya. Sejak Suketi berubah kembali menjadi arwah gentayangan cerita film menjadi kehilangan fokus dan terkesan kehabisan akal untuk mengembangkan cerita. Suketi gentayangan kesana-kemari dan menakut-nakuti penjual bak pao serta lainnya. Memang ini dimaksudkan menjadi bumbu komedi namun bukankah Suketi mestinya balas dendam pada orang-orang yang telah menganiaya keluarganya. Adegan pembalasan Suketi yang ditunggu-tunggu penonton tak mampu digali lebih dalam dan sama sekali tidak ada gregetnya. Potensi horor yang diharapkan sama sekali tak muncul. Namun tercatat adegan akhir yang menyentuh ketika arwah Suketi mengunjungi keluarganya, bermain piano sambil menyenandungkan sebuah lagu seperti kebiasaannya dulu sebagai salam perpisahan  pada suami dan anaknya.

Beberapa pencapaian teknis juga cukup istimewa. Melalui montage sequence yang menyentuh mampu menampilkan kebahagiaan keluarga Bardo dengan iringan lagu Selamat Malam yang bawakan sendiri oleh Suketi. Lagu Selamat Malam ciptaan Vina panduwinata yang menyentuh ini mampu memperkuat unsur dramatik cerita filmnya. Satu lagi teknik editing adalah superimpose yang digunakan ketika Suketi berubah menjadi manusia maupun sebaliknya, mampu memberikan efek yang sangat menakutkan. Kostum dan rias wajah karakter sundel bolong sangatlah meyakinkan. Suzanna memang seperti terlahir untuk memerankan karakter ini.  Sayang sekali, setting suasana mistis hanya terbagun pada awal film, pada adegan-adegan yang seharusnya membutuhkan suasana horor dan nuansa mistik justru malah tak tampak.

Kita patut mengapresiasi bahwa kita pernah memiliki film horor seperti ini. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan, kita menerimanya sebagai bagian sejarah perfilman kita. Horor tidak melulu harus aksi menakutkan namun bisa menampilkan aspek drama yang kuat. Harus kita akui pula, Suzzanna adalah aktris tipikal film horor yang sangat berkarakter dan fenomenal dalam sepanjang sejarah sinema kita. Sejauh ini belum ada aktris kita yang mampu menggantikannya.

Agustinus Dwi Nugroho

No comments: