Darah dan Doa


Perpaduan Teknik Sinematografi dengan Kekuatan Tema 

Tahun:  1950
Sutradara : Usmar Ismail
Produser : Perfini (Usmar Ismail) / Spectra Film Exchange
Penulis Naskah : Usmar Ismail  / Sitor Situmorang (Cerita)
Pemain : Del Juzar / Farida (Lily Handuran) / Aedy Moward / Sutjipto
Ilustrasi Musik : GRW Sinsu (Tjok Sinsu)
Sinematografi : Max Tera
Editing : Max Tera
Penata Artistik: Basuki Resobowo
Penata Suara: Sjawaludin
Durasi : 128 min

Darah dan Doa (The Long March) adalah sejarah bagi perfilman Indonesia karena merupakan film Indonesia pertama yang diproduksi studio film lokal setelah Indonesia merdeka, yakni Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), dan tanggal syuting film ini, yakni 30 Maret, ditetapkan pemerintah sebagai Hari Film Nasional.  Film ini sendiri adalah film drama perang yang berlatar era aksi polisionil Belanda di akhir dekade 40-an lebih khususnya aksi long march pasukan divisi Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Perang yang mereka hadapi tidak hanya dengan Belanda namun juga para pemberontak. Kisah berpusat pada karakter Kapten Sudarto (Del Juzar) yang memimpin divisi bersama sohibnya, Adam.

                Sisi manusiawi kisahnya terfokus pada karakter Sudarto ketika dalam situasi dan kondisi serba genting, ia justru disibukkan dengan urusan pribadinya. Sepanjang perjalanan ia berhubungan asmara dengan dua orang gadis, pertama adalah gadis asing keturunan Jerman, dan satu lagi adalah Widya, seorang perawat, padahal ia sudah beristri. Polah Sudarto selalu membuat geram Adam yang membuat suasana tidak kondusif karena selalu menjadi gunjingan anak buahnya. Dalam sebuah aksi pertempuran Sudarto kehilangan orang-orang yang terdekatnya. Sudarto pun sadar bahwa ia melakukan kesalahan.

Separuh awal kisahnya boleh jadi memang sedikit membosankan karena kaburnya fokus cerita. Posisi geografis lokasi cerita hampir tak pernah jelas karena tidak pernah dipaparkan secara gamblang. Namun arah cerita mulai jelas setelah separuh cerita dengan akhir yang amat mengejutkan. Film ini intinya menyinggung keras perpecahan antar satu bangsa yang kala itu menjadi isu besar. Sesama anak bangsa membunuh satu sama lain atas nama kelompok dan dendam.

                Dari sisi teknis memiliki kekuatan terutama dari aspek sinematografi. Teknik-tekniknya banyak mengingatkan pada gaya sineas Jepang kawakan, Kenji Mizoguchi yang kaya pergerakan kamera, komposisi yang kuat, penggunaan long take, serta jarang sekali menggunakan close up. Satu shot di adegan akhir adalah satu contoh sempurna dengan motif yang kuat. Penggunaan setting studio terlalu artifisial berbalik dengan penggunaan shot on location-nya yang menampilkan panorama alam perbukitan yang indah. Sementara dari sisi akting bagi penonton masa kini bisa jadi dialog dan akting para pemainnya terlihat sangat kaku. Para pemain layaknya menghafal dialog tanpa ekspresi yang sepatutnya. Mungkin jika menggunakan bahasa daerah setempat (Sunda dan Jawa) seperti dalam beberapa adegan, film ini bisa lebih baik. 

Darah dan Doa adalah contoh sebuah film kita yang kuat secara tema dan masih relevan hingga kini. Pada penutup filmnya sang kapten berpesan dengan terbata-bata, “Jangan diulangi lagi, biar aku saja” seolah ia berbicara pada kita (penonton) sebelum ia jatuh mencium tanah. Pertumpahan sesama anak bangsa cukup disudahi momen ini saja dan tak perlu ada lagi. Namun sejarah membuktikan pesan ini ternyata hanya angan-angan dan mimpi belaka.

Himawan Pratista

No comments: