My Name is Khan,

Film Romantis Bernuansa Politis


My Name is Khan adalah film drama arahan Karan Johar yang kita kenal pernah meraih sukses dengan Kuch Kuch Hota Hay (1998) dan Kabbi Khushi Khabir Gham (2001). Untuk kesekian kalinya Karan bereuni kembali dengan Shah Rukh Khan dan Kajol. Film produksi patungan AS dan India ini telah memecahkan rekor sebagai film India dengan pendapatan terbanyak di Amerika Utara. My Name is Khan juga menjadi perbincangan para pengamat dan sempat diprediksi bakal masuk nominasi Oscar.

Seorang anak Muslim yang mengidap sindrom Asperger, Rizwan Khan (Tanay Chheda), hidup bersama ibunya (Zarina Wahab) di wilayah Borivali di Mumbai. Saat dewasa (Shahrukh Khan), Rizwan pindah ke San Fransisko dan hidup bersama adik dan iparnya. Selama disana, ia jatuh cinta kepada seorang penata rambut kelahiran India, Mandira (Kajol Devgan). Mereka kemudian menikah dan memulai usaha disana. Peristiwa 9/11 adalah kejadian penuh arti dan berimbas pada kehidupan Muslim di Amerika khususnya. Rizvan dan Mandira mulai menghadapi beberapa kesulitan. Dimulai dari sebuah tragedi, mereka berpisah. Karena ingin kembali memenangkan hati istrinya, Rizvan melewati sejumlah petualangan di berbagai negara bagian di Amerika untuk bisa bertemu dengan Presiden Amerika. hanya untuk mengatakan “My name is Khan and i am not a terrorist”.

Plot filmnya secara umum dibagi menjadi dua bagian. Separuh awal film menceritakan kisah romantis antara Rizvan dan Mandira. Adegan-adegannya sangat menyentuh dan dibumbui kelucuan khas film-film India. Paruh kedua film adalah pasca 9/11 yang menunjukkan realita bagaimana kaum Muslim diperlakukan tidak adil oleh masyarakat Amerika yang berimbas pada kehidupan Rizvan dan Mandira. Karan Johar rupanya tidak hanya mampu membuat film romantis semata namun juga drama roman bernuansa politik yang memiliki sisi humanis tinggi. Separuh awal kisah yang disajikan begitu manis menjadi latar belakang mengapa Rizvan melakukan ini semua. Akhirnya kisahnya tidak sulit diduga, namun seperti film-film India kebanyakan tetap saja mampu menguras emosi penonton.

Uniknya, tontonan yang dikemas dalam durasi 162 menit disajikan tanpa tarian ala film India pada lazimnya. Lagu dan musiknya tersaji namun para pemain tidak ikut berdendang atau ikut menari. Lagu dan musiknya begitu enak dinikmati sehingga menambah emosi yang keluar dalam tiap adegannya. Sentuhan barat dan timur juga begitu kental tampak dalam lagu We Shall Overcome yang dialihbahasakan ke bahasa India. Pencapaian sinematografi dan editing nyaris tidak ada bedanya dengan film-film mapan produksi Hollywood. Aspek sinematografi khususnya tampak melalui komposisi serta sudut-sudut kamera yang tertata sangat rapi. Aspek editing terutama tampak melalui beberapa sekuen lagunya yang menggambarkan serangkaian peristiwa dari waktu ke waktu. Dari sisi pemain Shah Rukh Khan mampu menampilkan sosok Rizvan dengan amat baik, mulai dari tatapan mata hingga gerakan-gerakan abnormal hingga emosi yang ditampakkan. Jelas tidak mudah memerankan seorang penderita autis.

Tema yang diangkat cukup serius, yakni sentimen anti-Islam pasca tragedi 9/11 di Amerika Serikat, mengingat semakin terpuruknya kaum Muslim atas serangan-serangan dan tuduhan Amerika dan seluruh dunia. Pesan moral yang ingin disampaikan film ini sangat sederhana, seperti yang dikatakan ibunda Rizvan pada sang anak bahwa di dunia hanya ada dua jenis manusia, yakni manusia baik dan manusia buruk. Hanya itu yang membedakan manusia, tidak dilihat dari status, agama, ideologi, atau materi melainkan pada kebaikan dan keburukan sikapnya.

Debby Dwi Elsha

No comments: