Serigala Terakhir

Mau Bicara Soal Gaya


Saat 9 Naga (2005) dirilis dulu, filmnya diledek sebagai “preman yang berucap bak kartu ucapan Hallmark”. Di situ, preman yang kehidupannya serba keras bisa sangat puitis kala berucap. Lubang logika ini dipupus oleh Upi lewat film terbarunya, Serigala Terakhir (2009). Kalau Museum Rekor Indonesia iseng menghitung, film ini mungkin yang terbanyak bilang “anj***” dan “bang***”. (hingga saat filmnya diputar di TV nanti pasti Anda akan dibuat terganggu dengan bunyi “tiiitt..” berkali-kali).

Masalahnya, apa memberi atribut sumpah serapah yang kebanyakan itu saja sudah cukup? Tentu tidak. Upi lalu mengembel-embeli filmnya dengan atribut lain: style alias gaya. Perhatikan, betapa “style” amat dominan di film ini. Jika “9 Naga” mengingatkan kita pada style film gangster Hong Kong (menembak dengan memiringkan pistol, misalnya), “Serigala Terakhir” menyajkan lebih jauh. Aroma film gangster Hong Kong memang masih terasa (beberapa bagian mengingatkan pada film “Young and Dangerous” dan sekuel-sekuelnya), tapi urusan style di film ini lebih kasat mata pada mise-en-scene yang muncul.

Lihat pakaian para preman/gangster di film ini. Pengamat mode pasti akan dibuat bingung oleh “fashion statement” yang hendak dikatakan sineas di sini. Celana ketat motif kulit ular dan batik ketat bermotif jadul tahun ’70-an bisa berendengan dengan jas tuksedo perlente atau pakaian preman jalanan kebanyakan (jins belel, kaus oblong). Mobil sedan tahun ’70-an bisa bertemu handphone model terkini. Dandanan retro mirip yang muncul di video klip “Sabotage”-nya Beasty Boys bisa-bisanya bersatu di layar dengan dandanan sehari-hari orang biasa jaman kiwari. Saat menonton, Anda pasti dibuat bingung, setting film ini sebenarnya terjadi di tahun berapa? Atau, sebuah pertanyaan mendasar yang muncul: apa sih maunya sineas ini? Bikin gado-gado? Kok, alih-alih sedap dipandang, malah bikin mata sakit ya…

Masalahnya, buat sineasnya, segala kesalah-kaprahan mode dan waktu itu tak digubris. Sebab yang penting filmnya terlihat “gaya” di layar.

Nah, saat gaya menjadi maha penting, cerita yang jadi tumpuan utama film kemudian harus minggir. Kisahnya seperti dibuat hanya untuk agar segala macam urusan fesyen tadi bisa muncul di layar. Maka, terciptalah cerita yang kira-kira jalannya begini: si A,B, C, D, dan E adalah preman kampung yang kerjanya membuat onar. Mereka bersahabat. Hingga suatu kali, si A (okelah namanya Jarot [Vino G. Bastian]) membunuh orang. Para sahabatnya tak ada yang menjenguknya waktu di penjara. Padahal ia butuh kawan curhat karena selama di penjara jadi bulan-bulan preman penjara. Kekecewaan itu membuatnya bekerja di pihak lawan. Akhirnya, sekawan yang sudah berbeda pihak ini saling berhadapan. Lalu, ada juga sub-plot lain, soal pria bisu (Reza Pahlevi) yang ujug-ujug jadi penjahat maha jago. Dia yang mengajak Jarot bergabung dengan kelompok Naga Hitam yang bersebrangan dengan kawan-kawannya.

Di Hong Kong sana ada sineas bernama Wong Kar Wai. Ia sineas yang kerap mementingkan gaya dalam film-filmnya. Tapi filmnya tak jatuh jadi sebatas gaya. Siluet gambar bergerak cepat dan warna-warna cerah di filmnya (lihat Chunking Express untuk contoh jelas), dimaknai sebagai ketergesaan yang selalu terjadi di kota kontemporer. Siluet warna-warna yang bergerak mirip kerlap-kerlip lampu neon di gedung-gedung kota Hong Kong.

Ade Irwansyah

No comments: