Jackie Brown, Momen Tarantino Menyempurnakan Hat-Trick

Jackie Brown dibuat Tarantino pada tahun 1997, tiga tahun setelah magnum opus-nya, Pulp Fiction. Tidak seperti film-film terdahulunya yang ia tulis sendiri. Jackie Brown adalah adaptasi dari Novel berjudul Rum Punch karya Elmore Leonard yang terbit tahun 1992. Mendengar hal ini, saya merasa sedikit kecewa karena Tarantino dikenal sebagai penulis skrip yang baik, sehingga mengadaptasi karya orang lain saya rasa tidak perlu. Tapi setelah menonton filmnya, Tarantino membuktikan kemampuannya lewat cara yang berbeda. Tarantino dengan gayanya sendiri memilah adegan yang diinginkan dan membuang potongan-potongan cerita yang tidak sesuai dengan keinginannya. “Keberanian” Tarantino ini sangat penting, lewat upaya seperti inilah dia bisa membuktikan bahwa dirinya tidak hanya sekedar “Two-Film Wonder Boy” (Reservoir Dogs, Pulp Fiction) saja, melainkan adalah seorang sutradara yang serius ingin menggoreskan namanya dalam sejarah perfilman: dan dia berhasil.

Seperti film-film yang telah dibuatnya, Plot Jackie Brown berjalan dengan latar belakang yang tegas. Setiap karakter punya motif yang kuat dalam melakukan adegan mereka, Jacklyn Brown (Pam Grier) adalah seorang pramugari yang ketahuan membawa sejumlah besar uang dan sebungkus kokain dalam tasnya, ia diciduk oleh ATF (Divisi di LAPD yang bertugas mengawasi alkohol, senjata api dan peledak, serta tembakau-rokok) saat baru mendarat dari Meksiko. Jackie dihubungkan dengan seorang pedagang senjata api bernama Ordell Robbie (Samuel L. Jackson) yang sudah menjadi incaran polisi. Sementara ditempat lain, Ordell tengah meminta bantuan seorang “Penjamin”, Max Cherry (Robert Forster) untuk membebaskan seorang teman bernama Beaumont Livingston dari penjara. Adegan incar-mengincar antara Jackie, Max, Ordell, dan dua agen ATF, dan kenyataan bahwa Semua pelaku (kecuali Max Cherry) saling mengkhianati-lah yang kemudian membuat film ini menarik. Pada dasarnya, Jackie hanyalah kurir untuk membawakan uang dari Meksiko, tetapi karena tertangkap, ia kemudian menjadi poros hubungan semua karakter, ini tidak sepenuhnya menguntungkan sebab ternyata Jackie juga menginginkan uang tersebut, padahal bila ada sedikit saja hal yang tak beres, kecurigaan setiap orang akan tertuju padanya. Meskipun diadaptasi dari sebuah novel, Tarantino senantiasa menyisakan ruang bagi penonton untuk terus bertanya “Trus ini gimana?, yang itu tadi bagaimana?”.

Secara teknis, saya teringat pada beberapa sekuen dalam film The Killing (Stanley Kubrick, 1956) yang juga mengulang kejadian yang sama dari perspektif pelaku yang berbeda, hal ini efektif untuk menjelaskan trik-trik kriminal yang ‘njelimet’ kepada penonton. Kita baru paham kenapa karakter A melakukan sesuatu ketika angle diambil dari sudut pandang karaker A, demikian juga dengan karakter B, dan Karakter C (Tarantino melakukan adegan yang sama dari tiga sudut pandang yang berbeda). Beberapa adegan kekerasan diakali Tarantino dengan menggunakan extreme long-shot ataupun lewat adegan off-camera, usaha ini patut dicermati sebab terdapat lebih banyak adegan kekerasan dalam novel dibanding apa yang ditampilkan dalam film. Secara khusus, isu-isu Blaxploitation yang terselip dalam film juga memperlihatkan bahwa Tarantino mencoba menembus topik yang lebih dewasa dibanding fokus noir-kriminal yang ditampilkan dalam Pulp Fiction. Pilihan peran untuk Robert de Niro juga unik, tak seperti peran De Niro dalam film-film terdahulunya (Taxi Driver, The Godfather Part II, Raging Bull), dalam Jackie Brown, De Niro tampil dengan karakter yang berlawanan: bodoh dan lamban. Memang Banyak yang tak tertulis di sini, tapi pendek kata: Jackie Brown bukanlah sebuah film yang biasa. Jackie Brown adalah 'gol ketiga' yang dicetak tarantino ke gawang perfilman dunia.

Makbul Mubarak
Penonton Film

No comments: