Film, Yahudi, dan Kita

Suatu hari di akhir tahun lalu, Joel Stein, kolumnis berdarah Yahudi berang. Ia tak puas dengan hasil polling yang dikeluarkan The Anti-Defamation League (Liga Anti Pemfitnahan) November 2008. Polling itu mengatakan, sekarang hanya 22 persen orang Amerika Serikat yang percaya "industri televisi dan film dikuasai Yahudi". Angkanya turun jauh dari 50 persen di survey tahun 1964.

Ia berang karena merasa kenyataannya tak begitu. Polling itu, katanya, menandakan betapa bodohnya orang Amerika. "Yahudi sungguh menguasai Hollywood," tegasnya di koran Los Angeles Times edisi 19 Desember 2008 lalu. Ia mengambil iklan satu halaman penuh yang isinya petisi yang ditandatangani para petinggi industri hiburan di sana sebagai contoh.

Di iklan itu, beber Stein, ada nama: President News Corp. Peter Chernin (Yahudi), Chairman Paramount Pictures Brad Grey (Yahudi), Chief Executive Walt Disney Co. Robert Iger (Yahudi), Chairman Sony Pictures Michael Lynton (Yahudi Belanda), Chairman Warner Bros. Barry Meyer (Yahudi), Chief Executive CBS Corp. Leslie Moonves (terlalu Yahudi, paman buyutnya perdana menteri Israel pertama), Chairman MGM Harry Sloan (Yahudi) dan Chief Executive NBC Universal Jeff Zucker (Yahudi). Dengan atau tanpa bos Miramax Weinstein bersaudara yang juga Yahudi, jika orang-orang ini bersepakat menutup tempat kerja mereka, Hollywood dipastikan runtuh seketika. Selain petinggi studio dan stasiun TV, pekerja kreatif Hollywood juga banyak berdarah Yahudi. Dari jejeran sutradara ikonnya adalah Steven Spielberg.

Itu fakta tak terbantahkan. Makanya, selalu muncul anggapan kalau film-film bikinan Hollywood sedikit-banyak mengandung propaganda Yahudi. Film Hollywood, di negeri Muslim, seringkali dipandang curiga. Ujungnya film Hollywood yang terang-terangan berkisah soal kaum Yahudi dilarang beredar di negeri Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim.

Contoh paling terang untuk ini adalah saat Schindler’s List (1993) karya Spielberg dilarang beredar pada 1994 di negeri ini. MUI waktu itu menganjurkan film itu ditolak. Kala itu kehadiran film yang berkisah peristiwa Holocaust (pembasmian Yahudi oleh Nazi Jerman saat Perang Dunia II) ini mengundang debat publik. Timbul pro-kontra di masyarakat apa sebaiknya film itu dibolehkan beredar atau dilarang. Yang setuju beredar mengatakan filmnya berisi pesan universal meski kisahnya soal Yahudi. Yang tak setuju beranggapan ini film propaganda Yahudi semata. Pemerintah lewat Badan Sensor Film lalu mengetukkan palu menolak film itu beredar.

Melihat fenomena sekarang apa yang terjadi di tahun 1994 itu rasanya seperti terjadi sudah lama sekali. Tengok saja jadwal bioskop hari-hari ini. Ada film berkisah soal Yahudi yang diputar luas dan tanpa protes siapa pun. Film itu, Inglorious Basterds (2009), karya Quentin Tarantino, bertema sejarah bohong-bohongan saat kaum Yahudi membalas dendam kekejaman Hitler (termasuk membunuhnya). Beberapa bulan lalu juga beredar film Defiance (2008, Edward Zwick) yang berkisah tentang kaum Yahudi yang lari ke hutan menghindari kejaran Nazi. Sementara itu, meski tak beredar di bioskop, telah rilis VCD resmi film Don’t Mess with the Zohan (2008). Film komedi yang dibintangi Adam Sandler itu berkisah soal prajurit pasukan elit Israel yang membuka salon di Amerika.

Jika film-film itu bisa rilis resmi tanpa protes di sini, negeri berpenduduk Islam terbesar di dunia, timbul pertanyaan: apakah kini kita semakin toleran pada Yahudi? Jawabannya tak sesederhana pertanyaannya. Indonesia banyak berubah sejak Schindler’s List ditolak beredar dulu. Indonesia sudah berganti presiden empat kali sejak 1994. Begitupun masyarakatnya. Kita—tanpa pemerintah bisa membendungnya—kini bisa menikmati tontonan berbau Yahudi dengan bebas.

Ya, sejak marak VCD /DVD bajakan dan alat pemutarnya yang dijual murah, ribuan judul film bisa dinikmati penonton Indonesia. Semuanya tanpa sensor pemerintah. Di antara judul-judul itu terselip film-film lawas yang dulu dilarang/tidak beredar di sini. Termasuk Schindler’s List-nya Spielberg. Banyak pula judul lain macam dokumenter The Last Days (1998), Jakob the Liar (1999), The Pianist (2002), hingga The Boy in the Striped Pyjamas (2008) yang semuanya berkisah soal Holocaust ataupun The Prince of Egypt (2000) film animasi tentang kisah Nabi Musa versi Yahudi.

Tidak bisa dilacak ada berapa orang Indonesia yang sudah menonton film-film soal Yahudi dari VCD/DVD bajakan. Yang pasti, sensor pemerintah tak bisa membendung kemajuan teknologi. Begitu pun sensor dari masyarakat.

Padahal, buat pemerintah dan badan sensornya (kini bernama Lembaga Sensor Film, LSF) tekanan masyarakat ini yang kerap membuat kalang kabut. Perhatikan saja, film Buruan Cium Gue (2004) ditarik dari bioskop setelah diprotes Aa Gym. Begitu juga Paku Kuntilanak yang dituding porno tempo hari. Setelah melewati meja sensor dan beredar, filmnya kemudian ditarik karena diprotes. Schindler’s List resmi dilarang lebih karena kuatnya tekanan dari masyarakat. Pemerintah tak ingin polemik berlanjut jadi protes dan demo di mana-mana.
Sekarang, saat Inglorious Basterds rilis, kita malah tengah ribut menolak Maria Ozawa alias Miyabi. Front Pembela Islam dalam demonya mengatakan Miyabi lebih berbahaya dari teroris. FPI luput memprotes Quentin Tarantino dan filmnya.

Sikap pemerintah yang tak pernah tegas (hanya jadi keras begitu ada protes) pertanda sikap hipokrit. Kita tak mau terima kenyataan kalau nilai budaya apapun dan dari manapun sudah bukan saatnya lagi disensor atau dibendung. Sebab di zaman Internet begini, perbuatan itu sia-sia belaka. Masyarakat kita sesungguhnya sudah dewasa. Walau sudah disuguhi tontonan Yahudi bertahun-tahun, tak lantas membuat kita membela Israel. Kita tetap mengecam penjajahan mereka di Palestina.

Saya juga tak menganjurkan Inglorious Basterds dilarang atau ditarik dari peredaran. Karena itu takkan efektif. Versi bajakannya sudah beredar saat filmnya belum tayang di bioskop. Membolehkan filmnya tayang di bioskop malah membuat negara untung karena dapat uang dari pajak tontonan.

Sebab, beda dengan pemerintah yang sering plin-plan, sikap para pembajak film jelas dan tegas. Mereka tak punya beban moral mensensor diri. Sepanjang ada permintaan, barang apapun dijual. Entah film soal Yahudi macam Schindler’s List atau film porno Miyabi. Tinggal kita sendiri yang memilih dan memilah. Pilihan kita dan sikap kita pada apa yang kita pilih adalah bukti kedewasaan diri. ***

Ade Irwansyah
Editor Tablid Bintang

2 comments:

Anonymous said...

This post is beyond awesome. I am always wondering what to do and what not to do so I will follow some of these tips.

Anonymous said...

I well understand it. I can help with the question decision.