Sejarah Sinema Korea


Berbicara mengenai perfilman Asia pada dekade ini tak luput dari pembicaraan film dari negeri Ginseng, khususnya Korea selatan. Industri film Asia secara umum bergerak dinamis dalam perkembangannya. Sinema Korea adalah salah satu industri film Asia yang bergerak sangat pesat dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Berbicara mengenai sejarah film Korea, sungguh ironi, disaat perfilman mereka kini dipandang mentereng dalam peta persaingan film-film Asia, namun keberadaan sejarah dari perkembangan film-film mereka boleh dibilang nyaris musnah lantaran masa pendudukan Jepang serta perang sipil.

Berbagai usaha dilakukan Korean Film Archieve, Korean Film Council serta Pusan International Film Festival untuk terus melakukan pencarian film-film yang dianggap hilang. Lembaga-lembaga tersebut juga melakukan restorasi film-film yang rusak karena termakan oleh waktu maupun terbengkalai masa perang. Pada masa pendudukan Jepang, seluruh film-film Korea yang diproduksi harus melewati otoritas pengawasan badan sensor Jepang. Film-film yang bertema “aman” yang mampu lulus sensor, seperti film-film melodrama dan sejarah, serta film-film propaganda Jepang. Film-film yang dirasakan mengancam akan dicekal dan dimusnahkan.

Masa Pendudukan Jepang

The Righteous Revenge (Uirijeok Guto/1919) tercatat sebagai “film” Korea pertama yang diproduksi di masa pendudukan Jepang. Film ini diistilahkan “kino drama” karena film hanya berfungsi sebagai latar dalam pertunjukan. Salah satu film yang dianggap sebagai film panjang Korea pertama adalah Chunhyang-Jeon (1922), kelak menjadi cerita rakyat yang paling sering difilmkan. Salah satu sutradara paling berpengaruh pada masa ini adalah Na Un-kyu melalui film pentingnya, Arirang (1926). Film ini merupakan bentuk sikap penolakannya terhadap pendudukan Jepang yang menginspirasi para pembuat film lainnya hingga otoritas Jepang kelak semakin memperkuat sensornya.

Memasuki era film bicara, tercatat film bicara pertama adalah Chunhyang-Jeon (1935) arahan Lee Myeong-woo yang produksinya dibantu pemerintah Jepang. Selama periode ini produksi film-film Korea meningkat demikian pesat. Un-kyu pada era ini memproduksi beberapa film penting seperti Kanggeonneo maeul (1935), dan Oh Mong-nyeo (1937). Setelah Jepang menginvasi Cina pada tahun 1937, industri film Korea berubah sepenuhnya menjadi mesin propaganda Jepang. Film-film barat yang dirilis mulai berkurang dan digantikan oleh film-film Jepang. Bahkan mulai tahun 1938, film-film Korea diproduksi langsung oleh pihak Jepang, dan puncaknya tahun 1942, film berbahasa Korea dilarang diproduksi sama sekali.

Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, selama sesaat industri film Korea bersuka cita dalam era kebebasan, seperti tercermin dalam film Chayu Manse! (Viva Freedom!,1946). Namun kembali industri film Korea mengalami masa-masa sulit setelah pemisahan wilayah Utara-Selatan dan pecah perang sipil selama tahun 1950-1953. Selama tiga tahun ini tercatat hanya sedikit film Korea diproduksi dan nyaris semua film-film warisan masa silam musnah selama perang.

Era Emas Industi Film Korea

Perang sipil melumpuhkan industri film di Korea dan sebagian besar peralatan produksi yang mereka miliki musnah. Setelah gencatan senjata tahun 1953, Presiden Korea Selatan, Rhee Syngman membebaskan pajak film-film Korea yang akan diproduksi dengan harapan industri dapat kembali pulih. Pihak asing pun turut mempercepat pulihnya industri dengan memberikan bantuan teknologi serta peralatan produksi. Kebangkitan sinema Korea ditandai melalui sukses film remake, Chunhyang-jeon (1955) arahan Lee Kyu-hwan yang ditonton lebih dari 200 ribu orang. Produksi film pun meningkat sangat tajam pada periode pertengahan 50-an hingga akhir 60-an, yang dianggap sebagai era kejayaan industri perfilman Korea.

Sejak pertengahan dekade 50-an pada masa yang mulai kondusif ini bermunculan beberapa talenta berbakat, dan film-film Korea mulai mendapat perhatian internasional. Sutradara seperti Yu Hyon-mok dan Kang Dae-jin terpengaruh oleh gerakan neorealisme dan mengangkat tema sosial pasca perang serta modernisasi melalui film-film mereka, Aimless Bullet (1961) dan The Coachman (1961). The Coachman tercatat sebagai film Korea pertama yang meraih penghargaan bergengsi dalam festival film internasional. Kim Ki-young memproduksi salah satu film Korea berpengaruh, yaitu Housemaid (1960). Kemudian Shin Sang-ok dikenal melalui film-filmnya seperti A Flower in Hell (1958) dan The Houseguest and My Mother (1961). Film yang terakhir memenangkan penghargaan Film Terbaik dalam Asian Film Festival tahun 1962 dan memantapkan reputasi Sang-ong sebagai salah satu sutradara papan atas Korea.

Sejak tahun 1962, pemerintah Korea juga mulai berusaha mengontrol industri film. Pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membatasi produksi film secara kuantitatif maupun substansial. Film-film yang diproduksi dan diimpor dibatasi melalui sistem kuota yang berakibat mengurangi jumlah studio produksi. Sensor film mulai bertambah ketat, terutama hal-hal yang terkait paham komunisme serta amoral. Sekalipun begitu tekanan dari kebijakan pemerintah tidak mengurangi minat penonton untuk membanjiri bioskop-bioskop dan film-film berkualitas pun secara kontinu semakin banyak diproduksi setidaknya hingga pertengahan dekade 70-an.
Era Kemunduran dan Kebangkitan

Kontrol dan sensor pemerintah Korea Selatan terhadap industri film mencapai titik puncaknya pada pertengahan dekade 70-an. Sejak tahun 1973, pemerintah bahkan mulai campur tangan dengan memaksa para pembuat film untuk memasukkan ideologi pemerintah ke dalam film-film mereka. Popularitas televisi yang meningkat sejak akhir dekade lalu ditambah munculnya film-film pro-pemerintah yang kurang disukai publik mengakibatkan jumlah penonton menurun drastis hingga akhir 70-an. Sekalipun begitu pada periode kelam ini muncul beberapa sineas muda berbakat seperti Im Kwon-taek (Deserted Widows,1973), Kim Ki-young (Insect Woman), Le Jang-ho (Hometown Stars, 1974), serta Ha Kil-jong (March of Fools, 1975).

Pada tahun 1979-1980 terjadi beberapa peristiwa penting di Korea Selatan, yakni pembunuhan presiden Park Cung-he, Kudeta Duabelas Desember, hingga Pembantaian Gwangju yang kelak mengarahkan rakyat Korea ke era demokrasi yang lebih terbuka. Pemerintah sedikit demi sedikit mulai mengurangi sensor serta kontrol terhadap industri film. Kebijakan penting dibuat oleh Presiden Roh Tae-Woo pada tahun 1988 yang menghilangkan campur tangan pemerintah terhadap tema politik di film. Para pembuat film mulai berani mengeksplorasi tema sosial dan politik dalam film-film mereka, salah satunya adalah Chilsu and Mansu (1988) arahan Park Kwang-soo yang memperlihatkan demonstrasi di jalanan pada klimaksnya.

Satu sutradara yang dianggap paling berpengaruh pada dekade ini adalah Im Kwon-taek. Sekalipun Im telah memproduksi puluhan judul film sebelum dekade ini namun setelah filmnya Mandala (1981), ia baru dikenal sebagai salah satu sutradara terbaik Korea. Im mencoba menggali budaya tradisional Korea yang telah lama dilupakan. Mandala berkisah tentang dua orang biksu yang mencari makna dan status ajaran Budhisme di masyarakat Korea. Setelah film ini meraih penghargaan di Hawaii Film Festival, Im menjadi sineas Korea pertama yang film-filmnya selalu dipertontonkan di festival-festival film di Eropa.

Era Baru Sinema Korea

Awal hingga pertengahan dekade 90-an, sekalipun kondisi mulai membaik bagi industri film namun film-film Korea masih belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sebesar 80% lebih film-film yang diputar di bioskop-bioskop adalah film-film asal Hollywood dan Hongkong. Satu momen penting pada dekade ini adalah pada tahun 1992 melalui film Marriage Story yang mendapat sponsor dari perusahaan elektronik terkemuka, Samsung. Ketika terbukti sukses, perusahaan besar lainnya mengikuti jejak yang sama. Film-film mulai diproduksi dengan bujet dan promosi yang lebih besar serta peralatan studio produksi yang lebih memadai. Perlahan tapi pasti, film-film Korea mulai bersaing dengan film-film luar, seperti The Gingko Bed (1996) arahan Kang Je-gyu, hingga puncaknya tahun 1999, ketika Samsung mendanai produksi film aksi thriller, Shiri (1999) arahan Kang yang memecahkan rekor sebagai film terlaris Korea pada masanya. Film ini pun juga laris di luar Korea sehingga para produser lokal mulai melirik pasar internasional.

Fenomena Shiri ternyata hanyalah awal dari segalanya. Film-film domestik silih berganti menempati posisi pemuncak box office. Film tentang persahabatan empat anak, Friend garapan Kwak Kyung-taek memecahkan rekor Shiri di tahun 2001. Berlanjut film garapan Park Chan-wook berjudul Joint Security Area (JSA, 2000), lalu Silmido (2003) garapan Kang Woo-suk, disusul lagi oleh film perang Korea garapan Kang Je-gyu, Tae Guk Gi (2004), hingga terakhir film monster unik, The Host (2006) menjadi film terlaris sepanjang masa (sejauh ini) dengan rekor mencapai 13 juta penonton lebih! Beberapa film, seperti drama komedi remaja, My Sassy Girl (2001) selain sukses domestik merupakan film Korea yang paling sukses di pasar internasional. Film-film Korea bahkan juga mulai dirilis di Amerika, seperti Chunhyang (2000) dan Chihwaseon (Painted Fire, 2002) keduanya garapan sineas kawakan, Im Kwon-taek.

Sukses-sukses tersebut rupanya juga menarik perhatian Hollywood. Beberapa film-film populer mulai dibeli (hak remake) beberapa studio besar Hollywood untuk dibuat versi Amerika-nya. Film-film Korea seperti Il Mare (The Lake House/AS) serta My Sassy Girl beberapa waktu lalu remake-nya telah dirilis. Film-film laris lainnya yang telah dibeli hak remake-nya oleh Hollwood antara lain, JSA, My Wife is a Gangster, Oldboy, hingga film horor psikologis, A Tale of Two Sister yang konon dibeli Dreamworks sebesar $2 juta.

Di sisi lain juga bermunculan sineas-sineas berbakat yang film-film mereka sukses di berbagai ajang kompetisi internasional. Dipelopori oleh Oasis (2002) karya Lee Chang-dong yang sukses di Venice Film Festival. Kim Ki-duk dengan film-filmnya yang kontroversial mendapatkan perhatian internasional melalui Spring, summer, fall, winter... and spring (2002), Samaritan Girl (2004), serta 3-Iron (2004). Park Chan-wook dikenal melalui trilogi Vengeance-nya yang berjudul, Symphati for Mrs. Vengeance (2002), Old Boy (2003), dan Lady Vegeance (2005). Film Kontroversial, Old Boy selain sukses komersil juga sukses dalam Festival film Cannes serta mendapatkan banyak pujian dari kritikus dimana-dimana.

Hingga kini sineas-sineas berbakat dan film-film Korea berkualitas terus bermunculan yang berangkat dari pahit getir zaman dan tensi perpolitikan negaranya. Tak bisa dipungkiri, kini Korea menjadi salah satu industri perfilman terdepan dalam kancah perfilman Asia. Penghargaan tinggi atas usaha yang dilakukan Korean film Council, Korean Film Archive, dan Pusan International Film Festival yang terus merestorasi film-film klasik Korea hingga para sejarawan dan pengamat film mampu mengapresiasi karya-karya terbaik di era silam.

Andrei Budiman 
Himawan Pratista

1 comment: