Pulp Fiction

Penghidup Tren Non Linier



Pulp Fiction (1994) merupakan film kedua arahan Quentin Tarantino setelah sebelumnya sukses dengan Reservoir Dogs (1990). Pulp Fiction dianggap banyak pengamat sebagai terobosan baru dalam dunia perfilman, yang tidak hanya menaikkan pamor sang sineas, namun juga bagi perkembangan film independen itu sendiri. Film ini berhasil meraup pendapatan kotor lebih dari $200 juta di seluruh dunia, dan di Amerika sendiri tercatat sebagai film independen pertama yang meraih pendapatan kotor di atas $100 juta. Coba bandingkan dengan bujet produksinya yang hanya sekitar $10 juta. Pulp Fiction juga sukses secara kritik dengan meraih tujuh nominasi Oscar termasuk untuk kategori film terbaik serta sukses dalam beberapa ajang penghargaan bergengsi lainnya.

Satu hal yang menjadi nilai lebih film ini adalah cara bertuturnya yang unik. Tarantino membagi plotnya dalam tiga segmen cerita yang berkaitan satu sama lain. Alur cerita secara keseluruhan dituturkan secara non-linier (tidak sesuai urutan waktu kejadian sebenarnya). Sebagai contoh misalnya pada adegan pembuka film yang memperlihatkan aksi sepasang muda-mudi yang tengah merampok sebuah restoran. Aksi perampokan ini muncul kembali pada adegan akhir filmnya. Namun jika Anda cermati lebih jauh, jika cerita dituturkan secara linier aksi perampokan ini sebenarnya terjadi pada sepertiga durasi awal film. Tarantino secara sederhana hanya mengubah urutan kejadian sehingga menjadi lebih membingungkan dan sulit dicerna oleh penontonnya. Kenapa Tarantino melakukan hal ini? Ini sudah menjadi gaya sang sineas, ia berani mengambil resiko untuk ”melawan” film-film mainstream yang lazimnya memakai alur linier. Nyatanya pilihan Tarantino ini berbuah hasil. Gaya bertutur non-linier pun (walau bukan merupakan hal baru) dalam perkembangannya menjadi tren baru yang bahkan kerap diikuti film-film mainstream.

Satu hal lainnya yang juga turut membantu kesuksesan film ini adalah kasting para pemain bintangnya. Bruce Willis tercatat sebagai aktor terbesar yang bermain dalam film ini tidak keberatan diupah dengan gaji minim. Tercatat pula bintang-bintang kawakan seperti John Travolta, Samuel L. Jackson, Uma Thurman, hingga Ving Rhames bermain dalam film ini. Peran-peran mereka di film ini tergolong tidak banyak menguras akting namun pesona mereka sebagai bintang-bintang bertalenta tinggi sangat jelas terlihat. Willis sangat pas berperan sebagai Butch, petinju bayaran tua yang lelah; Jackson dan Travolta bermain brilian sebagai Jules dan Vincent, sepasang pembunuh bayaran kejam dan dingin yang selalu bertengkar mulut; Rhames juga sangat pas bermain sebagai sang bos mafia, Marcellus; juga Thurman sebagai Mia, istri sang bos mafia yang suka bertindak. Walau peran-peran tersebut dinilai sangat beresiko (karena kurang menantang) bagi karir mereka, namun justru pamor mereka terangkat setelah membintangi film ini.

Aspek lainnya yang menjadi gaya khas Tarantino adalah dialog-dialog nyeleneh yang kadang tak berhubungan dengan cerita filmnya. Coba simak perbincangan Vincent dan Jules tentang burger di awal film, lalu perdebatan mereka tentang banyak hal di restoran pada sekuen akhir. Dialog-dialog tersebut walau sepertinya tak relevan namun sangat membantu membentuk karakter para pemainnya. Satu lagi yang tak kalah penting adalah penggunaan tembang dan musik lawas yang bersinergi sempurna dalam tiap adegannya, seperti “Miserlou” yang mengalun pada pembuka film serta tembang “You Never Can Tell” yang mengiring dansa ikonik, Mia dan Vincent. Oleh karena cara bertutur yang unik, aksi-aksi yang spontan dan fleksibel, dialog, musik, serta budaya pop lainnya, Pulp Fiction sering kali dinilai pengamat sebagai awal film post-modern terbaik.

Himawan Pratista

No comments: