Noir dan Neo-Noir: Apa Bedanya?


Kegamangan dalam Sin City serta Sadomasokisme dalam Blue Velvet sering dipandang sebagai elemen fundamental penyusun film Noir, namun diklasifikasikan kedalam sebuah genre Post-Noir derivatif bernama Neo-Noir, apa arti semua itu sebenarnya?. Mungkin tak akan berguna jikalau kita membicarakan Neo-Noir tanpa merujuk pada Film Noir. Baiklah, Film Noir adalah sebuah gaya sinema yang membumi di Amerika Serikat sejak tahun 1941, dimulainya era Film Noir ‘diresmikan’ lewat rilisnya The Maltese Falcon hingga berakhir ditahun 1958, ditandai oleh film Touch of Evil arahan Orson Welles. Film Noir biasanya selalu berisi kriminalitas dan unsur kekerasan, ambivalensi moral, dan pembalikan nilai-nilai tradisional (Begundal adalah Pahlawan dan kerap sebaliknya). (Baca Montase edisi 4 untuk mengetahui lebih jauh tentang Film Noir)

Setelah Era Noir berakhir, muncul sebuah gerakan sinema baru yang disebut Neo-Noir. Secara gamblang, kita bisa langsung melihat bahwa Neo-Noir adalah film Noir yang dibuat tidak dalam format hitam-putih melainkan format berwarna dengan bantuan teknologi yang semakin maju, sebagian filmmaker berusaha mempertahankan elemen dasar film-Noir dalam bentuk yang baru. Tidak puas sampai disitu, beberapa teoritisi Filmpun berusaha memetakan pergeseran apa yang sebenarnya terjadi dari Film Noir ke Neo-Noir. Foster Hirsch dalam bukunya Detours and Lost Highways menilai bahwa yang berubah sebenarnya adalah Lokasi dan penempatannya. Film Noir selalu ber-setting didaerah padat, Los Angeles misalnya, sebab waktu itu kondisi masyarakat lebih bercorak sentripetal dimana semua isu sosial berpusat didaerah padat penduduk, lihat saja setting film-film Noir signifikan macam The Big Sleep atau Double Indemnity. Berbeda dengan Neo-Noir yang muncul setelah era Perang dimana penempatan isu sosial menjadi lebih divergen dan sentrifugal: isu ras, gender, dan kelas terefleksi dalam Film-film Neo-Noir berupa pergeseran setting yang menjauh dari kota yang padat. Ini sudah tercium dalam Touch of Evil, dimana film mengambil setting di Perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko.

Selanjutnya, menurut Hirsch, Neo-Noir juga menggiring Noir memasuki semacam fase eksistensialis protagonisnya. Dalam Film Noir, karakter utama diungkapkan selalu bergulat dalam kebobrokan sosial sekitarnya. Namun dalam Neo-Noir, karakter lebih banyak beradu dengan pikirannya sendiri, dan setelah melalu banyak scene, si karakter kemudian berhasil mereproduksi identitas dirinya. Jerold J. Abrams menulis bahwa dalam Noir Klasik, Sang protagonis selalu terjebak masalah tanpa sepengetahuannya, seakan alienasi dan pesimisme adalah bagian tak terhindarkan. Namun dalam Neo-Noir, sang protagonis sebenarnya bisa menghindari segala macam masalah, tapi yang sulit adalah dia tak bisa kabur dari ilusinya sendiri yang kemudian menggiringnya kedalam konflik.

Terlepas dari semua itu, sebenarnya Neo-Noir tetaplah berpijak pada visi utama sinema yakni berupaya merefleksikan apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Dan lihatlah bagaimana Blade Runner diasosiasikan dengan Sartre, Chinatown dengan Kapitalisme, serta film-film Coen Brothers yang senantiasa digelayutkan di antara komedi dan nihilisme. Selanjutnya, J.J. Abrams Membagi Neo-Noir kedalam tiga kelompok formalisme spesifik:

1. Past-Neo Noir: Teologikal dan berorientasi masa lalu. Contoh: The Ninth Gates, Angel Heart, Raider of the Lost Ark (Yang terakhir tidak banyak dianggap orang sebagai film Neo-Noir)
2. Future Neo-Noir: Unsur teologis dipudarkan oleh Sains dan Teknologi. Contoh: Blade Runner, Minority Report, The X-Files, Dark City.
3. Present Neo-Noir: Berusaha membuang signifikansi waktu dalam tuturannya, Contoh: Memento, The Bourne Identity, Fight Club, π: Faith in Chaos.


Makbul Mubarak

Penikmat Film

No comments: